Beda tapi Santun

D. Zawawi Imron *
jawapos.com

Rabu, 4 Februari 2009, aula Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, dipenuhi peminat sastra. Bahkan ada hadirin yang rela berdiri. Acaranya, peluncuran buku berjudul Menggapai Impian karangan Nyai Masriyah Amva dari Cirebon. Penulis wanita ini belajar menulis ketika berumur 46 tahun. Tema yang ditulis merupakan pengalaman pribadi, dengan rasa yang dalam, maka tulisan itu menjadi menarik. Ia menulis apa adanya tanpa berupaya untuk memerindah bahasanya.

Yang tampil sebagai pembicara adalah dua penyair kawakan, W.S. Rendra dan Taufiq Ismail. Yang tidak kurang menariknya bagi saya ialah hilangnya sekat-sekat kelompok. Misalnya, Taufiq Ismail yang Muhammadiyah datang untuk menyemarakkan peluncuran buku Nyai Masriyah yang orang NU. Taufiq Ismail membicarakan karya Masriyah dengan apresiasi yang utuh. Di sini saya menemukan hikmah bahwa persepsi budaya yang intinya akal sehat telah menghilangkan rasa pengkotak-kotakan. Pengkotakan itu muncul setelah ada gesekan-gesekan yang ditindaklanjuti mengarah pada kebanggaan kelompok. Kelompok lain dianggap bahaya. Tapi, akal yang sehat tidak akan membesar-besarkan gesekan-gesekan antarkelompok itu, karena bertentangan dengan hati yang damai.

Sehari sebelumnya saya bertemu Abdul Wahid Maktub di Taman Ismail Marzuki (TIM). Setelah berbicara panjang lebar tentang situasi bangsa saat ini di sebuah warung kopi di pelataran TIM, saya lalu pamit kepada mantan duta besar Indonesia di Qatar itu untuk berkunjung ke sebuah perpustakaan yang didirikan seorang teman.

Mantan dubes itu menawarkan jasa untuk mengantar saya. Saya tidak bisa menolak keramahannya. Siang itu jalan yang kami lalui kebetulan tidak macet. Beberapa saat kemudian sampailah kami di perpustakaan yang terletak di Jalan Danau Limboto itu. Sahabat yang punya perpustakaan menyambut di halaman. Melihat yang mengantar saya mantan duta besar Indonesia di Qatar, tuan rumah mempersilahkannya untuk singgah. Ajakan yang ramah dan ikhlas itu seperti tidak bisa ditolak. Mantan dubes itu pun akhirnya masuk ke kantor perpustakaan bersama saya.

Kami duduk di ruang tamu. Kedua sahabat saya, baik yang tamu maupun tuan rumah, ternyata saling mengenal. Keduanya sama-sama calon legislatif pada Pemilu 2009. Abdul Wahid Maktub adalah calon anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, sedangkan tuan rumah Fadli Zon adalah wakil ketua pengurus pusat Partai Gerindra.

Sesuai dengan yang direncanakan, saya lalu diajak Fadli Zon melihat koleksi buku-buku perpustakaannya. Abdul Wahid juga diminta untuk meninjau. Di lantai dua, kami dapat melihat ribuan buku dan majalah koleksinya. Di antara buku-buku itu terdapat buku-buku tua terbitan 100 tahun silam, dan majalah yang terbit pada era Siti Nurbaya, yang semuanya masih terpelihara dengan rapi. Semua itu merupakan kekayaan intelektual yang sangat berharga, karena tidak ada bangsa yang maju tanpa menghormati buku dan perpustakaan.

Setelah melihat buku, kami menikmati koleksi lukisan tuan rumah. Lukisan yang tersimpan di rumahnya sebagian besar adalah karya para pelukis yang sudah tiada, seperti Affandi, Basoeki Abdullah, S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Hofker, Rudolf Bonnet, dan lain-lain.

Saat menikmati karya budaya, baik yang berupa buku maupun lukisan, kedua tokoh politik yang berbeda partai itu tampak begitu akrab. Sebuah pemandangan yang indah. Sekat-sekat dan pematang kepartaian seperti lebur dalam persaudaraan sebangsa setanah air. Jiwa yang menghormati kebudayaan seperti tak punya waktu untuk memasalahkan perbedaan.

Sebagai tokoh partai, kedua sahabat saya itu tentu harus punya gairah untuk memenangkan partainya masing-masing. Tapi, di atas bendera partai masing-masing, masih ada bendera yang lebih tinggi, yaitu bendera Merah Putih. Partai adalah sarana demokrasi untuk mencapai cita-cita bangsa. Langkah politik yang dikayuh dengan persepsi kultural seperti itu akan melahirkan tanggung jawab serta gaya politik yang santun yang tidak akan merusak persaudaraan sebangsa dan setanah air.
***

*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.

Leave a Reply

Bahasa ยป