Masuk Komik Keluar Komik

Donny Anggoro *
kompas.com

Bukan hal baru lagi jika kita membicarakan pelbagai masalah yang menyelubungi dunia komik kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang pada umumnya menjerumuskan komik Indonesia dalam keterpurukan.

Namun jika kita membicarakan mengenai eksperimen-eksperimen apa yang telah dicapai komikus Indonesia dewasa ini telah cukup banyak pencapaian yang sudah dilakukan.

Misalnya bibit gaya bertutur ala novel grafis yang tampak pada Tekyan (Yudi Sulistya / M. Arief Budiman), ide menghadirkan kembali ikon superhero Indonesia dengan gaya komik Marvel Caroq (Thoriq/Pe’ong), humor-parodi kehidupan sosial (Panji Koming, Doyok, duet Benny-Mice), komik strip bisu Gibug-Oncom (Wisnoe Lee), pendekatan filmis dalam Taxi Blues(Erwin Primaarya), parodi dan sains fiksi dalam 1001 Jagoan, komik strip dengan nuasa sketsais (Rachmat ‘Libra’ Riyadi, Eko Nugroho), sampai yang dengan tegas menyatakan diri sebagai novel grafis Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahadian), dan lain-lain.

Sayangnya selain keberhasilan para komikus kita hanya ditangkap segelintir orang, harus diakui tak banyak komik kita berhasil melanjutkan keberhasilan-keberhasilan tersebut sehingga membuat masyarakat sulit mendapatkannya lantaran sistem penerbitan komik lokal kita terbatas dengan hanya menjual komik terjemahan yang dicetak jauh lebih banyak dibandingkan komik asli Indonesia. Konon masalah ini muncul lantaran komik kita sendiri tak siap memenuhi keinginan pembaca yang haus akan cerita yang memikat, bahkan kalau bisa berjilid-jilid hingga penerbit komik kita sendiri yakin dengan terbitan komiknya, mengulang sukses seri Si Buta dari Goa Hantu (1968) yang dahulu di masa jayanya dicetak berjilid-jilid.

Mungkin sudah kerap kali dilansir di pelbagai media massa bahwa kemampuan komikus kita secara teknis dapat dikatakan unggul dan bisa dibandingkan dengan komik impor. Tapi bagaimana dengan ide cerita? Menyinggung hal satu ini dapat dikatakan komikus kita sedikit bermasalah dengan berakibat tak banyaknya komik kita diproduksi paling tidak sebanyak komik terjemahan.

Mungkin kemampuan teknis yang notabene sudah banyak dipelajari dari komik impor telah sedikit banyak menyumbangkan ide komik-komik kita secara referensial sehingga dalam masalah teknis gambar komik kita tak kalah dengan komik impor. Tapi membicarakan ide cerita nampaknya komikus kita masih perlu banyak menelaah kembali sumber referensialnya yang sialnya kebanyakan hanya dari komik juga, bukan buku-buku dari disiplin ilmu lain, misalnya sastra yang notabene sangat dekat dengan penggalian ide cerita. Konon keberhasilan komik Sukab Intel Melayu (2002) yang merupakan paduan karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma dengan penggambar Asnar Zacky adalah bukti keberhasilan sinergi antara komikus dengan sastra yang sayangnya tak banyak dilanjutkan oleh komikus kita dewasa ini.

Secara mudah dapat disebut komikus kita sedang “kebanyakan membaca komik” sehingga menjadi salah satu kendala yang sulit dipungkiri dan menyebabkan kebanyakan komik kita dewasa kini sangat miskin ide meski kaya dengan pencapaian teknis visual. Cerita-cerita yang belum tamat karena miskin ide ditambah dengan keenganan penerbit kita menerbitkan komik karya anak bangsa sendiri semakin menambah benang kusut permasalahan yang menukik dari dunia komik kita sendiri.

Pertanyaan selanjutnya kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah hal demikian terjadi lantaran hanya masalah “kebanyakan membaca komik” tadi? Bisa jadi itu kemungkinan-kemungkinan betul adanya karena ide-ide orisinil yang telah berhasil dicapai komikus kita sebelumnya hampir semuanya berasal dari keterbukaan diri terhadap disiplin ilmu-ilmu lain. Ketajaman pengamatan sosial dalam kartun Benny dan Mice, misalnya, sulit dipungkiri jika komikusnya tak benar-benar memposisikan diri sebagai pengamat sosial yang jeli setelah pencapaian teknis gambar sudah dilalui komikusnya, itu jika kita harus menyebut salah satu contoh komik mutakhir kita yang belum lama ini juga cukup sukses baik dari segi mutu maupun dari segi penjualannya.

Untuk contoh yang lebih konkrit lagi kita dapat menyebut seri kartun fisika besutan Larry Gonick (sudah diterbitkan KPG)yang begitu membuka diri terhadap ilmu fisika dan ilmu alam. Atau contoh lain dari Ganes TH yang membuka diri pada sejarah kebudayaan Indonesia dalam menghasilkan masterpiece-nya, Si Buta dari Goa Hantu dan Djampang Djago Betawi.

Membuka diri pada disiplin ilmu lain memang tak mudah. Diperlukan kepekaan sosial yang tinggi dari komikusnya sendiri disamping diperlukan pula kemampuan pencernaan ilmu yang baik sehingga dari penjelajahannya akan dapat menghasilkan komik yang bermutu dan tak lekang dimakan waktu.

Barangkali tugas komikus akan sedikit bertambah berat setelah bercapai-capai mempelajari kemampuan teknis visual. Tapi bagaimana dengan sinergi atau kolaborasi yang bukan tak mungkin akan mempermudah kerja komikus yang memang tugasnya sebagai penggambar? Sinergi atau kolaborasi dengan penulis cerita yang unggul dalam sastra misalnya juga diperlukan kemampuan membuka diri terhadap disipilin ilmu lain sehingga komik yang dihasilkan tak meulu hanya menjadi “masuk komik keluar komik”.

Mempelajari keberhasilan dari komik impor mungkin adalah salah satu cara termudah sehingga misalnya kita dapat menyebut kenapa komik Tintin karya Herge masih digemari orang sampai sekarang ini. Aspek sejarah dan observasi yang mendetail yang kadang menghasilkan dunia arbitrer (mana suka) adalah bukti keberhasilan misalnya kenapa komik Tintin, Lucky Luke, atau Asterix masih memikat sampai sekarang.

Sejatinya komik memang dunia visual. Bahasa gambar jauh lebih kuat ditonjolkan demi menghasilkan komik yang baik, seperti misalnya beberapa “komik bisu” karya Wisnoe Lee Gibug dan Oncom atau Peter Kuper dengan Sticks and Stones (2004) nya yang mampu bercerita dengan hanya gambar, bukan kata-kata. Akan tetapi bukankah keberhasilan yang dicapai komik-komik bisu tanpa cerita juga berhasil dicapai akibat terbukanya sang komikus dengan wawasan ilmu lain?

Kita memang harus bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan komik yang bermutu. Hendaknya wawasan ilmu lain serta keterbukaan diri perlu ditingkatkan lagi oleh para komikus kita di masa mendatang.

Rawamangun, Januari 2008

*) Eseis dan pencinta komik, tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป