Sejarah Indonesia dari Kacamata Orang Eropa

Krakatoa: The Day the World Exploded, 27th August 1883
Penulis: Simon Winchester
Peresensi: Laksmi Pamuntja
majalah.tempointeraktif.com

Bayangkan, untuk sementara: sebuah pendakian yang kita semua tahu puncaknya, tampat di setiap cabang jalan ada cerita. Tapi kita tahu kita bukan Odysseus, jadi kita tahu ini semua bonus. Dan bukan sembarang bonus: sang pengarang adalah seorang terpelajar. Maka, kita menemukan sebuah kutipan pembuka dari The Prince, buku Antoine de Saint Exupery yang bijaksana itu. Sekelumit mengenai Jan Pieterszoon Coen, pendiri Hindia Belanda, dan wataknya yang “asli”. Apa yang tersirat dalam hubungan Charles Darwin dan Alfred Russell Wallace; bagaimana geologi dan biologi bertaut dalam kehidupan di atas bumi. Lalu, tiba-tiba: sebuah bab mengenai seekor gajah sirkus yang marah, yang diusir dari “kamar”-nya di Hotel Des Indes. Ke mana pun kita dibawa, ada terang–dan rasa girang yang terbetik: kita sadar kita dapat memakai informasi tersebut, kapan saja, dalam obrolan warung kopi atau dalam basa-basi resepsi. Seperti yang dikatakan sendiri oleh pengarangnya, Simon Winchester, “(Buku ini) populer karena alasan yang benar; orang belajar sesuatu darinya.” (It’s popular for the right reason, people learn from it.)

Selebihnya: sejarah bumbu-bumbu, sejarah tanam-tanaman, sejarah orang-orang asing di Indonesia. Dan karena sejarah tidak pernah berdiri sendiri, sebuah ulasan mengenai lada dengan cepat meruah ke sejarah penjajahan Belanda oleh Spanyol; sepasang paragraf singkat mengenai burung-burung tropis segera membentang ke teori evolusi. Sangat terampil, penguraian benang ini, sehingga sejarah tampil luas sekaligus khusus, akbar sekaligus sederhana. Krakatoa dihamparkan bagaikan sebuah pentas, dengan bayangan gunung sebagai layar: unsur-unsurnya pun muncul satu-satu, berdiri sendiri, dengan masing-masing keanehan dan keistimewaannya.

Tapi sang pengarang tak berhenti di situ. Apabila topik bisa beragam, menyebar ke segala arah, kenapa gaya harus tunggal dan mengikat? Lebih jauh lagi: buat apa memilih antara fiksi, penulisan sejarah, atau autobiografi kalau ketiga-tiganya bisa bersenyawa dengan enteng dan tanpa beban? Maka, kita temukan bagian-bagian yang hangat, lucu, pribadi: pengalaman sang pengarang di Greenland, misalnya, ketika ia, pada usia 21 tahun, ikut sebuah ekspedisi yang berhasil mengumpulkan “bukti-bukti pertama adanya arus kontinental”. Tak disadari teknik ini membangun keintiman dengan “publik” layaknya sebuah lakon teater, sehingga orang bisa berbetah-betah melancong dalam teks hingga tak terasa lebih dari 200 halaman telah lalu.

Lalu, mengapa Krakatau? Kita diberi tahu: dari Bogota sampai Washington, barometer guncang tak keruan; suara kehancuran terdengar sampai Australia dan India. Debu berseliweran selama bertahun-tahun, suhu udara turun drastis, mayat hanyut jauh, sampai di Pantai Zanzibar. Tapi, seperti diakui sang pengarang sendiri, letusan yang terjadi pada 27 November 1883 itu–yang memakan korban setidaknya 35 ribu jiwa–bukanlah yang terhebat di dunia. Dari hampir segala segi, Gunung Tambora menang telak: kekuatan ledakan, jumlah korban, bahkan efeknya terhadap cuaca, yang sering dikaitkan dengan kegagalan panen yang menyebabkan bencana kelaparan dan kegelisahan sosial yang berlarut-larut di Eropa. Tapi, tampaknya, ada perbedaan yang penting di sini: Letusan Krakatau, menurut si pengarang, adalah bencana pertama yang terjadi saat dunia “sudah berubah”, saat teknologi komunikasi telah mampu menangkap sebuah derita lokal dan menyebarluaskannya ke segala pelosok dunia, saat peradaban baru membawa semakin banyak manusia-manusia yang mencatat.

Pada akhirnya, memang, yang paling menarik dari Krakatoa adalah bab 8, atau halaman 210 dan seterusnya. Dari pesona wisata bab-bab sebelumnya, dengan segala rupa peta dan ilustrasi yang cantik, narasi terasa mengetat, menegang. Inilah saat kita sampai pada keyakinan lain sang pengarang: letusan Gunung Krakatau menghadirkan momen ketika konfederasi-konfederasi sejarah, sejarah sebagai ruang yang rasis dan eksklusif, seakan bertaut dalam sebuah gelombang kebersamaan. Pada saat itulah, kata Winchester di halaman enam, lahirlah fenomena modern bernama dusun global (“the modern phenomenon as the global village was born”).

Dan mungkin, kita akan membiarkan diri sejenak terpesona: kita ingin yakin bahwa Krakatau penting karena ia adalah jenak pertama ketika sebuah peristiwa alam yang terisolasi membawa dampak yang dapat dirasakan di seluruh dunia. Karena ia bicara bukan saja mengenai sebuah laporan resmi setebal 494 halaman, tapi juga sebuah perayaan segala fenomena optikal pada atmosfer bumi: warna-warni rembulan dan matahari, pendar seribu cahaya, tekstur senjakala, dan lukisan-lukisan indah yang bermunculan di beberapa pelosok dunia.

Kita ingin yakin Krakatau penting karena ia mendedahkan segala ihwal yang berlanjut sampai masa kini: global warming, greenhouse gases, acid rain, ecological interdependence. Sebab, melaluinya, tertera sebuah corak peradaban yang kelak akan dibahas oleh seorang Edward Said, corak yang, kalau kita percaya Winchester, seakan selalu dapat diatasi oleh biologi sebagai kemenangan alam semesta atas desain manusia.

Pada akhirnya memang terserah kita. Paling tidak, Winchester tak menutup mata pada praktek-praktek yang menggelikan, bahkan yang absurd, mengenai imperialisme Barat. Dengan kombinasi humor dan kemampuan menertawakan diri khas bangsanya, ia menghadirkan ironi dan pathos mengenai sikap Kerajaan Inggris (aspek “imperial busybodiedness”-nya) dalam hubungannya dengan dunia terbelakang. Diceritakan bagaimana, di hadapan Royal Society, seorang Robert Scott dari Badan Metereologi beserta atasannya menyampaikan laporan dari pelbagai kota di dunia mengenai arus gelombang yang tak lazim di sekeliling planet, yang berlangsung lima belas hari berturut-turut. Bagaimana salah satu lembaga tertua dan paling dihormati di Inggris tersebut kemudian meluncurkan investigasi mendalam mengenai fenomena Krakatau. Selebihnya, kejadian demi kejadian, kesaksian demi kesaksian–dari para kapten kapal, birokrat pemerintah, dan kepala pelabuhan–dihimpun dengan insting seorang penulis cerita misteri yang piawai. Detail dan atmosfer, gemuruh dan darah, horor dan ketakutan, semua disajikan dengan lancar. Semua ilmu yang relevan disingkap: vulkanologi (ilmu gunung berapi), orogeni (ilmu formasi gunung), meteorologi (ilmu cuaca). Catatan barometrik, gaung ledakan, tak ada yang luput tak dibahas. Memang, sang pengarang tak selalu benar: sekuen kedatangan flora dan fauna di katulistiwa, misalnya, tak sesuai dengan teori evolusi yang dipujanya. Tapi kita tak urung terpesona.

Terutama karena tersirat upaya untuk menghindari klise. Kita hargai sang pengarang yang bergulat dengan metafora (bicara mengenai telegrafi, misalnya, ia menulis “coded voices hurrying along the sea floor”. Mengenai kekacauan alat-alat pengukur magnetik di sekitar kawah, ia menyebut “falling ash was rich in iron, like a blizzard of tiny compasses.”), dan menjauhi kata-kata sifat yang malas seperti “gorgeous” atau “stunning”. Penguasaannya atas fisika dan cara kerja alam menghasilkan puitika yang membumi dan jauh dari abstrak. Sesekali, kita teringat seorang Brodsky.

Tapi, ada dua masalah utama. Yang pertama, konvensi. Sastra hybrid, sebuah persandingan ringkih antara fakta dan fiksi (yang dikenal dengan sebutan “faction”), bukanlah sesuatu yang baru dalam sastra–ingat W.G. Sebald? John Banville dalam Dr. Copernicus? Tapi si pengarang begitu cepat sukses–dua karyanya, The Professor and the Madman dan A Map that Changed the World , meledak di pasar, sehingga pembaca mungkin tak lagi ambil pusing mengenai riset yang seimbang, atau mengenai bukti sejarah. Ia telah begitu kukuh dalam genre yang dipopulerkannya, hingga tak jarang yang seni melumat yang sendi. Namun, ada sesuatu yang sulit dikompromikan ketika sebuah karya dijajakan sebagai “non-fiksi”. Begitu kata “sejarah” diucapkan, ada sesuatu yang mengikat: fakta. Bagi para penganut model empiris, sejarah harus sepenuhnya mengacu pada “realitas masa lalu”. Imajinasi–bahkan untuk sebuah pendekatan yang “interpretatif” terhadap sebuah dokumen sejarah sekalipun–tak punya tempat dalam rekonstruksi sejarah karena imajinasi sama dengan “yang tidak empiris”. Di sinilah Winchester berbeda dengan W.G. Sebald (yang kebetulan dikaguminya), si penyair tangguh yang tetap bersikukuh pada “fiksi”.

Memang, Simon Winchester seakan menolak ini semua. Mungkin, ia melihat masa lalu sebagai sesuatu yang telah hilang, pupus; dan sejarah sebagai apa yang dibaca oleh para sejarawan mengenai masa lalu tersebut. Mungkin juga, ia melihat hubungan erat antara penulisan sejarah dan sastra: bagaimana sejarah memerlukan narasi yang menghubungkan filsafat, politik, moralitas, nilai-nilai sosial, konsepsi baik-buruk, sesuatu yang harus diciptakan, dibangun, dan dibentuk, agar apa yang kita dapatkan adalah “pengetahuan sejarah”, bukan sekadar kumpulan fakta yang campur aduk. Mungkin juga, pertimbangan yang lebih prosaik: bagaimana mempopulerkan yang kompleks? Bagaimana mengajak pembaca belajar hal-hal yang baru sembari menikmati pengalaman rekreatif?

Persoalan kedua yang kemudian timbul: teks sebagai fakta atau teks sebagai teks? Winchester mengisyaratkan dua-duanya; dalam soal riset, ia sungguh seorang perajin. Ketelatenannya menggali bahan impresif, terutama catatan dan kesaksian orang-orang asing yang berada di sekitar Krakatau saat letusan terjadi. Begitu impresif, bahkan sampai ada sesuatu yang tertindas: suara orang Indonesia. Dalam dua kunjungan ke Indonesia, pada awal tahun 1970-an dan pertengahan tahun 90-an, ia memang sempat menemui Romo Adolf Heuken dan Profesor Sartono Kartodirdjo. Selebihnya, informasi seputar pemberontakan orang Banten terhadap Belanda di tahun 1888 berasal murni dari karya-karya peneliti asing. Mengecewakan? Tentu: karena bagian ini adalah bagian dari argumen sentralnya mengenai mengapa Krakatau: letusan Krakatau, dikatakannya, telah memicu militansi Islam terhadap penjajahan Belanda (terutama melalui insiden Pemberontakan Petani Banten tahun 1888) yang terus berlanjut sampai kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (hlm. 325).

Winchester mungkin benar, sejauh bahwa sebelum 1888 tidak ada gerakan yang bisa disebut secara spesifik sebagai gerakan ?Islam? menentang Belanda. Jauh sebelum Banten bergolak, ada Imam Bonjol dengan Perang Padri-nya, walaupun tujuannya lebih purifikasi–melawan tradisi lokal yang dianggap “tak-Islam”–bukan perlawanan terhadap Belanda per se. Perang Diponegoro lebih mengenai ketidakpuasan sosial (dan juga pribadi): soal tanah, penentangan kaum petani terhadap beberapa kebijakan Belanda yang timpang (seperti sistem pacht), kemarahan terhadap krisis moral di istana. Tapi ke-“Islam”-an perang ini ibarat sebatas turban dan jubah: autobiografi Diponegoro menunjukkan bahwa pemikirannya sangat Hindu. Dalam kasus Banten, kemungkinan ini–Islam sebagai simbol pemersatu, bukan sebagai dasar perjuangan–tak pernah didalami oleh Winchester. Juga tak disinggung, sejarah panjang konfIik Islam dan Kristen, gerakan anti kolonialisme yang marak pada akhir abad ke-19.

Di sini terkesan high concept mendahului fakta. Tema dipilih setelah memenuhi beberapa pertimbangan, baik personal maupun pasar, terutama pasar. Dan sejarah pun dirampat ke dalamnya, rapi, rata, dengan tafsir yang tunggal. Saya teringat pertengahan tahun 1997, ketika dua film akbar Hollywood mengenai ledakan gunung berapi, Volcano dan Dante’s Peak, beradu di pasar dan, betapa di tengah gemuruh sound effects dan merah sungai lava, kita harus memilih antara Tommy Lee Jones dan Pierce Brosnan. Sekarang, kita tahu, dunia semakin bengis, dan semakin berbeda dari satu sama lain dalam identitas-identitasnya. Peristiwa 911 dan “terorisme dengan bendera Islam” telah membawa pengertian lain mengenai yang universal dan yang partikular, dan datanglah Simon Winchester sebagai banyak hal sekaligus: penulis, geolog, sejarawan, ahli Islam–dan, mungkin, calon produser film. Sebagaimana kebanyakan produser film aliran blockbuster tahu bahwa bencana selalu merupakan komoditas “panas”, apalagi bencana yang berperan sebagai katarsis bagi segala ketakutan, kegelisahan, dan ekses modernitas dalam diri kita.

Mengecewakan? Sekali lagi, ya. Terutama karena kita bisa merasakan dari awal upaya sang pengarang untuk menahan diri terhadap asumsi-asumsi Orientalis, sesuatu yang tak mudah dalam sebuah karya yang sepenuhnya merupakan “sejarah Indonesia dari kacamata orang Eropa”. Pemberontakan kaum petani Banten boleh jadi cukup signifikan. Tapi tidak jelas apakah ia bisa disebut sebuah “gerakan Islam”, dan sejauh mana Krakatau hanya merupakan simbol perjuangan yang convenient. Sementara kita tahu bahwa sejarah tak pernah ditentukan oleh keringat darah satu golongan atau satu lokalitas semata. Sebagaimana kita tahu orang “Jawa”, yang dalam deskripsi Winchester menganggap letusan gunung berapi sebagai sesuatu yang lebih besar dari sebuah ekspresi kegusaran para dewa yang sedang marah (“more than simple expressions of dismay by distempered deities.”), bukanlah sebuah identitas yang homogen, yang serta-merta menganggap gunung berapi sebagai tempat Tuhan meletakkan iradah-Nya. Namun, agaknya itulah kesimpulan Winchester: “Dengan adanya kepercayaan ini,” tulisnya, ?tidaklah berlebihan apabila dikatakan “pengorbanan diri” Gunung Krakatau mempunyai sebuah arti yang dalam (bagi orang-orang Jawa).

Dalam Krakatoa, pertanyaan-pertanyaan kita ditanyakan tapi sekaligus tak dijawab. Mungkin, sikap inilah yang sering menjengkelkan kalangan akademis. Seolah-olah sebuah tesis yang lurus tegas sudah dengan sendirinya merupakan sesuatu yang beharga, yang tak perlu lagi disangga oleh argumen-argumen pendukung.

Diceritakan bagaimana eskalasi kebencian dimulai di Serang, ketika seorang opsir muda Belanda yang sedang membeli rokok tiba-tiba ditikam dari belakang, berkali-kali, oleh seorang pria yang “berjanggut” dan “berbaju putih”, dan bagaimana hal yang sama terulang enam minggu berikutnya. Diceritakan juga bagaimana sebuah keyakinan mulai merasuk mengenai “sebuah letupan kemarahan fanatis yang aneh”. Dalam bahasanya yang gamang dalam mendiskusikan “Islam” sebagai sebuah konstruksi sosial-politis, jelas Winchester memasuki sebuah zona yang asing, abstrak, tak-yakin. Yang tersisa adalah klise: detail penyiksaan yang menggambarkan Islam sebagai kaum yang buas dan haus darah.

Pada akhirnya, salah atau benar, ia menunjukkan sendiri betapa semunya konsep global village dalam ramalan Marshall McLuhan tersebut, global village sebagai sebuah satuan geografis yang sepenuhnya terbuka, tanpa batas, tanpa curiga. Globalisasi sebagai bentuk imperialisme baru pada akhirnya toh lebih mengenai teknologi informasi, pasar, dan modal yang dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat. Kontak dengan yang-lain selalu, sadar atau tidak sadar, mempertajam kesadaran teritorial, mengukuhkan identitas. Seperti Islam yang bangkit melawan penjajah, atau seorang pembaca Indonesia yang mempertanyakan kualifikasi seorang penulis Inggris yang “berani” menafsirkan kita.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *