Prosa-Prosa M. Faizi

m-faizi.blogspot.com

Puncak

Mungkin engkau pernah mendengar kisah tentang pendakian Edmund Hillary dan Tenzing Norgay yang pertama kali mencapai puncak Himalaya. Aku juga pernah mendengar cerita tentang Neil Armstrong. Kabarnya, dialah manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Mereka sama-sama telah tiba di puncak yang berbeda dalam ketinggian, tetapi sama dalam kemauan.

Manusia selalu ingin mencapai suatu puncak tertinggi di dalam hidupnya. Masing-masing mereka memiliki puncak bagi ketinggian maksud dan keinginannya. Bagi pedagang, puncak adalah keuntungan dan kekayaan. Bagi seniman, puncak adalah karya besar. Bagi ilmuwan, puncak adalah penemuan. Dan bagi politikus, puncak adalah pemecahan.

Namun, mereka semua dapat menjadi pencinta; ia yang tak memiliki puncak bagi keinginannya. Karena seorang pencinta yang telah mencapai puncak akan hambar hidupnya. Sebab itu, ia harus terus mendaki tanpa mengenal henti.

Manusia mendambakan kebenaran dengan semangat dan cinta pada suatu alam yang mana ia akan mencapai suatu puncak yang menjadi akhir dari segala keinginan. Untuk itu, mereka harus terus mendaki. Dan pendakian itu akan cukup banyak menguras tenaga dan pikiran. Mereka akan terus berjuang menuju titik akhir yang tidak mereka ketahui kapan, di mana.

Setelah napas terengah, daya habis sama sekali, bekulah darah. Pada akhirnya, sampailah mereka di puncak pendakian. Puncak itu adalah mati.

Lirik Kematian

Aku terbaring. Dada sesak. Panas sekujur tubuh. Dalam ketakutan yang maha, bagai seorang calon tamu malaikat di dalam kubur, kurasakan kulit pori-pori mengisut. Mata kuyu menunggu maut.

Aku bangkit dari pembaringan. Melawan daya yang tak ada, melawan takut yang membayang. Tak akan pasrah kepada nasib. Tak akan menyerah kepada sakit. Aku tak mau mati. Aku mau tidur dan bangun ketika tak ada lagi penyakit di muka bumi.

Aku tak mau mati!
Ilmu pengetahuan melahirkan berbagai teori, obat, dan penemuan-penemuan di bidang kedokteran yang begitu cemerlang. Dan dengan kecerdasannya, manusia punya alasan untuk hidup abadi dan menolak untuk mati.

Lalu, muncul tanya dalam hati.
Gejala apakah ini? Bagaimana sebenarnya tugas utama ilmu pengetahuan menyelesaikan permasalahan? Bagaimana tugas filsafat mencari persoalan secara mengakar? Adakah agama sudah mempersiapkan jawaban?

Manusia takut mati karena daya pikat dunia. Pesonanya sungguh luar biasa. Hari-hari yang penuh gemerlap, suka-cita, kesenangan, dan gelak tawa. Itulah dunia; rumah paling mewah tempat segala kenikmatan dapat dijumpa. Berhambur dan berdansalah di halamannya. Karena bila ajal tiba, segala impian dan kesenangan akan menjadi percuma.

Setelah lama merenung, aku kembali bertanya; bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi kemampuan ilmu pengetahuan? Bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi nalar karena ia berada di luar batas capai akal?

Dalam renung panjang, tafakur mendalam, bertanya-jawab dengan diri, tentang jiwa abadi, tentang alam semesta, tentang nyawa, hidup di dunia, alam baka, surga dan neraka, aku menemukan kepastian.

“Aku selalu siap pulang kembali ke tanah. Dunia ini hanya tempat sekejap singgah. Tempat melepas suntuk dan sekadar lelah.”

Kini, aku tahu, bahwa kematian diciptakan Tuhan untuk menjelaskan pada manusia, agar dengan akalnya ia berpikir dan dengan hatinya ia merasa, bahwa ada suatu keabadian yang lebih indah daripada kehidupan.

Munajat

Nyalakan kembali tanjuku, ya Allah.
Sudah habis damar untuk membakar, sudah tutung sumbu menahun. Tak ada lagi harapan cahaya. Waktu dan cuaca membuat tanju tinggal jelaga. Maka, kegelapan adalah satu-satunya yang kupunya.

Dulu, saat cahayanya masih melimpah, aku pancarkan sinarnya merata ke semua penjuru rumah. Bahkan, membias melewati pintu dan jendela, jatuh di halaman. Pekarangan pun terang-benderang. Kini minyak dan damar begitu sulit kudapat. Mestinya aku menadah pada-Mu; satu-satunya tempat aku meminta. Aku barulah tahu, alangkah kegelapan begitu menyiksa, setelah pergi semua cahaya.

Kini, aku cuma bisa meraba. Hilang arah, hilang tujuan. Rumah tempat aku bernaung dan bilik tempat aku menyepi terasa lebih asing daripada segala penjara dunia. Betapa asing diriku di rumah sendiri, betapa asing diriku di hadapanku sendiri.

Aku ingin menangis, tapi dapatkah air mata menyulap gelap jadi cahaya? Aku menyesal, namun alangkah memalukan. Masa lalu sudah cukup banyak mamberi tamsil dan teladan. Aku hendak bermunajat, tapi apalah artinya bila tanpa seiring taubat.

Nyalakan kembali tanjuku, ya Allah.
Diri memang bejat dan selalu berbuat jahat. Manusia mencari cahaya, tapi menunggu lebih dulu gelap datang melanda. Amal kebajikan sangat terasa berat bila tidak bersama ikhlas.

Di manakah letak cahaya bagi manusia?
Apakah kebaikan memang harus didahului kesalahan dan penyesalan? Apakah Rabi’ah dan Rumi harus lebih dulu meneguk tandas anggur duniawi yang madu di lidah, tapi racun di hati, hingga akhirnya mereka mengecap setetes kautsar-Mu yang membuat mabuk mandam di samudera kasih-Mu? Apakah aku harus lebih dahulu berada jauh di seberang-Mu sebelum akhirnya menjadi pencinta yang tak kenal apa pun selain Kekasihnya?

Kegelapan memang benar-benar menakutkan. Tak ada jalan lain kutuju kecuali Engkau nyalakan kembali tanjuku. Aku tahu Engkau pasti berkenan, hanya saja aku biarkan lampuku padam, memilih gelap daripada terang.

Sejarah telah memberi banyak pelajaran, tetapi aku mengejanya dengan lidah cedal dan terbata-bata. Bahkan, andaipun aku mampu membaca, tapi enggan ketika tengah bermandi cahaya, tak pernah sadar kecuali setelah dirundung malapetaka.

Inikah nasibku? Atau memang begitukah manusia?
Mataku telah lamur, hatiku telah tumpul, sementara beban berjibun haruslah kupikul. Dan sekarang, membaca aku tak dapat, mendengar telinga tersumbat. Kegelapan adalah segala ketakutanku. Aku tak dapat lagi berbuat apa pun sampai Engkau nyalakan lagi tanjuku sebagaimana Engkau nyalakan dahulu semenjak aku masih di rahim ibu.

Nyalakan lagi tanjuku, ya Allah.
Aku pengemis dan Engkau Pemberi.
Aku kegelapan dan Engkau Cahaya.
Aku pengemis yang tidak selamanya menadah.
Tapi, Engkaulah Pemberi yang tak henti mengasihi.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *