m-faizi.blogspot.com
Lirik Masa Tua
Betapa hidup terasa sekejap, dan usia habis dalam sesaat. Tahun-tahun berlalu bagai selintas. Semua itu, dalam kesementaraan ini, cuma hinggap, lalu lewat.
Bagi seorang alim, hidup terasa sebentar. Ia ingin hidup lebih lama lagi untuk beribadah dan berbuat kebajikan. Sementara bagi orang yang baru saja siuman dari mabuk dunia, seolah ia baru terjaga dari tidur pulasnya. Sementara maut kian mendekat dan tak sempat terpikir taubat. Bagi orang yang terlena, hidup benar-benar tak pernah benar terasa. Nikmat dan keasyikannya menyelimuti selaput hati, selaput otak, dan selaput mata. Karena itu, hidup tampak selalu segar dan indahnya maha.
Masa tua,
Jangan engkau datang di saat aku belum mengerti rasa asin dan engkau sudah lepas manakala garam di tangan masih segenggam. Kini aku bertanya, adakah nanti aku akan menjadi angkuh dan sangat perasa karena menganggap diri paling kenyang makan asam garam kehidupan, akibatnya lupa pada arah datangnya kebenaran?
Masa tua adalah muara bagi sungai-sungai yang mengalir dari jantung kehidupan. Sebentar kemudian, akan dicapainya laut. Sungai-sungai mengalir ke laut. Begitu pula, hidup mengalir menuju maut.
Ya. Duhai, Masa tua.
Sungai-sungai mengalir ke laut.
Hidup bergulir menuju maut.
Engkaulah muara itu, wahai masa tua; di mana ampas dan saripati dikecap, di mana pengalaman dan kenyataan disesap.
Pada suatu saat nanti, akan datang suatu masa. Itulah masa tua; masa yang mana hidup kian meredup dan usia di ambang maut. Itulah masa yang mana orang?orang akan menyesal; kenapa tak dari dulu beramal?
Rumah yang Sepi
Hidupku dikungkung hiruk-pikuk, di antara himpitan dinding Kota Benda. Sakit batin, sakit lahir. Maka, kuputuskan pergi untuk mencari sepetak huma yang lain. Hingga akhirnya, kutemukan sebuah padang yang luas dan indah. Tanahnya subur, udaranya segar. Tak teringat lagi berapa tahun panjang perjalanan kutempuh dan berapa lama sudah usia terlewat. Rasa letih dan jemu hilang serta merta begitu kudapati sebuah padang dengan pemandangan memesona. Sedap dipandang mata.
Di salah satu tepinya, aku membangun sebuah rumah kecil. Di atas sebidang tanah dengan halaman dan kebun belakang yang luas. Di tempat yang sepi itu, aku menemukan ketenangan yang benar-benar. Tak ada berisik orang-orang memaki, ataupun bisik-bisik orang-orang memfitnah. Sebab, di sana aku seorang diri.
Beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang, satu demi satu, kelompok-kolompok, suku, kafilah, dan imigran. Mereka menjadi tetanggaku. Maka, gaduhlah tempat sunyi itu. Aku tak betah dan akhirnya pindah. Hasratku cuma satu, mencari rumah yang sakinah. Yaitu, tempat yang dapat membebaskanku dari segala gelisah.
Aku pergi melanglang. Mencari tempat yang sepi dan tenang. Tapi, setelah banyak tempat kutemukan, setelah banyak rumah aku huni, setelah banyak tetangga berdampingan, setelah ramai hiruk-pikuk kurasakan, tak ada lagi tempat kudapat, tak ada lagi tujuan kujelang.
Tanpa mengenal putus asa, aku terus mencari tempat yang kudambakan itu. Sebuah tempat yang benar-benar tersembunyi, juga sunyi. Supaya tenang ketika berpikir sehingga nyaman bila berdzikir. Hingga akhirnya kutemukan sebuah rumah mungil yang sepi. Letaknya dekat sekali. Di sudut terkucil di lubuk hati.
Sareyang di Penghujung Zaman
Di batas akhir pikiran tentang benda, aku melihat lain inti dunia. Kata hati menyebut cinta, namun lain bibir bicara.
Sareyang, engkau berpejam mata di akhir zaman, mendambakan air kesejukan dari kahyangan; air yang dipercikkan para bidadari dari Firdaus dan Taman Aden, jadilah hujan, tumbuhlah rumput. Angin memperkawinkan putik bunga, maka mekarlah kehidupan, berkembanglah dunia. Dan air surgawi itu, tak boleh habis dalam sekejap. Janganlah ia kauteguk tandas. Ingatlah esok hari, siapa tahu kemarau panjang datang kembali.
Di batas akhir pikiran tentang masa, kembali kosong ke purwakala. Di sana, yang hampa jadi bermakna. Teori-teori mencari bukti. Rumus-rumus menyangsikan angka. Sepi bergerak mencari bunyi. Segalanya kemudian kehilangan makna. Segalanya kemudian kembali meraba arti.
Yang dulu dibenci kini dicinta.
Yang dulu dicaci kini dipuja.
Ke mana pergi logika? Rasionalitas dan kenyataan sama-sama mengeluarkan senjata, siap menikam. Inikah akhir sejarah? Kitab hidup sudah selesai dibaca. Kini saatnya mukadimah harus lagi dibuka.
***
Inilah dunia, dan beginilah permainan itu, Sareyang.
Buka matamu dan tataplah semua benda yang ada di panggung drama ini. Orang-orang berjalan beriringan, susul-menyusul, lalu sikat-menyikat, akal-mengakali. Yang maju memimpin, yang kolot tertinggal. Yang kuat berkuasa, yang lemah menghamba. Pikiran beradu; Timur dan Barat. Agama-agama mencari titik persambungan iman. Paham-paham pun bermunculan; Kiri dan Kanan. Namun, ini zaman sudah cukup kenyang menampung pengalaman, sejarah, dan peristiwa dari masa silam. Maka kelahiranmu ke dunia adalah untuk membaca kembali kitab sejarah umat manusia dan peradabannya, semenjak Adam bertemu Hawa, semenjak Ibrahim menemukan Tuhannya, semenjak Isa diperdebatkan hingga Muhammad lahir menjadi penghabisan.
Dunia adalah roda berputar.
Bila diam akan tergilas.
Engkau berpikir jadilah kendali.
Engkau membaca tahulah kemudi.
Sareyang, engkau lahir di penghujung zaman, saat cahaya-cahaya semakin muram. Ketika benda berkuasa dan gelap melanda, hanya nurani satu-satunya tanju yang menyala di segala cuaca. Maka, dengannya kaubuka pintu hati. Membaca peristiwa, menakar waktu, mencari makna tentang kelahiran, nasib, dan surga. Sesungguhnya, manusia adalah para pelaku utama di dalam maha drama kehidupan.
Yang berpikir akan bebas bergerak.
Yang berdiam akan mati berserak.
Sareyang!
Nasib bukan harga mati dan hidup adalah sebuah permainan. Ubahlah ia pada apa saja kaumau, atau ia akan menjadikanmu apa pun permainannya.
***