Belajar Bercinta dengan Laut

Marhalim Zaini
Koran Tempo, 19 Juni 2005

Segala yang datang dari laut, cintailah.
Tentang perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Dan sesuatu yang tiba-tiba membuat kita merasa tidak lengkap. Di mana ia? Seorang saja yang hilang, pasti hati kita lengang. Kehilangan itu kian akrab. Seakrab kematian. Dan laut, selalu menyimpan ketakterdugaan. Ia, lelaki yang pergi bersama subuh. Aku, perempuan yang menanti seperti luluh. Kami, sepasang kekasih, yang disebabkan laut, maka harus melepas pagut.

Ini bekas barut perahumu. Apa yang tertulis di pasir, itulah yang kutunggu. Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Bukankah telah kautanam di batas pantai, sebuah janji? Bahwa kepulanganmu adalah pasti. Aku perempuan yang tak ingin diingkari, menatap laut yang tak berbatas di matamu, seperti mimpi yang tak bertepi. Apakah kita sedang bermimpi? Tidak. Perasaanku adalah saksi. Sewaktu kau menyerah pada laut, dan membiarkan tangannya membawamu, aku sebenarnya sedang belajar mengekalkan kecupan selamat tinggalmu di hatiku. Belajar memahami kerelaan seorang ibu saat melepas anak-anaknya pergi, dan rela menerima kapanpun mereka kembali.

Dan ketahuilah, aku berhasil. Sebagai seorang perempuan kampung yang sederhana, keberhasilan ini bagiku sungguh menakjubkan. Aku tidak lagi menangis. Aku pun telah berhasil mengekalkan air mata menjadi butiran tawa anak-anak yang berlarian mengejar kupu-kupu di bawah rumah panggung. Kalaupun aku menangis, adalah tangisan yang tak sebenarnya. Dan itu hanya sebagai senjata untuk kemudian memenangkan permainan secara telak. Bukankah selalu ada permakluman bagi mereka yang menangis?

Demikianlah, kau kukekalkan. Segalanya yang sempat kukenang. Dan hidup di tepian ini, tak banyak yang dapat kuberi nama pada setiap yang singgah, selain laut yang selalu menyimpan ketakterdugaan. Dan aku yakin, kau di sana. Aku sering mencuri kabar dari mulut-mulut para pelaut yang singgah, bahwa kau masih di sana. Di suatu tempat yang terlampau asing untuk disebut. Dan di sana, tidak ada perempuan, katanya. Tak ada perempuan yang sepertiku. Berkebaya, berambut panjang, berselendang, lembut, ramah, dan selalu memandang ke bawah sambil menyembunyikan senyum simpul yang menawan. Benarkah? Kalau begitu, aku tentu tak perlu merasa cemburu. Dan tidak ada gunanya cemburu. Laut begitu luas untuk bisa dicemburui.

Maka, cukuplah aku tahu bahwa kau masih di sana. Dan mereka percaya padaku. Anak-anak itu percaya padaku. Kau ingat, anak-anak yang selalu mengganggu saat kita duduk berdua di pohon kelapa tumbang menghadap ke laut? Anak-anak itu kini telah berkeluarga. Dan anak-anak yang sedang duduk bersila di depanku ini, yang demikian percaya dengan segala kisah-kisahku tentangmu, adalah anak-anak yang dilahirkan dari anak-anak yang dulu mengganggu kita itu. Mereka memanggil aku nenek. Lucu kan? Tanpa perkawinan pun rupanya orang bisa saja memiliki cucu. Dan aku semakin yakin, bahwa kau telah benar-benar kukekalkan. Bahkan jika aku pun kelak telah dikekalkan oleh waktu, anak-anak ini akan selalu mengekalkan kisahmu di ingatannya.

“Jadi, Hang Jebat itu kekasih nenek?”
Mereka anak-anak cerdas. Dan aku seorang tua yang kian renta. Pertanyaan mereka yang lugas harus kujawab dengan terbata-bata. Tapi, sebagai seorang nenek yang baik, dan sebagai seorang perempuan tua yang sangat ingin kisahnya didengarkan, aku tak pernah memberi jawaban yang membuat mereka kecewa. Aku takut mereka merajuk, dan tak lagi mau mendengarkan ceritaku.

“Hang Jebat itu seorang pelaut. Sedangkan nenek hanya seorang gadis kampung yang sederhana. Kami bertemu saat orang tua kalian masih seusia kalian. Nenek kan pintar mengaji. Dan Hang Jebat seorang lelaki yang sangat suka belajar. Neneklah yang mengajarinya mengaji. Dan apakah kalian suka belajar? Kalau kalian mau pintar, ya harus rajin belajar.”

“Nenek pernah dicium Hang Jebat?”
Huss! Apa pertanyaan semacam ini pantas aku jawab? Dan apakah pertanyaan itu memang pantas ditanyakan oleh anak-anak seumur mereka? Aku gamang. Anak-anak yang lebih cepat dewasa dibanding umurnya. Dan untunglah aku belum sempat kawin dan memiliki anak. Barangkali, anak-anakku baru akan terlahir setelah aku tak bisa lagi mengucapkan nama-namanya. Anak-anakku akan terlahir dari kisah-kisahku yang tak pernah berakhir. Dan mereka, tentu sangat suka berlayar. Suka belajar. Sebab laut adalah Ayah mereka (yang selalu mendenyarkan debar).

Seperti anak ayam yang pulang ke kandang, azan magriblah yang memanggil mereka pulang. Di kepala mereka telah dikekalkan sebuah ingatan. Aku bahagia. Rupanya kebahagiaan seorang nenek adalah saat cucu-cucunya datang mengunjunginya, dan dengan riang meminta didongengkan tentang masa lampau, tentang kenangan-kenangan, lalu pulang dengan ingatan-ingatan yang dikekalkan. Dan kebahagiaan terbesar adalah saat timbul rasa penasaran dalam diri mereka dan kemudian dengan rasa keingintahuan yang besar mereka bertanya tentang, “Lalu, Nenek bagaimana?” Tentu, mereka tak mau mendengar sosok hero mereka lemah dan terkalahkan, “Ah, nenek ini kan gadis kampung yang sederhana. Tapi karena nenek orangnya memang suka belajar, ya tidak ada yang tidak bisa dilakukan selagi kita punya kemauan. Dan nenek belajar dari laut. Kalian tahu, laut itu kaya ilmu. Laut membuat pandangan kita menjadi lebih luas. Dan saat memandangnya, kita menjadi tahu, bahwa hidup kita itu terbatas. Karena tahu hidup kita terbatas, maka kita tidak boleh sombong.”

“Jadi Hang Jebat itu, menuntut ilmu di laut ya Nek?”
“Ya. Dan karena laut itu demikian luas, maka tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa mempelajari semua ilmu-ilmunya. Dan Hang Jebat adalah seorang lelaki tangguh. Ia takkan pernah berhenti, sebelum mendapatkan apa yang dicarinya. Dan kalian, jadilah anak-anak yang tangguh ya?”

Anak-anak itu menganggukkan kepala dengan cepat dan serempak. Aku tersenyum, seperti melihat boneka-boneka yang hidup. Selepas itu mereka tampak demikian kegirangan. Mereka turun tangga rumahku sambil mengacungkan tangan-tangan kecilnya ke langit dan meneriakkan, “Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!” Dan gaung suara mereka kian jauh, terbawa angin laut pada senja yang lepuh.

Sejak itu, setiap petang datang hanya mengabarkan lengang. Aku heran, kenapa anak-anak itu tak lagi bertandang ke rumahku. Aku merasa kisah-kisahku belum seluruhnya habis kuceritakan. Apakah mereka tak tertarik lagi dengan ceritaku? Atau, mereka telah menemukan seseorang yang lain, yang bisa menyampaikan cerita-cerita yang lebih hebat dan lebih memikat? Tapi setahuku, tak ada orang tua lain di kampung ini yang memiliki kisah dan nasib badan sehebat aku. Mereka semua punya keluarga. Mereka kawin, punya anak, punya cucu. Mereka semua hidup dengan masa lampau yang lengkap. Masa depan yang gampang ditangkap. Akulah satu-satunya seorang tua yang masih tahan belajar bersabar. Belajar menunda waktu dengan menunggu dan menunggu. Banyak dari mereka yang seumurku telah pikun. Jangankan untuk mengingat masa lampau, mengingat di mana letak kacamata yang menempel di matanya saja mereka tidak bisa. Diam-diam aku sebenarnya bangga. Bahwa inilah rupanya pelajaran berharga itu. Mengingat dan menunggu sesuatu yang datangnya dari laut, membuat aku terhindar dari penyakit lupa. Terima kasih, kekasih?

Tapi ke mana anak-anak itu? Aku harus menyelesaikan sejumlah ingatan lain yang masih tersisa, untuk segera kukekalkan di ingatan mereka. Mereka adalah harapanku. Aku merasa tak yakin dengan sisa usia yang memutih di rambutku ini, dapat bertahan untuk waktu yang agak panjang. Hidup seperti telah menuntut sesuatu yang lain dari nafasnya yang patah-patah di dadaku. Dan pada mereka, anak-anak yang belia, hidup masih sesegar tunas daun-daun jambu saat hijaunya basah oleh sapuan embun pagi. Aku memang harus bergegas. Belajar dengan kesungguhan yang lebih tinggi. Menyelesaikan segalanya, dan menyerahkannya kembali pada laut. Tapi, apakah segalanya akan selesai?

Gaung suara anak-anak itu, lamat-lamat seperti dapat kutangkap. ?Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!? Tapi di mana mereka? Tak kudengar suara kaki-kaki mereka yang berlari menuju kemari. Debu-debu jalan setapak itu, yang biasanya membuat ingus mereka menghitam di wajahnya, tak juga kulihat berterbangan di udara petang. Kulit tebu, ampas tebu, daun-daun ubi kayu, reranting patah ubi kayu, dan sobekan kertas layang-layang, sobekan kertas perahu mainan, buah congkak karet, buah semunting, tak lagi kulihat berserak di bawah tangga rumahku. Padahal aku paling suka jika mereka datang dengan sampah-sampah itu. Setiap pagi aku bisa mendengarkan suara sapu lidiku sendiri, mengumpulkan satu-persatu sampah-sampah itu. Bagiku, inilah kenikmatan pagi. Saat sebuah pekerjaan dapat kutuntaskan sendiri, dan melihat halaman rumahku bersih kembali. Bukankah kita terbiasa ingin melihat sebuah pagi yang bersih?

Ah, sunyi juga rasanya. Gaung itu kukira juga adalah gaung kesunyian yang terngiang-ngiang di telingaku. Beginilah agaknya, perasaan seseorang yang telah sekian lama belajar pada kesunyian. Ia sangat peka terhadap bunyi. Bahkan hanya untuk sebuah gaung. Engkau, apakah juga masih sedang belajar pada kesunyian? Apakah laut bergemuruh itu, masih menyisakan kesunyian? Belum juga usai kau mempelajarinya? Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Jangan biarkan janjimu di batas pantai itu berubah. Aku lihat, abrasi memang telah menggeser garis pantai itu. Sudah lama aku tak ke pantai. Dan mungkin batasnya sudah sangat jauh bergeser. Bakau-bakaunya, pasti sudah serupa gigiku ini, ompong. Pohon-pohon kelapanya, yang dulu condong, kini pastilah telah tumbang. Aku cemas, kau kembali pada saat semuanya telah hanyut. Aku takut, kau kembali pada saat semuanya telah tiada.

Tapi, suara apa itu? Dari bingkai jendela yang setengah terbuka, mataku yang tua hanya mampu melihat debu-debu jalan yang mengepul ke udara. Ah, anak-anak itu kembali? Tapi ini hari masih pagi. Apakah mereka tidak sekolah? Tapi, bukan. Aku kira itu serombongan orang-orang yang sepertinya aku kenal. Mereka berbelok ke arahku. Benar, mereka adalah tetangga-tetanggaku. Mereka sepertinya adalah para orang tua dari anak-anak yang setiap petang mendengarkan kisahku. Dan mereka adalah anak-anak yang dulu sering mengganggu saat kami duduk berdua di atas batang pohon kelapa tumbang menghadap ke laut. Tapi, ada apa?

“Ajaran apa yang telah kautanamkan di kepala anak-anak kami, Nek Tun?”
“Ya. Setiap petang datang, sepulang sekolah, mereka langsung berlari ke arah laut.”
“Dan kini, tak hanya setiap petang, tapi setiap hari, dari pagi sampai petang mereka di laut. Mereka malas sekolah. Mulutnya meracau tak tentu arah. Hang Jebat, Hang Jebat, nama itu terus yang mereka teriakkan.”

“Janganlah pula anak-anak kami jadi sasaran dendammu pada kekasihmu Hang Jebat yang tak setia itu, Nek Tun!”
Satu hal yang terbaik bagiku kini adalah diam. Mereka nampaknya mengamuk. Apakah aku harus bertanggungjawab terhadap anak-anak mereka yang tak mau sekolah? Aku hanya bercerita. Itu saja. Apakah itu salah? Lalu, sebenarnya kenapa anak-anak itu lebih betah memandang laut, aku sendiri tak tahu sebabnya. Aku tak pernah mengajarkan pada mereka untuk jadi seperti Hang Jebat. Aku hanya meminta mereka untuk jadi anak-anak yang tangguh. Tapi, aku kira, mereka adalah anak-anak yang tangguh. Dan mereka kini tahu, bahwa laut kaya ilmu. Mereka mulai belajar bercinta dengan laut. Maafkan, jika aku telah berhasil mengekalkan ingatan-ingatan pada mereka. Dan kau Hang Jebat, kembalilah. Biarkan anak-anak ini yang menggantikanmu?
***

Pekanbaru, 2005.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *