TEGUR-SAPA

Maman S. Mahayana *

Halo cerpen, apa kabar? Itulah tegur sapa saya pada hari Minggu. Setumpuk suratkabar berserakan di meja depan. Saya membacai berita-berita aktual, meludahi berita tentang intrik politik dan kisah para koruptor, prihatin atas ketergusuran kaum miskin, dan diam-diam mencuri gagasan atas sejumlah artikel yang tersaji di sana. Itulah hidangan pembuka sarapan pagi. Lalu, selepas itu, cerpen kadangkala juga puisi, gilirannya menjadi hidangan utama. Sejak dulu, Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Budi Darma, Pamusuk Eneste, Ahmad Tohari, Motinggo Boesje, Navis, K. Usman, Rahmat Ali, Gerson Poyk, Sori Siregar, dan sederet panjang nama-nama, saya nikmati cerpennya sebagai hidangan utama sarapan pagi. Kini, di antara mereka ada yang sudah tuntas menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Mereka tidur tenang di sana, meski namanya tak dapat kita hapus dalam perjalanan sejarah cerpen Indonesia. Beberapa nama yang disebutkan tadi, ada yang masih rajin bertegur sapa pada hari Minggu. Karyanya masih sangat oke, kadang menyihir dan membenturkan kepala kita pada kegelisahan dan menonjok hati kita agak pedas.

Generasi berikutnya di bawah nama-nama itu, Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna, Korrie Layun Rampan, Gus tf Sakai, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunas MA Jabbar, Indra Tranggono, Radhar Panca Dahana, Joni Ariadinata, Arie MP Tamba, Agus Noor, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Isbedy Stiawan, Prasetyohadi, Martin Aleida, Bre Redana, Veven Sp Wardhana, Ahmadun Yosi Herfanda, S. Prasetyo Utomo, Mustofa Bisri, Herlino Soleman, Eko Tunas, tidak ketinggalan menerobos dan muncul dalam deretan cerpenis garda depan. Nama-nama itu menjadi penting dan tak bisa digugurkan begitu saja ketika kita bicara tentang cerpen. Kecuali, Ida Bani Kadir yang sudah sekian lama tak jumpa, di sana masih ada Ratna Indraswari Ibrahim, Abidah el Khalieqy, Sirikit Syah, Leila S. Chudori, Helvy Tiana Rosa, Dorothea Rosa Herliani, Linda Christanty, dan belakangan, muncul lagi ikon sastrawan perempuan penting, Nh. Dini. Kembali cerpen mereka mengganggu dan menggoda di hari Minggu. Tak kalah kuatnya mereka menyihir lewat pesonanya. Merusak ketenangan hari Minggu kita. Dan memang, itulah tugas mereka. Bukankah mereka menawarkan buah perenungan kemanusiaan, bahwa hidup ini tak dapat terus-menerus diisi dengan tidur panjang. Harus ada perbuatan, tindakan, yang menjadikan hidup jadi bermakna. Bukankah tugas mulia manusia adalah bekerja, berbuat, bertindak.

Generasi yang kemudian yang tak kalah kematangannya adalah Cecep Samsul Hari, Hudan Hidayat, Kurnia Effendi, Herlino Soleman, Zen Hae, Moh. Wan Anwar, Marhalim Zaini, Abel Tasman, Eka Kurniawan, Raudal Tanjung Banua, Azhari, Puthut EA, Teguh Winarsho. Maroeli Simbolon, Yusrizal KW, Mustofa W. Hasyim, Satmoko Budi Santoso, Triyanto Triwikromo, AS Laksana, Damhuri Muhamad, Olyrinson, Imam Muhtarom, dan generasi cerpenis perempuan: Asma Nadya, Djenar Maesa Ayu, Maya Wulan, Ratih Kumala, Nukila Amal, Evi Idawati, Yetti AKA, Labibah Zain, Dyah Merta, Ucu Agustin, Deni Winoto.

Bali yang beberapa dekade sempat asyik-masyuk dalam dunianya, kini seperti gagal menahan kegelisahannya sendiri. Mereka kemudian berteriak. Maka, bersama senior Sunaryono Ks, nama-nama lain bermunculan: Cok Sawitri, Oka Rusmini, Wayan Sunarta, Putu Fajar Arcana. Sesungguhnya mereka kuat dan kaya. Kuat dalam narasi yang menjadi modal utama prosa, dan kaya dengan problem yang terjadi dalam masyarakatnya. Tampak, Bali tak mau berdiam diri lagi. Ia akan berteriak, bergerak, menyapa Riau yang tetap semarak, Lampung yang masih hingar-bingar, Surabaya, Yogya, Semarang, Bandung, Jakarta yang tak pernah berhenti memunculkan nama-nama baru yang penuh pengharapan.

Nama-nama itulah yang setiap hari Minggu bertegur-sapa dengan kita. Lalu tegur-sapa itu pun berlanjut dalam sejumlah antologi yang telah mereka hasilnya. Selepas Indonesia merdeka, cerpen Indonesia terus bergentayangan, pecah menjadi kehebohan pada dasawarsa tahun 1970-an, dan meledak, berdesak-desakan, masuk ke segenap ruang publik, dan menjadi ikon pada hari Minggu, selepas reformasi hingga kini. Cerpen, dalam setiap generasi, hadir dan menunjukkan jati dirinya dalam sebuah parade yang penuh warna-warni. Sangat semarak, berkilauan. Setiap hari Minggu, mereka melakukan parade, bahkan pesta atau karnaval yang memang menjadi tempat mereka saling menyapa. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

Apakah kita sudah cukup puas dengan parade itu. Tak hendak berkomentar terhadapnya. Berdiam diri seolah-olah semuanya baik-baik saja. Mungkin ada yang tak beres dalam parade itu. Atau kita hendak memberi kontribusi kepadanya, meski sekadar celoteh yang mungkin tidak dapat bergaung jadi gelombang. Tidak apa-apa. Bagaimanapun, berbuat, bertindak, bersuara, rasanya jauh lebih baik dibandingkan tetap diam membisu sebagai bagian dari sebuah massa yang tak pernah bersuara. Janganlah ia menjadi narasi dan kisah yang dipasung kesenyapan. Jangan biarkan dinamika cerpen menjadi sejarah yang tak terucapkan. Sebuah kecelakaan besar jika itu terjadi. Janganlah kisah Caligula terjadi di sini. Dan itu berarti mengulang kesalahan yang sama saat begitu banyak cerpen mati bersama pengarangnya. Ia dianggap tiada karena tak ada orang mau mencatatnya sebagai bagian dari sejarah. Maka, tak perlu juga kita tersinggung ketika ada cemooh, bahwa menulis cerpen dianggap sedang belajar menulis novel. Apakah kini kita akan mengulang kesalahan yang sama: cerpenis mati bersama karyanya dan mendapat cemooh, bahwa menulis cerpen dianggap sedang belajar menulis novel?

Itulah semangat yang mendasari saya menyusun sejumlah bahan dan menghimpunnya dalam buku ini. Bukankah sejak awal cerpen telah memperlihatkan kontribusinya, dan kini makin tak terbantahkan lagi peranannya dalam mengangkat Indonesia. Jadi, anggap saja buku ini sebagai bagian dari serangkaian tegur-sapa pada setiap hari Minggu itu. Bahwa di dalamnya ada yang luput, tercecer, bahkan juga mungkin terlalaikan, pastilah itu bukan merupakan kesengajaan. Itu sekadar soal waktu dan keterbatasan. Bayangkan, dalam seminggu, berapa cerpen berkeliaran? Dan ketika kita sedang menikmati sebuah cerpen, tiba-tiba menyeruak pula sebuah antologi, yang disusul dengan antologi yang lain. Kadang-kadang, mereka datang bersamaan, serempak. Tak mungkin pula saya membacanya sekaligus. Menggauli cerpen tak sama dengan menggauli pasangan kita. Kita harus menikmatinya satu per satu, dengan kecintaan dan kesadaran, dengan keseriusan, sungguh-sungguh, dan tuntas! Nah, dalam kasus itu, saya terpaksa membuat deretan panjang, sebuah antrean yang seperti tak berujung, membacainya seperti tak pernah selesai. Seperti Sisifus dan saya menikmati semuanya secara mengalir begitu saja: fanta rhei!
***

Tegur-sapa. Hari Minggu. Cerpen. Deretan nama. Kisah yang membisu. Caligula. Sejarah yang tak terucapkan. Sisifus. Semuanya mengalir. Kembali pada cerpen. Maka, saatnya kini kita berseru: Ayo, bermain dengan cerpen!
***

Terima kasih yang mendalam pada semua kawan yang kerap bertegur sapa pada hari Minggu. Meskipun kadangkala ada di antaranya yang mengajak saya bertengkar, saya memaknainya sebagai say hello, tegur-sapa, atau dalam bahasa religius: silaturahmi. Ajaran agama saya mengatakan: ada lima manfaat jika kita melakukan silaturahmi, yaitu (1) melebarkan pintu rezeki, (2) memperpanjang usia, (3) memperbanyak sahabat dan sanak saudara, (4) memantapkan optimisme, dan (5) melegitimasi lahan dan tempat kita “kelak” sebagai penduduk surga. Tentu saja kita boleh percaya, boleh juga tidak. Tetapi, bagaimanapun juga, bersilaturahmi, selalu saja lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada keburukan. Jadi, tak salah jika kita coba melakukan itu. Maka, anggap sajalah buku ini pun sebagai sebuah silaturahmi. Menyesal, saya tak mungkin menyebut deretan nama itu di sini. Jadi, maafkanlah.

Izinkanlah, dalam kesempatan ini, saya menyebut satu nama: Chandra Johan. Seorang pelukis Indonesia kontemporer yang karya-karyanya, entah mengapa, selalu menyihir. Terima kasih atas kerelaan mengizinkan sebuah lukisannya yang berjudul untuk cover buku ini.

Terima kasih kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama yang bersedia menerbitkan buku ini.

Bojonggede, 6 September 2005.

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Leave a Reply

Bahasa »