Bila Umar Kayam Mengajak Dialog

Judul: Dialog
Penulis: Umar Kayam
Penyunting: Mikael Johani
Penerbit: Metafor Publishing
Tahun: 2005 Jakarta
Tebal: xv + 325 halaman
Peresensi: Rimbun Natamarga
ruangbaca.com

Saya tak pernah yakin bisa meresensi kumpulan tulisan-tulisan Umar Kayam ini dengan baik. Meski diniatkan oleh penyuntingnya–Mikael Johani–sebagai kumpulan dari tulisan-tulisan Umar Kayam yang “non-spesialis,” tetap saja bagi saya, apa yang diangkatnya itu mengandung makna yang belum tentu bisa dimamah-baik oleh saya sebagai pembaca awam.

Apa yang saya tangkap adalah bahwa persoalan se-sepele apa pun, bagi Umar Kayam, mesti memiliki penjelasan. Dan se-sederhana apa pun penjelasan itu, tetap saja ada referensi baginya. Dalam berbagai persoalan yang diangkatnya ada dialog yang tak putus-putus, seakan makna azali tak pernah final. Maka, pantas saja, menurut saya pribadi, kumpulan tulisan-tulisannya diberi judul DIALOG, entah oleh penyunting entah oleh penerbit, karena yang ditawarkan Umar Kayam adalah dialog bagi kita, si pembaca, atas persoalan-persoalan yang ada.

Saya mengenal Umar Kayam lewat “Sri Sumarah” dan “Bawuk,” kedua cerpennya yang terkenal itu. Meningkat ke PARA PRIYAYI, lalu cerpen-cerpennya yang lain, dan lebih akrab lagi dengan “tetralogi”-nya, MANGAN ORA MANGAN KUMPUL. Terakhir yang saya lihat adalah kumpulan kolomnya di TEMPO; TITIPAN UMAR KAYAM. Apa yang saya dapatkan–ia melihat hidup bukan melulu pada apa yang “berat” dan “dalam.” Yang besar dan serius. Hidup itu luas dan beragam, dan ternyata lebih bewarna, tak seperti saya yang sering lupa bahwa hidup bukan sekedar dari kasur ke kakus, dari meja makan terus ke kasur lagi.

Ketika taksi-taksi Jakarta dipasangi AC pada tahun 1989 (lihat “Taksi AC Jakarta”), yang ia lihat bukan ada-tidaknya kemewahan sebagai suatu contoh status dari sebuah kota besar, tapi malah apa dan siapa sopir. Ketika, katakanlah sopir-sopir taksi sebagai, manusia dihadapkan pada perkembangan baru yang tak pernah dialami sebelumnya, yakni adanya AC dalam taksi, di sanalah bakal ada “goncangan” yang ternyata menarik juga untuk diamati dan celakanya sering luput dari pengamatan saya selama ini. Adakah sopir-sopir itu merasa nyaman dengan AC yang dingin sejuk? Bagaimana dengan yang perokok berat? Lantas, penumpang–adakah menerimanya?

Umar Kayam tak memberi jawab, tapi ia membuka dialog dengan saya, sebagai seorang pembaca, untuk tak melulu melihat kenyamanan sebagai hasil satu-satunya dari kemajuan. Banyak sudut pandang lain untuk melihat, ternyata. Dan itu saya sadari bukan sebagai jawaban langsung dari pertanyaan Umar Kayam, tapi hasil dialog dari “bola” yang diumpankannya. Ini pun bukan bermaksud melebih-lebihkannya–tapi coba lihat contoh lain: “Jam Karet”, misalnya.

Bagi saya, sudah jamak bahwa jam karet adalah suatu kebiasaan yang menjengkelkan dan saya berjanji untuk tak melakukannya meski kadang juga. Sebagai seorang yang menerima modernisasi, jam karet bagi saya adalah bencana. Jam karet adalah kebiasaan manusia-manusia sialan yang, sayangnya, sering saya jumpai di sekitar. Tapi apa kata Umar Kayam tentang jam karet?

Menurutnya (hal. 16), waktu memang dapat kita perlakukan baik secara MULUR MUNGKRET (baca: NGARET) atau tegar tepat. Masing-masing tentulah menurut konteks peristiwa serta kepentingannya. Ada waktunya memang membutuhkan bahkan menuntut untuk kita perlakukan secara karet, secara luwes. Ada pula waktunya sang waktu memang mengharuskan kita untuk memperlakukannya secara tegar tepat. Agaknya keduanya memang bagian dari kehidupan wajar manusia.

Coba bayangkan, bagaimana ia menerima bahkan memaafkan jam karet. Saya jelas tak habis pikir tentang pendapatnya itu. Tapi, ia pun menjelaskan, bahkan menyadarkan saya lewat dialog yang dilontarkannya, bahwa meski kita menerima konsep waktu industri, adalah kenyataan di depan mata bila belum sepenuhnya masyarakat kita sudah menerimanya jangankan mempraktekkannya. Konsep waktu agraris tradisional begitu lekat-mengakar dalam masyarakat kita, dan keadaan sekarang: kita masih dalam peralihan untuk meninggalkannya.

Karena itu, apa yang saya tafsirkan darinya adalah, jangan memaksa apa yang belum pada tempatnya. Perlakukanlah menurut konteks peristiwa dan kepentingannya. Sebab, toh, kenyataan yang ada di tengah kita menunjukkan kebelumsiapan itu. Termasuk ucapan kita, “Saya baru bangun tidur sore ini,” yang semestinya “Saya baru bangun pukul 16.33 ini…”.

Masih ada 36 tulisan Umar Kayam lainnya dalam buku ini. Dan semuanya, berupa seperti itu. Ia melontarkan dialog, bukan sekedar pertanyaan yang tak bisa kita jawab. Beberapa, misalnya, menyoroti pendidikan anak-anak (seperti dalam “Dunia Sekolah & Dunia Rumah”) dan pendidikan tinggi (“Siap Pakai dan Terampil”). Beberapa lain tentang dunia pertunjukan pada kurun 1970-an sampai 1980-an (misalnya dalam “Wayang Orang Sriwedari” dan “Film Indonesia: Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri”). Yang agak lebih lain lagi dua tulisan tentang perjalanannya naik haji (lihat “Naik Haji” dan “Setahun Yang Lalu di Padang Arafah”).

Beberapa tulisan, menariknya, meminjam tokoh-tokoh untuk berdialog dengan kita. Misalnya Sardono W. Kusumo (dalam “Ketemu Sardono”). Dalam kegiatannya melihat-lihat berbagai pementasan di Eropa, Sardono mengaku tak banyak yang dilihatnya. Dari hari ke hari. Kasarnya: yang itu-itu juga… Pantas saja, bila apa yang dipertunjukkan Sardono di sana mendapat perhatian lebih dari masyarakat Eropa–yang melulu disuguhi yang serba analitis-rapi-teknis-teknologis-intelektualis-serebral-filosofis. Yang dibawa Sardono adalah polos dan langsung datang dari kehidupan.

Lantas, apa artinya? Agaknya, menurut saya, Umar Kayam ingin menunjukkan kepada kita bahwa rutinisasi memberi peluang banyak bagi kemampatan, kejenuhan hidup berikut iramanya. Ketika tenggelam dan larut dalam proses rutinisasi, maka jangan berharap akan lahir kembali daya dan karya setingkat BELENGGU Armijn Pane di Indonesia ini (lihat “Yang Saya Kenang dari Armijn Pane”), jangan berharap lahirnya puisi-puisi memukau Rendra atau setidaknya orang “sekaliber” Utuy Tatang Sontani (lihat juga “Heeeee! Namaku Aswar”).

Namun pada akhirnya, semua ini semata-mata hasil dialog saya, yang tentu saja dapat berbeda dengan hasil dialog pembaca-pembaca lain. Lagipula, tak semuanya dapat saya ikuti dialog yang dilontarkannya–seperti yang berjudul “Merenungkan Kemenangan Indira Gandhi.” Pada beberapa tempat, terdapat subjek-subjek yang terkesan masih terlalu “spesialis” bagi seorang pembaca awam seperti saya. Ataukah memang itu kembali pada siapa pembacanya? Entahlah. Yang jelas, tidak terlalu buruk juga bagi saya untuk mengakui satu hal lain: saya tak tahu apa yang mesti saya kritik dari tulisan-tulisan Umar Kayam ini.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป