Saini KM, Puisi, dan Pertemuan Kecil

Soni Farid Maulana
pikiran-rakyat.com

SETELAH periode Kuntum Mekar (1950-1965), rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat ada dalam periode Pertemuan Kecil (1976-1996), yang diasuh penyair Saini KM. Rubrik tersebut selain memuat sejumlah puisi karya para penyair dari generasi kemudian, juga memuat tulisan Saini KM mengenai kelebihan dan kelemahan puisi yang ditulis para penyair yang diasuhnya itu.

Rubrik Pertemuan Kecil sebagaimana dikatakan mendiang Suyatna Anirun dalam percakapannya dengan penulis pada 1996 lalu, mulai muncul di HU Pikiran Rakyat pada 1976. Rubrik tersebut ditutup pada tahun 1996 sehubung dengan kesibukan Saini KM yang pada saat itu diangkat menjadi Direktur Direktorat Kebudayaan Depdikbud, berkantor di Jakarta.

“Dibukanya rubrik Pertemuan Kecil merupakan respons positif dari HU Pikiran Rakyat yang pada saat itu ingin turut serta menumbuhkembangkan kehidupan puisi di Bandung khususnya dan di Jawa Barat pada umumnya. Terbukti, begitu rubrik tersebut dibuka mendapat sambutan yang luar biasa. Apalagi di Bandung saat itu gairah berkesenian cukup hidup,” kata Suyatna Anirun menjelaskan.

Kehidupan kesenian di Bandung pada awal 1970-an, menurut Suyatna Anirun, cukup hidup, antara lain ada Pengadilan Puisi yang melahirkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai tokoh, juga Abdul Hadi W.M. Selain itu, ada juga gerakan puisi mBeling yang dikomandani oleh Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado. “Selain mereka, di Bandung saat itu ada Wing Kardjo, Sanento Juliman, Karno Kartadibrata, Wilson Nadeak, Hamid Jabbar, Ade Kosmaya, dan sejumlah aktivis seni lainnya,” tutur Suyatna.

Sejak rubrik Pertemuan Kecil ditutup pada 1996, rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat tidak lagi disertai dengan catatan kecil ataupun ulasan sebagaimana yang dilakukan Saini KM. Jika pun ada ulasan, hanya satu dua kali saja, di rubrik puisi yang muncul pada terbitan hari Minggu yang kemudian lenyap. Saat ini, rubrik puisi di HU Pikiran Rakyat hanya ada di lembaran seni dan budaya Khazanah, dengan redaktur yang berganti-ganti.
***

LEPAS dari persoalan tersebut, diakui atau tidak, Saini memang merupakan seorang guru yang patut diteladani jejak langkahnya dalam berkesenian. Dari tangannya lewat rubrik Pertemuan Kecil yang diasuhnya itu, “lahir” sejumlah penyair yang karya-karyanya cukup diperhitungkan. Mereka antara lain Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Juniarso Ridwan, Nirwan Dewanto, Agus R. Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Nenden Lilis Aisyah, Ook Nugroho, Ahda Imran, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Wan Anwar. Selain itu, tentu saja masih ada sejumlah penyair lainnya yang lahir dari tangan Saini KM, seperti Giyarno Emha, Diro Aritonang, Wahyu Goemelar, Saeful Badar, Deden Abdul Azis, almarhum Beni R. Budiman, Yessi Anwar, Rudi Anggoro, Aang J. Res, Khaterina, Popi Sopiati, dan sejumlah nama lainnya. Sebagian dari nama-nama tersebut ada yang masih aktif menulis, ada juga yang tidak. Yang dimaksud dengan aktif di sini adalah memublikasikan puisi, baik di media massa cetak maupun dalam bentuk buku.

Berkait dengan peran Saini KM dengan Pertemuan Kecil yang diasuhnya itu, Forum Sastra Bandung pada 4 Agustus 2008 akan menyelenggarakan acara “Syukuran 70 Tahun Saini KM” di GK Rumentang Siang, Jln. Baranang Siang No. 1 Bandung, mulai pukul 13.00 WIB hingga selesai.

“Kami berharap para aktivitis Pertemuan Kecil bisa menghadiri acara ini. Selain itu, tentu saja kami pun mengundang pula seniman Bandung lainnya untuk datang ke acara ini,” ujar Juniarso Ridwan sambil menambahkan bahwa penyair Beni Setia yang kini tinggal di Caruban akan hadir pula pada waktunya.

Juniarso mengatakan, acara yang kelak digelar di GK Rumentang Siang, selain ramah-tamah, juga akan digelar pembacaan puisi karya Saini KM oleh sejumlah penyair Bandung dan penyair yang datang dari luar Kota Bandung. “Selain itu, Saini juga akan menerima sejumlah buku puisi yang ditulis anak-anak asuhannya yang kini sudah malang melintang di jagat sastra Indonesia modern. Saini adalah guru yang berhasil mendidik murid-muridnya. Terbukti tak ada yang sama dengan Saini dalam menulis puisi,” ujar Juniarso Ridwan menandaskan.

Saini KM memang guru bagi banyak penyair, baik bagi para penyair yang tinggal di Kota Bandung maupun di kota-kota lainnya di Jawa Barat. Kedudukan Saini pada satu sisi sama dengan kedudukan Umbu Landu Parangi, yang dari tangannya banyak “melahirkan” para penyair. Dari tangan Umbu antara lain “lahir” Emha Ainun Nadjib, mendiang Linus Suryadi Ag., Imam Budhi Santoso, dan sejumlah penyair lainnya (periode Yogyakarta) hingga Warih Wiratsana, Oka Rusmini, Wayan Sunarta, dan sejumlah penyair lainnya (periode Bali).

Lahirnya para penyair tersebut menunjukkan bahwa kehidupan puisi di Pulau Jawa dan Bali tidak akan bisa tumbuh sepesat sekarang ini kalau tidak ditunjang adanya peran media massa cetak dan orang-orang yang setia pada puisi seperti Saini KM dan Umbu Landu Parangi yang tidak pelit dengan ilmu yang dikuasainya itu. Di Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor lewat Sanggar Sastra Tasik (SST) mencoba menghidupkan puisi dengan cara yang lain, demikian juga dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy di Cirebon, dan Warih di Bali.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป