Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka, 18 Mar 2007
The world exists because the books exists.
If God is, it is because He is in the book.
— Edmond Jabès, Je bâtis ma demeure —
Sejarah semesta adalah panggung pertunjukan yang lahir dari khayalan, bebayang teka-teki magis dan renungan Tuhan. Buku, terutama kitab suci, adalah medium yang dijadikan manusia untuk mengenal dirinya, semesta dan Tuhannya. Barangkali benar apa yang didedahkan oleh Edmond Jabès bahwa dunia ada lantaran buku ada, jika Tuhan ada, itu pun lantaran Dia ada dalam buku. Sebagaimana juga yang diyakini manusia beriman, bahwa kitab suci dari setiap agama merupakan lentera kehidupan, penuntun jalan menuju kebenaran dan keabadian. Dan di sini kita tidak membahas ihwal kitab suci, namun bagaimana kita memaknai buku dan ikhtiar membaca, lebih-lebih, sampai sejauh mana seorang pengarang kuasa melahirkan karyanya, menyerap inspirasi dari proses mahapanjang dalam membaca buku.
Syahdan, suatu saat, tatkala Borges ditanya oleh seorang sahabatnya: Demi siapa penulis berkarya? Ia hanya menjawab, “Demi teman-temanku dan untuk melampaui ruang dan waktu.” Boleh jadi sebagian penulis menganggap dengan gamang bahwa dunia tak lebih sekadar catalog mungil nan komplit untuk mencari jejak kebenaran. Maka mungkin saja dunia adalah harta karun yang menakjubkan, wadah segala yang padat menguap menjadi udara, hingga memantik prahara keyakinan bagi manusia. Di sinilah pengarang, sebagai manusia yang bernalar, terus mencari jati dirinya, salah satunya, dengan cara menulis, dengan segala alasan, dengan unggunan kecemasan dan kecamuk impian.
Sebuah tulisan atau kitab atau buku, menurut Virginia Woolf, seperti rawa-rawa purba dari sekadar potongan kertas yang bersetubuh dengan lem dan benang. Pengarang bakal menggigil di tepian, dan menunggu tenggelam bersama dengan semacam pikiran yang mengerikan, terus larut dalam keabadiannya, dan mungkin tidak akan pernah hidup kembali.
Setiap buku yang kita baca adalah padang aksara yang menyimpan berlaksa makna di mana kita berusaha membaca kehidupan ini beserta segala keajaiban yang memancar berpenderan dari dalamya. Dengan membaca, lambat laun, kita membentuk karakter, melalui kebiasaan sehari-hari yang terus berulang, dengan curahan pikiran, mengembangkan imajinasi dan kerja keras hingga kita mampu menentukan siapa diri kita yang sebenarnya. Karena itu, seorang pengarang yang baik kerap berkeyakinan bahwa ia harus menuliskan takdirnya sendiri, tentu sebagai pengarang yang baik, dengan terus menulis sampai akhir hayat. Kita adalah kata-kata, ujar Leon Bloy, atau tulisan dari buku gaib, dan satu-satunya yang tak sirna di dunia adalah buku; adalah dunia itu sendiri. Omnis mundi creatura, quasi liber et picture, nobis est speculum; semua makhluk di dunia, bagaikan buku dan gambar, kaca cermin bagi kita. Demikian kata penyair Alanus.
Lantas seperti apa hubungan antara buku, proses membaca dan pengarang? Sudah pasti ketiga hal ini tidaklah bisa dipisahkan. Saling berjalin berkelindan. Buku adalah api, membaca adalah proses memantik api dan pengarang adalah si penyulut api. Satu pertanyaan sederhana bagi Walter Benyamin tentang mengapa seseorang memutuskan diri menjadi pengarang: karena ia tidak menemukan sebuah buku apa pun yang bisa membuatnya bahagia. Bisa jadi lantaran adanya, ungkap Alain de Botton, sebuah buku yang baik malah justru dapat membungkam pikiran dan imajinasi pengarang.
Jika demikian, benarkah pengarang yang menghasilkan karya unggul tidak pernah membaca buku yang baik? Tidak juga. Atau mungkin, banyak pengarang yang menemui kemandulan, bahkan kemalangan, dalam berkarya setelah membaca sebuah karya bermutu yang mengakibatkan — dengan segala keagungan sekaligus kutukan dari karya itu — imajinasi dan daya ciptanya terkubur mati, bahkan tak akan bangkit untuk selamanya? Atau kita sepakat dengan sugesti yang sederhana, seperti yang dilontarkan oleh Toni Morrison, “Bila ada sebuah buku yang ingin kau baca, tapi buku itu belum pernah ditulis, maka engkaulah yang mesti menuliskannya.” Namun memang ada peristiwa, jika kita simak sejarah, bahwa Musailamah al-Kazzab, si nabi palsu itu, yang merasa hebat dan pede membikin syair-syair untuk menandingi keindahan bahasa Al-Qur’an. Tapi akhirnya ia gagal dan merana.
Boleh jadi, bagi pengarang yang selalu diamuk kebimbangan dalam proses kepengarangannya; spirit membaca, pada akhirnya, memang diperlukan untuk mengisap dan menyingkap semua rahasia kehidupan. Untuk mengusir semua yang tak hidup, agar kematian tak pernah hidup dalam kehidupan yang sekejap ini. Dan, hidup yang berkaki kuat, seperti seruan Sindhunata, adalah hidup yang menyejarah, namun bagaimana kita bisa tahu sejarah, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah, tapi bagaimana kita tahu akan yang luas, dan mendapat inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang percaya akan adanya penopang yang menyangga kelemahan kita, atau yang menguatkan diri kita tanpa kita sadari, namun bagaimana kita tahu akan rahmat dan anugerah tersebut, bila kita tidak membaca?
Membaca adalah juga sebentuk perlawanan untuk memenangkan kebaikan dan memaknai kesia-siaan. Membaca adalah disiplin hidup. Bagi pengarang, mengurung diri dalam buku demi membangkitkan, merangsang, dan mengalahkan kecemasan serta kemalasan merupakan suatu keniscayaan. “Kubaca apa saja demi kesunyianku sendiri! Darahku adalah nerakaku, kurasakan maut yang terus membelah dalam jiwaku, tapi di sanalah kebesaran dan kekuatanku mengekal,” demikian pekik Kafka. Pendek kata, pengarang akan menjadi punah seketika bila ia berhenti membaca.
Saat kita dilanda kegagalan dalam mencapai impian kita mengenai karya yang sempurna, kita akan bertanya dan terus bertanya; adakah karya yang sempurna? Lantaran sebuah buku bangkit dari bacaan dan kembara hayalan, maka manusia seolah-olah dikutuk untuk terus mencari dirinya dengan segala cara dan sumber pengetahuan untuk menemukan makna hidupnya. Padahal tak ada sesuatu pun yang sebenarnya dicari manusia, jika merujuk sabda Buddha: hidup ini adalah jalan menuju diri sendiri. Pikiran adalah cermin, bacaan yang menuntun kita dalam menjalani kehidupan, ialah yang menentukan kebahagiaan dan penderitaan.
Pada awalnya Buddha mengajarkan pada para cantriknya bahwa dunia hanyalah cetusan pikiran belaka, tapi ternyata banyak manusia dilimbung linglung nan celaka di dalamnya. Diombang-ambingkan kesadaran tak bertuan, sehingga Buddha, melalui para cantriknya, mengabadikan sabda-sabdanya dalam Bhagavad Gita. Demikian pula para sufi yang memandang dunia mengada berasal dari Kekuatan dan Kemahabesaran Yang Kuasa. Maka tak heran bila Ibnu Arabi berhasil menuangkan gagasannya dalam Shajarat al-Kawn, salah satu karya magnum opus-nya yang monumental selain Futuhul Makkiyah.
Tampaknya dalam sejarah manusia, terutama bagi para filsuf dan mistikus, terus berusaha mencari rahasia semesta. Dan salah satu mediumnya adalah dengan berkarya, membaca dan menelaah warisan leluhur mereka lalu mengembangkannya. Pada taraf selanjutnya, gagasan tentang semesta beserta segenap isinya dari masa silam hanya bisa mengabadi lewat buku, pada kulit hewan atau guratan yang ditatahkan pada batu dan kayu.
Ketika buku bisa menjadi wadah bagi ingatan demi melampaui waktu dan ketak-abadi-an manusia, maka setiap gagasan bagi pengarang merupakan suluk untuk memaknai apa yang fana dan mencari rahasia yang baka. Andaikan buku, tradisi membaca, dan kerja hidup kepengarangan menjadi bagian terpenting peradaban manusia, tentu kita akan bisa mengambil banyak manfaat darinya. Bayangkan saja bila di dunia ini tidak ada buku bahkan kitab suci, pastilah hidup manusia bagai mayat kesiangan dan bayang-bayang waktu yang kelam. Hidup tanpa buku seperti tubuh tanpa ruh, pohon tanpa daun, atau sebendel Kitab Keheningan tanpa tulisan. Verba vollen scripta manent.
***