D. Zawawi Imron
jawapos.com
Dalam sebuah tayangan televisi, saya pernah menyaksikan seekor kijang yang dikejar beberapa ekor harimau di atas padang sabana yang sangat luas. Kijang yang akan dimangsa itu lari sekencang-kencangnya, agar selamat. Tapi si predator tidak kalah kencang. Mungkin karena dipacu oleh kelaparan akhirnya salah seekor harimau itu berhasil menerkam si kijang. Dalam waktu beberapa menit saja tubuh kijang itu sudah tidak bernyawa.
Saya merasa ngeri melihat kekerasan yang terjadi dalam dunia kebinatangan. Meskipun, hal yang demikian itu mungkin bisa dianggap wajar karena akal dan perasaan binatang tidak lengkap dan sempurna seperti manusia. Binatang tidak punya belas dan kasih sayang sebagaimana dimiliki oleh manusia.
Tetapi, setelah melihat kenyataan, kekerasan yang dilakukan harimau terhadap kijang atau yang dilakukan burung elang terhadap puyuh dan kelinci, ternyata ada yang lebih ganas lagi. Perhatikan film The Killing Filds yang dibintangi Dip Pranh pada 1980-an. Film itu menceritakan pembantaian besar-besaran ketika terjadi perang antara tentara Amerika dengan pejuang Vietnam. Nyawa manusia sudah dianggap tidak berharga dan darah anak cucu Adam menjadi sejenis sampah. Sungguh mengerikan!
Pelaku kekerasan yang disebut ”perang” itu tidak lain adalah manusia, makhluk yang secara budaya dianggap punya pikiran cerdas dan perasaan yang mendalam. Pada akhir 1970-an, setelah saya membaca buku-buku tentang filsafat, budaya, dan aneka majalah, saya pikir tidak akan ada perang lagi di dunia ini. Saya yakin, dengan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan modern, manusia pasti akan dipandu oleh ilmu dan akal sehatnya untuk menghentikan kebiadaban yang disebut perang. Nyatanya tidak. Ilmu pengetahuan tentang hidup dan kemanusiaan tidak sepenuhnya bisa menyetop perang. Bahkan senjata canggih, mulai senapan mesin sampai bom pemusnah masal masih juga dibuat orang. Negara-negara maju masih terus menggalakkan pabrik senjata baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual kepada negara-negara yang siap untuk berperang.
Hal ini bisa menjadi catatan bahwa istilah ”maju” bagi suatu bangsa atau negara lebih berorientasi kepada kemajuan fisik atau kemakmuran material saja. Kalau istilah maju itu diorientasikan pada peningkatan martabat kemanusiaan yang oleh orang Barat disebut ”humanisme”, tentu saja perang tidak terus berlangsung sampai sekarang.
Orang yang memihak kepada nurani kemanusiaan, pasti akan merasa ngeri melihat korban-korban perang, baik yang sudah mati maupun yang terluka. Bisa dibayangkan ngerinya perang. Rakyat sipil yang tidak tahu persoalan tiba-tiba kena letusan bom sehingga salah satu anggota tubuhnya hilang untuk selamanya. Atau seorang anak kecil yang belum berumur 10 tahun, harus kehilangan ibu tercinta di samping ia sendiri harus terbaring di rumah sakit karena salah satu kakinya buntung. Ribuan orang dan anak-anak harus menderita akibat kekerasan dan keganasan manusia. Inilah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Kerja kebudayaan antara lain adalah menanamkan rasa percaya kepada kemanusiaan. Tapi, bagaimana orang percaya kepada kemanusiaan, kalau perang terus berlangsung dan itu dikomando oleh orang-orang cerdik pandai. Bahkan PBB pun tak terlalu didengar oleh para pelaku perang. Pada 1970-an penyair Taufiq Ismail membuat pepatah petitih baru untuk mencermati persidangan PBB.
Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya
Taufiq seperti menggugat ”hak veto” dalam persidangan PBB yang dirasakan kurang demokratis. Tidak mustahil beberapa persidangan masalah perang di PBB kadang jauh dari rasa keadilan.
Perang biasanya ditentukan oleh pemimpin tertinggi dalam satu negara. Kalau seorang kepala negara berjiwa lembut seperti Mahatma Gandhi, barangkali tak begitu banyak terjadi penyerangan terhadap negeri lain. Jiwa Gandhi adalah ”kemanusiaan” yang mengutamakan cinta kasih. Manusia tidak boleh menjadi serigala bagi manusia lainnya.
***