Dominasi Puisi Liris

Tito Sianipar
tempo.co.id

Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia dinilai mendominasi semua ruang kreativitas, bahkan menghegemoni para penyair. Namun, tidak jarang juga para penyair muda yang keluar dari jalur utama itu dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.

Penyair Afrizal Malna mengatakan lirisisme bukanlah hal mutlak dalam menciptakan karya puisi. Afrizal, yang terkenal dengan gaya sastra materialisnya, menilai puisi liris telah menjadi imperium dalam dunia kesusastraan Indonesia. “Seakan-akan penyair harus lewat lirisisme,” kata Afrizal dalam diskusi “Imperium Puisi Liris” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu lalu.

Menurut Afrizal, perkembangan puisi liris dalam budaya lisan harus dilihat dari konteks sejarah budaya masyarakat. Kebudayaan yang berkembang di Indonesia, kata Afrizal, merupakan hasil persentuhan dengan berbagai budaya luar lainnya. Belakangan, bahasa liris digunakan penguasa untuk menancapkan kukunya. “Kekuasaan kolonial memakai lirisisme dengan mendirikan Balai Pustaka untuk melestarikannya,” kata dia.

Salah seorang penyair pengusung lirisisme, Sapardi Djoko Damono, mengakui bahwa puisi liris sejalan dengan tradisi lisan. Menurut Sapardi, ketika bicara soal puisi, sebenarnya yang dibicarakan adalah soal bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama. “Kalau bentuknya nyanyian, orang akan ingat terus,” ujarnya mengenai keuntungan lirisisme dalam karya sastra.

Rima yang terdapat dalam puisi liris, kata Sapardi, juga memudahkan orang melakukan pemenggalan terhadap penulisan dan pembacaannya. “Sedangkan yang tidak punya rima, setelah membacanya, orang akan lupa, seperti puisi Sutardji,” ujar guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini.

Sapardi tergolong dalam kelompok pengusung tradisi puisi liris bersama sejumlah tokoh, seperti Abdullah Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, Goenawan Muhammad, Acep Zamzam Noer, Ramadhan K.H., dan Sitor Situmorang. Sementara itu, kelompok pencipta arus alternatif diisi oleh Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, hingga Afrizal Malna. Tapi belakangan, kelompok terakhir ini juga kembali ke bentuk liris, seperti Chairil, Rendra, dan Remy Silado.

Bagi pengamat sastra, Kris Budiman, lirisisme merupakan sistem ideologi yang hegemonik dalam dunia sastra, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Dominasi puisi liris di Indonesia, kata dia, sudah bermula sejak Rustam Effendi dan Muhammad Yamin. “Warisan ideologi romantika pada puisi liris tidak hanya pada nyanyian, tapi juga pada proses produksi,” dia menambahkan.

Menurut Kris, diperlukan sebuah studi teks yang komprehensif mengenai kesusastraan Indonesia sejak zaman Majapahit. Perlawanan oleh kelompok alternatif, kata Kris, tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Pertentangan seperti itu, ujarnya, merupakan sesuatu yang kontinu atau memang selalu ada dan menghiasi dunia sastra. “Kecenderungan penyair untuk tunduk pada konvensi puisi yang sudah diinternalkan,” kata dia.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป