Dharmadi
oase.kompas.com
Ia tak yakin akan diterima dengan senang hati di lingkungan saudara-saudaranya sendiri apalagi oleh kakak iparnya. Meski demikian ia merasa perlu datang ke rumah sakit untuk menengok kakak sulungnya.
Begitu keluar dari lift, langkahnya menuju kamar, seperti yang diberitahukan pamannya lewat telepon, yang ia terima tadi siang, “Mam, masmu Madjid sakit keras, opname di rumah sakit Husada kamar 106 lantai 6; ibumu minta agar kamu pulang.”
Sesekali terdengar suara derit pada lantai yang ditimbulkan oleh langkah kakinya yang bersepatu casual mengusik sepi malam. Langkahnya semakin mendekat ke kamar, ia melihat beberapa pasang mata dari saudara-saudaranya, yang berdiri di depan kamar yang ditujunya, memandang ke arahnya mengikuti telunjuk pamannya yang diarahkan kepadanya.
Begitu dekat, pamannya yang pertama kali maju beberapa langkah untuk menyambutnya merangkul dirinya dan menepuk-nepuk bahunya; “Jam berapa dari rumah? Itu ibumu duduk di sana.”
Sebelum menuju ke tempat ibunya, disalaminya satu per satu saudara-saudaranya. Terasa kaku, udara dingin malam musim kemarau seakan ikut membekukan suasana; tanpa percakapan, hanya sesaat saling pandang. Kemudian diikutinya langkah pamannya yang berjalan menuju tempat ibunya berada.
Diciumnya tangan dan pipi ibunya; dilihatnya ada genangan di bola mata ibunya. Ia menempatkan diri duduk di sebelah kirinya. “Ibumu minta kamu jangan masuk kamar dulu,” kata pamannya yang berdiri di depannya; ?Begitu kan Mbak?”
Hampir bersamaan, ia dan ibunya mengangguk. Ia paham, apa yang dikatakan pamannya; jangan masuk kamar dulu, berarti belum boleh menengok kakaknya yang dalam keadaan kritis. Pasti bukan karena kritisnya yang menjadi alasan dilarangnya ia masuk.
Pasti ibunya khawatir, akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Khawatir kalau-kalau rasa sakit hati kakaknya kepadanya tiba-tiba mencuat begitu melihatnya, bisa-bisa malah menjadikan fatal bagi kakaknya.
Pamannya bercerita tentang sakit kakaknya, ginjal dan jantungnya sudah kena akibat dari sakit gulanya; kadar gula dalam darahnya tak terkendali. “Masmu Madjid tak mau menjaga makannya,” ibunya menimpali.
Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala seakan mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Pikirannya merunut kembali ke peristiwa beberapa tahun yang lalu; ketika itu kakaknya sedang dalam proses tuntutan kejaksaan, dituduh menyelewengkan dana reboisasi.
Ia ingat, suatu ketika ibunya berkata, “Mbakyumu Majid minta tolong aku Mam, untuk menanyakan padamu, apa tak ada yang kau kenal salah satu pun di antara jaksa yang sedang memroses kakakmu.”
Ia tahu ke mana arah kata-kata ibunya; tak mungkinkah ia bisa membantu kakaknya agar tak terjerat tali hukuman.
Juga ia ingat kata-kata ibunya waktu itu: “Bagaimanapun masmu Madjid sedikit banyak dulu ikut membiayai kuliahmu.”
Bukan hanya istrinya Mas Majid, dan ibunya saja yang mencoba agar ia bisa membantu kakaknya. Juga saudara-saudaranya.
Banyak komentar yang didengar dari saudara-saudaranya, seperti, “Mosok, sebagai jaksa tak mengenal satu pun jaksa lainnya.” Juga kata-kata, “Kalau niat mau nolong mesti bisa.”
Ia tak mengingkari, bahwa ia bisa kuliah sedikit banyaknya memang dibiayai kakaknya yang sedang sakit itu. Juga mengakui dalam hati, salah satu di antara jaksa-jaksa yang sedang menangani kasus kakaknya, ada yang dikenal, malah dulu teman kuliah.
Tetapi ada suara lain yang sangat halus dan lembut dari lubuk kalbunya, “Akankah kau korbankan nilai dirimu sendiri?”
Tak ada jalan lain, saat itu yang dapat ia lakukan, hanya berkata, “Bagaimana lagi ya,” sebagai jawaban terhadap keinginan kakak iparnya, ibu dan saudara-saudaranya. Akhirnya, kakaknya masuk penjara menjalani hukuman selama dua tahun tiga bulan, sesuai dengan keputusan pengadilan.
Tanpa sadar tangannya memegang kepalanya, dirabanya kening kirinya yang belang bekas luka. Ingat pada salah satu unjuk rasa yang pernah dipimpinnya waktu masih mahasiswa; kepalanya kena pukulan tongkat salah satu aparat, dan sampai kini kadang-kadang kepalanya terasa pusing kalau berpikir terlalu berat.
Ada langkah mendekat, salah satu kerabat menemui pamannya; “Lik, Mas Madjid kritis.”
Paman dan ibunya memandangnya, juga kerabat yang baru saja datang yang menyampaikan berita.
“Yuk, ke sana, Mbak,” ajak pamannya kepada ibunya; sebelum beranjak, pamannya menganggukkan kepala kepadanya. Ia tahu maksud anggukan kepala pamannya, mengajaknya juga.
Bersama ibunya, dibuntutinya langkah pamannya yang mengayun rapat. Sambil berjalan ditatanya pikiran dan perasaannya yang gelisah; semakin dekat pintu kamar semakin tak tenang, ada yang muncul dalam hatinya, “Jangan-jangan?..” Dihentikan pertanyaan dalam hatinya, tak dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.
Begitu pintu terbuka, berpasang mata menyergapnya dengan sorot tajam bagai mata pedang, seakan ujungnya siap untuk ditusukkan ke dadanya.
Dilihatnya seorang dokter dan dua perawat sibuk menangani kakaknya. Dilihatnya kakak iparnya berdiri di sebelah kiri ranjang suaminya, posisinya menghadap ke pintu.
Dihentikannya langkahnya. Sambil tersenyum, dianggukkan kepalanya pada kakak iparnya yang menatap dirinya sesaat.. Dihapusnya dengan cepat keinginan menafsirkan makna tatapan kakak iparnya, diredakan gejolak hatinya.
Waktu seakan berjalan perlahan, nyaris serasa berhenti, suasana ruang seakan beku. Orang-orang yang ada di ruang seakan menjadi patung; diam, tegang, berada di tempatnya masing-masing, tak ada yang berani sedikit pun menggerakkan badan.
Hanya sesekali terdengar kata-kata dokter yang berisi instruksi, dan bunyi langkah perawat yang membantunya untuk mengambil ini, mengambil itu, memenuhi instruksinya.
Kemudian dilihatnya dokter menghentikan kesibukannya, pandangan matanya diarahkan ke kakak iparnya; sambil menyalami, tersenyum, berkata, “Saat kritis telah lewat.”
Terdengar hampir bersamaan suara nafas dilepas dari mulut orang-orang yang ada. Begitu dokter bergerak pergi untuk meninggalkan kamar, langkahnya perlahan diayun menuju ke kakak iparnya yang duduk di kursi di sebelah kiri ranjang, di mana suaminya terbaring, dekat kepala; disalaminya setelah dekat.
Perlahan dan perlahan dilihatnya kelopak mata kakaknya membuka, dan menatapnya. Ia rundukkan badannya ketika dilihatnya, kakaknya berusaha mengangkat tangan kanannya untuk mencoba merangkulnya, tetapi tak kuat tenaganya.
Dirundukkan badannya, didekatkan kepalanya ke kepala kakaknya; dibantunya tangan kanan kakaknya, diangkat dan diletakkan di punggungnya.
Seakan mendaki gunung yang semakin tinggi menuju puncak, terdengar terengah-engah nafas kakaknya.
Kembali ditegakkan tubuhnya. Dilihatnya mata kakaknya berkaca-kaca, dalam pandangan kosong menatap jauh ke sana, entah apa yang dipandang.
Ia sedikit mundur, kakak iparnya mendekat ke suaminya, menyeka matanya, mendekatkan kepalanya ke kepala suaminya; membelai-belai kepala suaminya, sesekali menciumi pipinya; “Jangan berpikir yang bukan-bukan, Pak.”
Dipandanginya wajah kakaknya; mata kakaknya pelan meredup, bagai matahari senja yang sebentar lagi tenggelam, dan padam. Kelopak mata kakaknya akhirnya memejam dengan menyungging senyum di bibirnya.
Kakak iparnya menggoyang-goyang kepala suaminya, sambil memanggil-manggilnya, “Pak, Pak, Pak.” Tak ada reaksi; sesaat kakak iparnya menatap dirinya, kemudian mengalihkan pandangannya ke pamannya; ia maju, dipegangnya nadi di pergelangan tangan kiri kakaknya.
Pamannya mendekat. Ia menyisih, juga kakak iparnya, memberikan tempat untuk pamannya. Pamannya mendekatkan telapak tangan kanannya ke lubang hidung kakaknya, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kiri kakaknya.
Kemudian ia melihat, beberapa kali pamannya membuka kelopak mata kakaknya. Bola matanya tak bergerak, tanpa cahaya.
Kakak iparnya menancapkan tatapannya ke wajah suaminya. Ia mendengar pamannya melepas nafas panjang., dan dilihatnya pamannya menggelengkan kepala.
“Bagaimana Om?” tanya kakak iparnya dengan nada suara penuh ketakutan.
Ia melihat, pamannya merangkul kakak iparnya, “Relakan, sudah saatnya.”
Keheningan ruang dalam suasana yang seakan mencekam akhirnya mencair. Melengking jerit kakak iparnya, melepaskan diri dari rangkulan pamannya, menubruk dada suaminya, dan menjatuhkan kepalanya di sana. Terdengar suara tangisnya.
Dokter datang, melihat alat yang dihubungkan dengan bagian tubuh kakaknya, untuk memantau denyut jantungnya. Grafiknya tak bergerak.
Mengulang seperti apa yang ia lakukan pamannya, dokter memegang pergelangan tangan, membuka-buka kelopak mata kakaknya. Kemudian menggelengkan kepala.
Berpasang mata orang yang ada di kamar sesaat menatapnya; tatapan berpasang mata itu yang tadi dirasakan seperti pedang, yang lancip ujungnya untuk siap ditusukkan ke dadanya, kini dirasakannya seperti benar-benar telah ditusukkan sampai menghunjam ke dalam, menimbulkan rasa nyeri yang tak terperikan di hatinya.
Di pancaran wajah orang-orang yang menatapnya, ia merasakan, orang-orang itu menyalahkannya; “Kalau kamu tak datang…”.
Dipandangnya wajah ibunya, wajah pamannya. Hanya anggukan kepala kedua orang tua itu yang ia terima. Ia tak tahu, bagaimana mesti menerjemahkan maksudnya.
***
Jakarta,2008