Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
Teater Garasi menyiapkan setiap eksponen pendukungnya, termasuk aktor, adalah kreator.
Dua orang perempuan sibuk bersolek di sudut ruang terbuka. Lalu lalang orang yang lewat seolah tak mengganggu aktivitas mereka untuk menyapu pupur ke muka. Di muka yang berbeda beberapa anak tampak sibuk melarikan diri dari kejaran Satuan Polisi Pamong Praja.
Kemudian dari podium muncul seorang pengamen yang merapal tentang Catatan Pinggir milik Goenawan Mohamad. Cerita tragis mengenai pedagang gorengan yang bunuh diri itu lalu disahuti oleh seorang perempuan dalam kotak dengan untaian sajak Chairil Anwar.
Situasi jalanan yang dekat, namun kerap terlupakan diboyong dengan sempurna ke atas pentas oleh Teater Garasi. Repetoar berjudul Je.ja.lan itu pun menjelma menjadi karya yang menuai banyak puja-puji. “Kami menggunakan kesenian untuk menawarkan alternatif pandangan atas kenyataan,” kata Direktur Artistik Teater Garasi Yudi Ahmad Tajudin kepada Jurnal Nasional, beberapa waktu lalu.
Teater Garasi merupakan sebuah komunitas kreatif dan laboratorium penciptaan teater. Didirikan oleh tiga orang sekawan, Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto, komunitas ini berusaha mencari dan menciptakan bentuk-bentuk pengucapan artistik yang segar dan mampu membangun dialektika kritis terhadap lingkungannya.
Sejak lima belas tahun silam Teater Garasi menjadi wadah untuk menampung gagasan kritis dalam wujud kerja kreatif dengan pendekatan lintas disiplin. “Buat kami, teater merupakan alat baca lingkungan selain sebagai ekspresi kesenian,” ujar Yudi.
Konsep labolatorium penciptaan teater menjadi salah satu ciri yang membedakan Teater Garasi dengan kelompok lainnya. Ada semangat untuk selalu mendasarkan karya pada riset, baik secara bentuk maupun tema.
Mungkin ada beberapa kelompok teater lain yang memakai pola kerja serupa, namun memilih untuk tidak menamainya secara eksplisit. Tetapi Teater Garasi memilih untuk menamainya secara terbuka sebagai salah satu jalan untuk kritis dengan metoda yang digunakan.
Jelajah estetika yang mereka lakukan bukan hanya sekadar berkutat pada tumpukan buku atau berselancar di dunia maya. Anggota Teater Garasi juga turun langsung untuk mengenal lebih dekat materi-materi yang akan mereka pentaskan.
Sebagai salah satu contoh ketika menggarap Waktu Batu, Yudi mengajak rekan-rekannya untuk melakukan pendekatan spesifik terhadap candi. Dengan terjun langsung, sensibilitas pun terasa lebih terbuka. Bukan hanya mata, semua indra diajak untuk mengidentifikasi.
Hasilnya tak sia-sia, Anggota Teater Garasi, Ugoran Prasad yang sebelumnya menghadapi kesulitan membayangkan medan kuburan ala fantasi Mahabrata Jawa untuk kebutuhan skenario-nya, perlahan merasa paham mengenai bentuk ruang Setra Gandamayit.
Bukan hanya itu, patung garuda mencengkeram gajah di Candi Sukuh juga kemudian mengilhami bentuk topeng yang dipakai awak teater Garasi saat pementasan. Imaji kura-kura yang kerap muncul di Candi Sukuh pun tak kuasa mereka hapus sehingga menjadi bagian improvisasi di atas panggung.
Distribusi Kekuasaan
Ciri lain dari Teater Garasi yang jarang ditemui pada kelompok lain adalah adanya distribusi kekuasaan. Kekuataan kelompok tidak hanya bersandar pada satu tokoh, melainkan menyebar merata. “Sejak lama kami menolak konsep sentralisme, di mana proses kreatif hanya bertumpu pada satu orang,” kata Anggota Teater Garasi, Gunawan Maryanto.
Salah satu program guna memperkokoh visi tersebut adalah Seri Solo Sembilan Aktor. Pada program tersebut masing-masing aktor diberi keleluasaan untuk merancang karya yang ingin mereka tampilkan mulai dari pengembangan gagasan, perwujudan idiom-idiom kreatif, hingga strategi presentasi karya di depan publik.
Lakon Shakuntalla yang disutradarai oleh Naomi Srikandi merupakan salah satu dari Seri Solo Sembilan Aktor yang berhasil menuai sukses. Repertoar yang diangkat dari novel karya Ayu Utami ini seolah menjadi langkah awal yang nyaris tanpa aral bagi Naomi.
Naomi mampu menghidupkan teks dan karakter kompleks yang terdapat dalam naskah. Sehingga pertunjukan yang berlangsung selama satu jam ini menjadi sarat akan ungkapan padat yang menyiratkan carut marut pengalaman hidup Shakuntala.
Lulusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Ini mencairkan pertunjukannya dengan menggunakan idiom kebudayaan massa. Salah satunya dengan kostum tukang sulap yang digunakan saat menceritakan memori dan fantasi Shakuntala tentang tubuh, seks, dan kekerasan ayahnya.
Lebih dari itu, kesuksesan Naomi juga tak lepas dari dukungan seting yang digarap Titarubi. Pilihan bentuk dan corak minimalis, ditambah tata cahaya arahan Johan Didik, seolah menegaskan kehadiran dualisme seksualitas: feminin dan maskulin.
Gunawan mengatakan, tujuan utama program Seri Solo Sembilan Aktor ini adalah guna menumbuhkan aktor sekaligus kreator. “Sebagai penegasan bahwa aktor adalah kreator, bukan sekadar boneka sutradara,” kata lelaki yang memperoleh Anugrah Budaya dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ini.
Selanjutnya ia memaparkan bahwa sebagai seniman seorang aktor dapat menawarkan gagasannya. Setelah dipaparkan dan disepakati bersama gagasan tersebut dapat segera diolah, baik melalui riset literer atau cara lainnya.
Senada dengan Gunawan, Yudi mengatakan, program Seri Solo Sembilan Aktor menjadi langkah supaya awak Teater Garasi tidak terjebak dalam gerombolan. “Itu merupakan strategi kelembagaan. Bahaya laten yang mengancam kelompok teater adalah hilangnya individu dalam komunitas,” ujar Yudi.
Program tersebut merupakan investasi jangka panjang bagi kelangsungan hidup Teater Garasi. Di mana para anggotanya diberikan ruang kreatif sendiri sehingga tumbuh menjadi seniman yang independen.
Pengamat seni Alia Swastika memandang positif pola “distribusi kekuasaan” yang dilakukan dalam tubuh Teater Garasi. Penyegaran penyutradaraan menurutnya, meski belum semuanya berhasil namun ada beberapa karya yang perlu digarisbawahi.
Proses penyegaran tersebut melahirkan inspirasi yang beragam, sehingga Teater Garasi produktif menghasilkan karya yang kaya warna. “Teater Garasi merupakan salah satu kelompok yang memberikan inspirasi bagi dunia teater tanah air,” kata Alia.
Sementara itu, Yudi melihat “distribusi kekuasaan” itu sebagai salah satu strategi untuk menghindari kebangkrutan. Banyak kelompok teater terpaksa gulung tikar ketika menginjak usia belasan tahun.
Menurut Yudi, permasalahan yang dihadapi biasanya berkisar pada dana dan sistem manajemen tradisional. “Karena itu kami menolak rumusan-rumusan tradisional di kelompok teater yang biasanya hanya berpusat pada satu tokoh,” ujar lelaki yang pernah meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Teater Remaja ini.
Berkaca dari pengalaman-pengalaman kelompok lain, sejak awal Teater Garasi mencoba menerapkan sistem manajemen distribusi kewenangan dan tanggungjawab. Anggota kelompok dirangkul untuk saling memahami visi misi. “Sehingga kalau mereka membuat karya masih dalam kerangka visi Teater Garasi,” kata Yudi.
Lebih lanjut, Teater Garasi berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan baik dari dalam maupun dari luar. “Kami berusaha mengidentifikasi diri sehubungan dengan lingkungan, publik, dan penonton. Kami ingin tumbuh bersama,” kata pria yang juga menyutradarai pertunjukan Waktu Batu.
Mengembangkan Jejaring
“Kalau hanya mencari kekayaan dan popularitas mending buat sinetron saja.” Jawaban itu terlontar ketika ditanya mengapa memilih teater sebagai muara berkesenian. Sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia, berkecimpung di dunia teater layaknya menceburkan diri dalam sumur tanpa dasar.
Dunia teater memang tidak menjanjikan kemegahan materi ataupun embel-embel popularitas. Banyak aktor dan sutradara teater yang hidup dalam keterbatasan materi, walau nama mereka sudah banyak dikenal.
38 tahun lalu dramawan WS Rendra pernah melontarkan ungkapan “Kegagahan Dalam Kemiskinan: Teater Modern di Indonesia”. Meski telah terentang waktu puluhan tahun, rasanya ungkapan yang dimuat dalam buku Mempertimbangkan Tradisi itu rasanya masih sesuai dengan keadaan para penggelut dunia teater di Tanah Air.
D antara anggota Teater Populer pimpinan Teguh Karya (alm) terdapat semacam kredo yang terus-menerus didengungkan untuk mempertahankan semangat berteater. “Di rumah ada surga, tapi kami memilih kelam di jalan.”
Yudi memandang keterbatasan tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. Ia mengatakan, para pekerja teater harus kembali pada niat awal berkecimpung ke dunia tersebut. “Kalau untuk mencari kekayaan dan popularitas teater merupakan pilihan yang salah karena tidak ada infrastruktur untuk itu,” kata alumni Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM ini.
Untuk menyiasati hal itu, Teater Garasi memasang strategi dengan meluaskan medan kreatif ke lingkungan yang lebih luas. Perwujudannya dengan kemitraan dengan lembaga-lembaga kebudayaan dan sosial lain, baik dalam wilayah lokal maupun global.
Terentang dari institusi kebudayaan/sosial lokal sampai pada lembaga kebudayaan semacam Centre Culturel Francaise (CCF) dan The Japan Foundation (untuk produksi pertunjukan teater), Asia Link (untuk program Artist in Residency), OSI-Open Society Institute (dalam bentuk institutional building), Hivos Foundation (untuk hibah yang sama sejak tahun 2003-2007), Kedutaan Belanda (2006-2009) serta lembaga-lembaga festival teater/seni pertunjukan baik di dalam maupun luar negeri.
“Kami menjalin kerja sama dengan lembaga donor baik dari dalam maupun luar negeri yang peduli pada kesenian sebagai aktivitas kultural,” ujar Yudi.
***