SASTRA JAWA TIMUR DAN KRISIS KRITIK SASTRA

S Yoga
kompas.com

Memperhatikan kehidupan sastra di Jawa Timur akhir-akhir ini, nampaknya cukup memprihatinkan. Satu sisi banyak karya-karya sastra yang lahir baik novel, cerpen maupun puisi. Baik itu ditulis oleh pengarang-pengarang senior maupun yang muda-muda. Sementara itu kritik sastra atau kritikus yang muncul di Jawa Timur sangat sedikit. Apalagi kritikus yang muda. Sehingga perbandingan dari jumlah karya sastra dan kritik sastra begitu tidak berimbang. Sehingga karya sastra lahir, tanpa kehadiran kritik sastra. Padahal kehidupan sastra akan dibilang sehat dan baik bila kedua belah pihak, pengarang dan kritikus bisa saling menghasilkan karya. Tentu saja kita berharap kepada para akademis khususnya yang telah banyak mempelajari teori sastra agar bisa menjembatani pengarang dan pembaca lewat kritik sastra maupun sekedar menulis apresiasi sastra.

Di Jawa Timur sendiri banyak bermunculan karya sastra yang bagus. Sebut saja D Zawawi Imron dengan syair-sayir bernuansa agama dan subkultur Madura. Mardi Luhung penyair dari Gresik yang puisi-puisinya di luar kanon sastra yang ada, dengan subkultur pesisir dan gaya Barok, puisi-puisinya pun diakui di tingkat nasional. Belum lagi penyair-penyair semacam Suripan Sadi Hutomo (Alm) yang karyanya bersubkultur Jawa, M Faizi dan M Fauzi dari Sumenep, Mashuri dan Indra Tjahyadi yang surealisme, Tjahjono Widianto, Tjahjono Widarmanto, dan banyak yang lebih muda lagi. Bahkan majalah sastra Horison pada tahun kemarin mengeluarkan edisi khusus Madura.

Dalam bidang cerpen dan novel ada Budi Darma yang karya-karyanya tidak disangsikan lagi kualitas dan karakternya, seperti Olenka yang bergaya stream of consciousness yang pernah menang dalam Lomba Novel DKJ, Muhammad Ali (alm) yang terkenal dengan sastra laparnya, M Fudoli Zaini (alm) yang terkenal dengan cerpen sufi-religiusnya, Suparto Brata, Beni Setia yang juga dikenal sebagai penyair, Zoya Herawati dengan novel etnis Cina Prosesi yang termasuk pemenang Lomba Novel DKJ, Ratna Indraswari Ibrahim dengan sastra human interest dan feminisnya, M Shoim Anwar dengan karya realisme sosialnya, Bonari Nabonenar, Sirikit Syah dengan kumpulan cerpen feminis Harga Perempuan, dan Tan Tjing Siong dengan novel Konser Pasar.

Sedang dari generasi yang lebih muda muncul Lan Fang dengan novel multikultur Jawa-Jepang, Perempuan Kembang Jepun, Sony Karsono yang cerpen-cerpennya memiliki karakter budaya massa, Wina Bojonegoro, Imam Mutarom dengan kumpulan cerpen Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan yang realisme magis, St Fatimah yang beberapa kali menang dalam berbagi lomba, termasuk cipta cerpen Krakatau Award 2005, Stefany Irawan dengan kumpulan cerpen Tidak Ada Kelinci di Bulan. Dan yang terbaru adalah novel Hubbu, karya Mashuri dari Lamongan, juga seorang penyair, yang mampu memenangkan hadiah utama dalam Lomba Novel DKJ 2006. Novel Hubbu sendiri dapat digolongkan sebagai sastra subkultur pesantren-kejawen, Islam-Jawa, hal ini menunjukkan bahwa di Jawa Timur tidak kekurangan stok sastrawan yang berkualitas dan berkarakter.

Dari karya-karya sastra yang ada di Jawa Timur, ternyata tidak diimbangi oleh telaah atau kritik sastra, baik yang akademik maupun kritik sastra non akademik, yang seimbang dan mumpuni. Seolah para kritikus sastra Jawa Timur hilang bagai ditelan bumi. Para akademik di universitas terlihat hanya mengejar karier dengan penelitian yang akan mendatangkan kredit poin. Intelektualitas mereka kurang terasah untuk berkreativitas. Sehingga seringkali tanpa membaca atau memantau keadaan sastra di Jawa Timur yang sebenarnya, lalu memberikan penilaian yang kurang bertanggungjawab.

Memang sudah sejak lama disinyalir kita mengalami krisis kritik sastra. Kita lihat di Jawa Timur hanya orang itu-itu saja yang melakukan kritik dengan benar, jumlahnya pun hanya sedikit. Di antaranya Budi Darma di Surabaya dan Djoko Sarjono di Malang yang barusan mengelurakan buku kritik sastra tentang kemungkinan eksplorasi teori sastra dan wacana. Sementara kritikus yang lebih muda di antaranya Ribut Wijoto dan Imam Mutarom. Namun jumlah ini masih minim dibanding para penulis karya sastra. Karena itu perlulah diingatkan kembali kepada para akademik, khususnya yang muda-muda, bahwa salah satu tugasnya adalah menumbuh kembangkan intelektualitas dan kreativitas ke tengah masyarakat. Sehingga fungsinya sebagai seorang ahli sastra bisa berguna bagi perkembangan sastra. Karena tak bisa dipungkiri karya dan kritik sastra bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Sebenarnya untuk memunculkan atau merangsang kritikus-kritikus muda agar bersedia menulis, tentunya perlunya pembinaan yang serius, baik itu bagi mahasiswa-mahasiswa maupun dosen-dosen yang berkompeten dibidangnya. Pelajaran terori maupun kritik sastra bukan hanya diarahkan agar mahasiswa mendapatkan nilai baik namun lebih dari itu agar mereka dapat menjadi kritikus sastra yang baik. Teori-teori sastra pun tidak perlu untuk diugemi atau dipathui secara kaku. Karena perlu direnungkan lagi bawa teori sastra tak lebih dan tak kurang dari asumsi-asumsi atau akal sehat untuk mendekati sebuah objek. Justru kalau kita terkukung oleh teori sastra an sich maka tulisan atau temuan kita akan kering dan hasilnya ya itu, itu saja. Karena sastra tak lain dan tak bukan adalah daya ungkap terhadap masalah kehidupan, filsafat dan jiwa. Sehingga ilmu bedah sastra tak jauh dari tujuan karya sastra itu, meski telaah sastra harus mengungkap estetika dibalik karya sastra, baik itu kelebihan maupun kekurangan menurut sudut pandang pisau analisisnya.

Kegalauan para akademik untuk terjun dalam dunia kritik sastra entah karena daya intelektual dan komitmennya sebagai bidang profesi tidak menjanjikan atau karena kegagapan para adademik melihat jurang anatara teori dan karya sastra, yang tidak mampu mereka telaah. Ada baiknya para akademik berani memaksakan diri setiap tahun membuat satu buah buku telaah sastra. Bila hal ini bisa terjadi maka dunia kritik sastra di Jawa Timur akan semarak. Di mana dalam setiap universitas kita jumpai ada beberapa kritikus (akademik) sastra yang berbobot. Dan hal ini akan sangat membantu para pengarang muda untuk meningkatkan kualitas karya-karyanya. Di sisi lain akan menjembatani para pembaca karya sastra dengan pemikiran penulisnya. Dalam kurun lima tahun, bila bisa berlangsung kontinyu maka Jawa Timur akan sangat diperhitungkan dalam dunia sastra Tanah Air.

Tentu saja diperlukan kritik sastra yang konseptual, kritis dan analitis, tidak hanya denyut atau implus saja. Bukan hanya gagah-gagahan dengan teori sastra, tapi selami karya sastra dan urai kelebihan dan kelemahannya secara estetika sastra. Karena seringkali teori sastra tidak mampu memayungi semua karya yang ada. Kritik sastra yang baik adalah kritik yang kreatif dan bernas, mampu menunjukan kelebihan dan kelemahan secara obyektif. Bukan hanya menceritakan kembali isi dan tema karya sastra saja. Karena itu kritik sastra yang baik bisa jadi tidak identik dengan kritik sastra akademik, namun lebih ke kritik sastra kreatif. Dan kritik sastra jenis ini masih jarang kita temui yang ditulis oleh para akademik. Kalau begitu apa boleh buat, ketika kritikus sudah dieksekusi oleh rutinitas, penelitian dan kemalasan intelektual. Terpaksa karya sastra harus berjalan sendirian. Bahkan ironinya seringkali dipuja-puja sendiri oleh komunitasnya atau kenalannya.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป