http://sastrakarta.multiply.com/
Sebuah Panggung Bernama Lampung
dalam sandiwara kali ini
beribu peladang
seketika menjelma budak kongsi dagang
beribu kapal asing memangsa gembur suburku
mengganti lada dengan hunjam desing peluru
tubuhku susut dipagut serdadu bermata biru
murka Eropa kira-kira tiga abad lalu
aku dulu punggung yang berdebu
riwayat sakit bertabur mayat di dadaku
pada berjuta tubuh kanak
jutaan inggu dikalungkan
agar kematian raib dari ingatan
dalam hamparan kesedihan yang perpalung
aku belajar mengenal kembali
angka dan angkara
pada pukau parau Ranau yang seperti angka nol
pada nyeri sunyi yang selalu mengincar puisi
ruhku memudar dalam panorama
yang menandaskan getar dan getir tak terhingga
aku mencoba menyusun melodi
dalam babak tragedi tanah ini
tapi semua ruang telah bising denting terapang
yang beradu dalam karnaval seteru
aku seperti pandawa kalah dadu
Kalianda menjelma Kurusetra
anyir darah sedalam telaga, jasad pun membukit
ingin kuabadikan semua itu dalam lagu kelabu
dengan talo balak kesayanganku
tapi tetap tak ada nada yang bisa mengada
hingga aku hanya bisa mendekap
yang fana dan yang baka
dalam tawa dan air mata
beribu adegan berlumur tangisan
penantian dan harapan tumpas
secepat dengan napas
segala alur seperti dimainkan mundur
segala renung tergulung dalam panggung
yang dirayakan ribuan peran
entah sampai kapan
meski sangkala akan mendera
belum tentu ada iringan nada
di ujung pertunjukan karena epilog tak kunjung dimainkan
Agustus 2006
Catatan:
Inggu: Kalung untuk anak yang ditinggal mati orang tuanya. Dalam mitologi rakyat Lampung di jaman dahulu, kalung dari India ini dimaksudkan agar anak yang ditinggal mati tidak menangis mencari orang tuanya.
Terapang: Senjata tradisional masyarakat Lampung
Talo balak: Alat musik tradisional masyarakat Lampung
Ranau: Nama danau terbesar di Lampung
Maut Menyemut di Beirut
saat tersuruk dalam reruntuh di sudut Beirut
masih bisa kudengar hirup terakhir
nafas bocah yang masih sempat
merekam isak sebuah kota,
serta muram dentum meriam.
sebuah kota yang telah dibisukan
oleh seribu serangan
angin menjadi begitu mungkin di Lebanon
meniupkan talking yang penuh pertanyaan dan jawaban
Baldatun Thoyibatun yang selalu menjadi mimpi,
seketika lesap ke perut bumi
atau hanya akan tercatat
dalam lembar baru ensiklopedi
maut semakin menyemut di Beirut
lalu lantang kuseru:
Umar! Wahai anak si Khatab!
sang Khalifah jaman nabi
kuingin sosokmu dulu
menitis dalam Beirut yang banjir peluru
tapi aku hampir pingsan melihat
Umar bangkit dari kuburnya
kulihat Umar menatap gurun bersama kilat pedangnya
begitu haus darah serdadu Tel Aviv,
ia mengungkap prahara,
merajam dusta adi kuasa yang tak pernah usai
memeras air mata para jelata
singa padang pasir meradang garang
di atas tank pemberian rasulnya
(diam-diam Dajjal mengincarnya dari Bermuda)
saat kutanya kenapa ia mau bangkit dari kuburnya,
begitu angkuh dijawabnya,
Umar begitu cemas,
jika Dajjal sampai tak membiarkan
tumbuh lagi ayat dan doa.
“Di ladang perang,
nyawa gampang remuk bagai kerupuk!” tandasnya getas.
di belakang Umar,
sekompi hezbullah sibuk melipat waktu
tak bisa sedikitpun tertawa
meski digelitiki tangan-tangan murka
Belajar Menjadi Sepatu
ujung tahun delapan, bulan berlumur tamu
aku demikian curam
terhujam tanduk banteng
di tiga Senin
meski ngilu masih menganga
tetap kusambut pula sobatku benalu
ke Jogja ia bertamu
tersebab berkah kata-kata
merengkuh Jogja, menukil mijil
di Kedaton Palawija
berikut secabik roman di dalamnya.
seketika tersusun ritus penghormatan
aku lesap dalam dasar tubuhnya
belajar menjadi sepatu
tamasya bersama kakinya
suntuk melata ke semua penjuru
diterangi percik kecil korek api
tak merasa ada gigil cuaca mendera
dan kami semakin beririsan
dalam segitiga warung senja
kekal terhimpun!
aku harus menjadi sepatu baginya
karena bunga budi masa lalu
telah tertanam dalam jantungku.
setulus udara, ia menyertaiku
menyatu dalam lembut lanskap Nusa Penida
rekahlah cengkerama kita
semata karena subur kata-kata
hujanlah wahana-wahana berjiwa:
legam senja Tanah Lot, bukit seksi Kintamani,
amis Sanur, denyut Pasar Badung.
riuh transaksi Sukowati, buih lirih Kuta, surga Ubud,
juga sendu tetirah Bedahulu yang terus menggoresiku
telah datang Si Gadang Rantau
dibuntuti aroma bayi dan tembakau
ia semakin berjelaga
semakin hangus oleh kobar kata-katanya sendiri
sekian waktu hanyut dalam Unibu, sesaji bait puisi,
swargaloka pulau dupa menitahkannya kemari
meniti darah leluhurku yang beku
yang enggan mengalir ke tubuhku.
dan sebelum ruh sedingin subuh
aku terus menjadi sepatu
hanya tumbal berdebu
sepanjang langkah membuat rambu
mengantar kaki menanjaki tebing batu
menuntun lelaku gelap berliku
melingkupi tumit dari getir panas pasir
terus bertahan, sama sekali tak takut solku usang!
sebagaimana perangai sepatu, sekadar alas saja,
sepulang kembara sunyi di pantai utara
kening masih kernyit terbelit simpul kekasih
di petilasan Cepuri Parangkusuma
dalih pun kujadikan tanda mata
bagi jejaka bersetubuh risau tak tentu
tanpa pernah dewasa
melulu menderu dalam cinta
cukup berdua saja di paruh Juli
melankoli meletup di kaki Merapi
jalan telah menikung lima kali.
jadi, sepatu ditinggal saja, karena keriut jejaknya
hanya akan mengganggu suci senggama
bukankah Kaliurang dan Kalikuning terlanjur indah sebagi melodi?
maka sepasang harmoni lekaslah menjadi!
hanya setengah windu, rindu mengendap seperti candu
ia mengajakku susup diri
di hutan Mentaok
berburu langsat rusa betina
yang urung ia panah semusim lalu
berderap aku sepatu
kubimbing kakinya menaiki kusa Sumba
ditemani busur dan mata panah Ekalaya
tapi genit geliat rusa bertina
semolek Banowati
sekejap tersingkap di sampingnya
merayunya semata menjelma dadu
dalam meja permainannya
hari semakin perih
lantaran tak kuasa menghidup wangi khuldi
ia lisut dalam lembut langsat rusa betina
angan sedekah diri seteguh Bisma
lalu patahlah busur dan mata panah
malam pun kian meruncing
aku pernah yakin, tamu
adalah obat bagi yang sendiri.
tapi, pada gamang sekarang,
sebagai sepatu yang kian usang.
aku semakin sangsi pada rute tamasya ini
gerimis yang ia janjikan di bulan Juni
telah ia ganti dengan air mata dan daki
alamat telah robek ditingkah seteru.
barangkali kita memang harus beradu
seperti dua gelas yang berdenting
ketika dicuci bersama dalam satu ember kecil
cukupkan saja langkahmu, Juli
tak perlu kau berburu klangenan lagi
jangan kau usangkan dirimu menjadi sepatu, sepertiku!
tak perlu lama menatap sriti senja!
masih ada kutilang di Pasar Ngasem
biarkan saja Sriti senja terus mengepakkan sayapnya
bukankah angin telan menjadi panglimanya yang setia
sehingga ia merasa begitu kokoh di angkasa?
kita hanya perlu mengawetkan derunya
dan merelakan diri menjadi sebiji puisi
terkunci abadi
dalam tipis bayangan Sriti
sebelum kepergiannya hanya untuk menjadi kata
aku memohon padanya:
aku cuma sepatu
selalu ingin sampai di mana saja
tak perlu kau hapus semua alamat
agar kita tak menjadi kawan seteru
aku hanya perlu kau kencangkan tali sepatu
agar loncatanmu sampai di awan baru
ia berlalu
tanpa perlu sepatu
tinggal sebersit kenangan kecil
tentang korek api yang hampir mati
Patehan Kidul, Juli 2007.