Puisi-Puisi Thowaf Zuharon

http://sastrakarta.multiply.com/
Suatu Siang di Tanah Itu
– buat Windy

di sebuah tanah yang telah merantaukan
muram buku harianmu, tempatmu
mencatatkan kalut, yang ternyata dulu
tertanam pada kulit pohon kepel,
pada dinding gedung-gedung yang terpugar
karena iklan dan sumbangan,
di situ, sebuah hari, bagimu
hanya kereta tua yang cepat berlalu
tanpa mau mengucap salam perpisahan,

hari yang membuatmu selalu ingin
menyusun gurauan di kantin penuh angin,
penuh pertanyaan dan jawban.
di tanah itu, kau begitu suka
menggumamkan kisah-kisah sederhana.
tentang ibumu yang bergincu kecemasan.
tetanggamu yang melesat kerja ke negeri jauh,
atau kekasihmu yang kian larut dalam kesibukan

di tanah itu, kau pun menyusup dalam langkahku,
membagi keraguanmu
pada jalan-jalan yang berlimpah
rintangan, tangis dan harapan
mimpi itu begitu pekat, katamu,
seperti raut lelah tukan batu yang kerap gugup
menatap segala harga yang terus melaju

Fantasi Hujan Siang Hari

kalau deras hujan menjelma kata-kata
tak perlu lagi kita bicara, menulis, atau membaca.
sebab hujan telah jadi dongeng yang merembes
ke sungai, ke muara, ke pematang yang mengandung
air mata orang-orang desa

kalau deras hujan menjelma kata-kata
jalan kurup dengan puisi dan demonstrasi
wajah pasar jadi sunyi, toko-toko pucat pasi

kalau kata-kata menjelma deras hujan
genting rumah bising caci maki
semua benda dipanpangi huruf-huruf
kuburan basah doa-doa
dan di luar, hujan semakin menderas

kalau kata-kata menjelma halilintar
saat hujan menderas
manusia enggan bercakap
penyair ramai merangkai hingar bingar
dan kata-kata semakin menderas di luar

kalau hujan hanya fantasi yang siang
laut berangsur susut, rumput akan maut

Kita Berjalan di Trotoar

kita berjalan di trotoar.
siang api dan rambut ponimu
meruapkan masa lalu,
makin menyeruakkan
cerita nenek moyang pilu.
cerita yang merangkum derita kerja paksa,
penjajah yang menjarah subur tanah,
hingga anak cucu hanya mampu
menelan kalah dan amarah

kita berjalan bareng di trotoar.
amis angin kota meniup tubuh kita.
serasa mengirimkan jerit kanak
kehilangan mainan dan ibunya,
jerit dari kota muram penuh luap hujan,
penuh air mata sedu sedan

kita tetap berjalan di trotoar
meski jejak tak ada lagi
meski cahaya tinggal jadi lara
meski masa depan cuma arang
meski mimpi tak menawarkan imaji

Lelaki Bersegi Sembilan

di sepanjang alur perjalanan
seolah selengkap semesta
seorang lelaki bersegi sembilan
senantiasa menebarkan damai surga

di sekujur daratan
dengan ucapannya yang remang
kukuh menggarami samudera
dengan semilyar welas asih
hingga angin ikut asin

lelaki bukit mati lahir kembali di Jogja
di atas punggung kuda berpelana merah tua,
gagah-gigih dalam jubah putih dilingkupi doa-mantra,
selepas usia empat tiga,
tubuh mungilnya bergegas menebas
pamrih miang duri wanasari
cakrawalanya menggagas aras cemas
selalu resah agar tetap manusia
menapaki jejak tapak Suryo Mentaraman
setiap rembang nyalang mengosongnya,
selalu mendengungkan Freire dan Comte
khusyuk merasuk dalam seluruh geraknya

begitu kencang dipacunya laju kuda,
berbekal buku dan buah karya, peta tanpa skala,
juga sebuah mikropon di tangannya
menjadi empu dari para guru,
ia terus mengembara seperti udara
kota demi kota, desa demi desa
mengungkap beribu mimpinya tentang
kertas-pena yang seharusnya tanpa harga,
remaja riang tanpa himpitan kutipan BP3,
atau tentang kita semua
yang sebaiknya marak bergerak
dengan satu modal bersama

dalam riuh pesta hari lahirnya, ingin kucuri
kerlip cahaya sembilan butir bintang
di luas lengkung keningnya
niscaya kusimpan satu di kamarku,
sebagai penerang mimpi burukku
dan kubagikan sisanya
kepada jutaan liliput dekil yang hampir kekal:
bersimbah samsara, selalu menggigilkan nasibnya
tak mengenal aksara,
terlunta tanpa roti dan aqua dalam siang neraka
jutaan liliput, para usia lima yang tersisih dari kasih
merindukan taburan cahaya
di perempatan kota-kota yang menentang agung nirwana

tapi sebelum kulunaskan niatku
lelaki bersegi sembilan itu lebih dulu
mempersembahkan seluruh semestanya
kepada kanak arca gempa yang menjelma
pemulung murung hampa asa
berbekal sembilan butir cahaya
yang terang menyala di tubuhnya
ia meleburkan seluruh selnya
kepada segala samsara mayapada
menjadi lilin kaum papa
lalu melesat ke nirwana
sembari mengumandangkan lengking tangisnya
yang kelak menggempur angkara

sampai nirwana, bersama siddharta
ia meluruhkan sembilan sudut dirinya
demi lestari wangi mayapada
lalu sempurna menjelma bilangan tak terhingga

2006

Leave a Reply

Bahasa ยป