Fakhrunnas MA Jabbar *
lampungpost.com
Akulah hantu itu. Tertiup angin aku datang ke pulau yang mulai gemerlapan ini. Tersebab lupa, aku tak tahu darimana aku tiba. Aku bisa berumah di awang-awang atau berhimpun dalam gemuruh hujan dan petir. Tak usahlah aku berterus-terang ihwal asalku. Orang-orang Melayu kebanyakan agak berpantang membincangkan soal itu. Kecuali, para batin dan bomoh yang sewaktu-waktu bisa saja memanggilku tanpa surat perintah sekali pun. Aku hanya takluk pada mantera dan bacaan gaib serta bau-bauan kemenyan atau ramuan kembang para batin atau bomoh tadi.
Oleh karenanya, aku bisa diperalat oleh siapa saja yang mengimpikan suatu pengharapan dan cita-cita. Ya, aku mengalir dalam takhayul-takhayul orang kesurupan akan harta dan jabatan. Maaf, tak mungkin aku berterus-terang siapa saja yang pernah menggunakanku untuk mencapai ambisi-ambisi pribadinya. Sssttt…off the record-lah gitu…!
Seperti angin dan bau-bauan, aku pun bergentayangan begitu saja di pulau ini. Aku datang tanpa permintaan siapa pun. Tak ada batin atau bomoh yang memperalatku. Tak ada maksud-maksud khusus di balik kehadiranku. Aku hanya ingin bersaksi di sebuah kawasan baru yang selama ini tak tertera di peta. Sungguh, sebelumnya aku sudah kenal kota-kota besar yang bertumbuh bagai meteor yang melesat ke langit biru malam hari. Bahkan aku sudah beranak-pinak di kawasan-kawasan semacam itu menyebarkan ketakutan dan kecemasan di tengah kegerahan kehidupan malam.
Aku baru tahu di pulau ini ada kehidupan yang mulai asing. Dunia hiburan tanpa batas tiba-tiba menjadi ratu di kegelapan malam. Ini yang aku suka. Meski aku juga tahu kalau orang-orang Melayu penghuni asal pulau ini telah berkeringan air mata meratapi perubahan yang mengoyak-ngoyak tabir budayanya yang santun. Dentum suara musik di diskotek-diskotek sejak malam hingga pagi hari membenamkan dengung azan di menara-menara masjid yang senantiasa jadi tumpuan doa orang-orang Melayu di sini. Bar dan karaoke yang dipenuhi kepulan asap dan bau maung pil nipam, ineks, rohipnol serta cekikikan perempuan sundal tengah malam menguburkan rengek-tangis anak-anak Melayu yang hidup bersahaja di ceruk-ceruk tanjung dan selat nan jauh dari keramaian. Kesepian mereka lebih diam dari bintang di kejauhan. Aku faham….aku faham sungguh!
Malam-malam kujalani di tiap jengkal pulau harapan ini. Terang-benderang kota di luaran berbancuhan dengan ruang remang-remang yang dijejali asap dan bisingnya suara musik. Aku ikut larut dalam hentakan musik yang membuat ribuan orang terkulai dan menahan dingin di pojok-pojok diskotek dan bar. Orang-orang berpelukan semaunya. Dunia tanpa kata-kata. Orang-orang hanya mengandalkan gendang telinga untuk menikmati irama musik yang tak beraturan lagi. Itu juga yang aku suka. Aku sudah terbiasa dengan suasana-suasana seperti itu. Bagi makhluk semacam kami, ketakutan dan kecemasan adalah santapan penuh gizi. Aku datang ke pulau ini pun sebisanya menularkan ketakutan dan kecemasan itu. Orang-orang yang kesetanan adalah sahabat sejati kami.
Kucoba mengenali orang-orang di pulau ini sebisaku. Kucoba mengakrabi wajah mereka. Tak peduli apakah dia orang tempatan atau tamu yang berdatangan dari luar pulau ini. Sudah lama kudengar, banyak orang yang datang ke pulau ini setelah urusan dinasnya menikmati malam-malam panjang dan perempuan sundal yang bisa “dibeli” dengan harga lebih murah. Bahkan, perempuan semacam itu jadi bagian proses bisnis atau urusan dinas mereka. Ha ha ha… (maaf, aku jadi tertawa berlebihan).
Malam ini aku bersendirian saja. Seperti biasa aku berkelana kian-kemari. Dari tempat yang remang di luaran hingga keremangan diskotek dan karaoke. Entah bagaimana, kehidupan kami lebih dominan ditakdirkan berada di keremangan. Hanya bedanya, dulu aku hidup di keremangan rimba belantara. Tapi kini kucoba menikmati keremangan lain. Keremangan yang dijejali kerlap-kerlip lampu dan hentakan musik.
Aku melihat seorang perempuan muda yang menggigil di sudut ruangan diskotek. Aku kasihan melihat kegetiran hidupnya malam itu. Aku ingin berbicara dengannya. Tentu bukan dalam bahasa hantu. Tentu juga dalam wajah kami yang selalu berubah dan mengerikan. Seperti tabiat kami yang bisa berubah rupa, aku pun akan mendekatinya dengan wajah seorang lelaki tampan.
“Hai, manis! Kenapa sendiri?” sapaku.
Perempuan itu semula diam saja. Menatapku penuh keheranan. Tampak di wajahnya ia mulai berbagi perasaan. Satu sisi ingin menolakku karena aku masih asing baginya. Di sisi lain, ia juga sangat bersimpati padaku, tersebab aku cukup tampan malam itu.
“Hai, manis! Perlu ditemani?” sapaku mengulang.
Ia mulai tersenyum. Manis sekali.
“Boleh aku duduk di sini?” pintaku.
Ia beraksi dan menyempurnakan posisi duduknya. Pakaiannya yang berkerutan karena melampiaskan rasa kesal akhirnya dirapikan tergesa-gesa. Ia tampak berusaha melayaniku dengan prima. Tampaknya ia mulai tertarik padaku.
“Abang dari mana?” tanya perempuan itu singkat.
“Aku dari pulau ini. Aku penduduk sini. Kau, mengapa di sini sendirian saja?”
Ia mulai bercerita. Katanya, ia sedang kesal karena menunggu seorang lelaki yang menjadi tamu istimewanya. Pak Bramanto, namanya. Seorang tamu yang bertugas dan menetap di Jakarta. Persisnya pejabat di dinas atau kantor apa, perempuan yang mengaku bernama Prili itu tak pernah tahu pasti. Walaupun sebenarnya, sang lelaki sudah menjadikannya sebagai “istri piaraan” selama lebih tujuh tahun. Biasanya Pak Bram, begitu ia senang dipanggil, akan mengunjungi 3–4 kali setahun, sejalan dengan tugas dinas luarnya di pulau itu.
“Kamu suka hidup seperti ini?” desakku.
“Gimana lagi, Bang. Sebenarnya aku tak mencintainya. Apalagi bagi perempuan di tempat hiburan seperti aku, dijamin tak punya tambatan hati. Tapi Pak Bram memelas dan memohon agar aku tetap jadi isteri simpanannya. Ya, aku terima juga. Yang penting bagiku…ya duitnya. Aku sudah dihadiahinya sebuah rumah mewah lengkap dengan isinya. Lebih dari itu, pada ulang tahunku yang ke-24 tahun lalu, dia juga hadiahkan buatku sebuah sedan BMW. Tentu aku suka…,” derai tawa Prili terdengar manja sambil menyandarkan wajahnya di bahuku. Sebagai hantu, tentu aku tak nafsu.
Kencan kami malam itu sampai larut malam. Meski dentuman musik house masih terus mengalir sampai pagi, tapi aku memutuskan pembicaraan sampai pukul 02.00 dini hari. Aku tak menawarinya untuk menemaninya antar pulang. Sebab, aku tak menghendaki ia sampai mengajakku tidur bersama. Aku tak biasa melakukannya.
Di malam-malam berikutnya, Prili masih mengajakku datang dan bertemu di diskotek yang sama. Di malam yang kebelasan kalinya, saat aku duduk mendampingi Prili, tiba-tiba ponsel di genggamannya berdering. Ia tampak gelagapan dan bicara berbisik. Bagai ada yang disembunyikan. Tapi aku persis tahu semua apa yang dibicarakannya. Bahwa, Pak Bramanto sebentar lagi akan datang karena pesawatnya baru mendarat agak kemalaman dari Jakarta.
“Bisa kutinggal sebentar, aku ada keperluan lain…,” ujar Prili berhati-hati.
“Tak usah repot. Aku juga mau pergi. Pak Bramanto sedang ada di sini kan?” selidikku. Prili tersengak.
Tokoh Prili bagiku jadi menarik begitu kutahu hubungan gelapnya dengan Pak Bram. Oleh sebab itu, selama tiga hari pertemuan mereka, selalu tak luput dari intaianku. Aku selalu menyaksikan hari-hari kemanjaan mereka di pusat belanja, kamar tidur, restaurant sea food hingga lancongan mereka ke Singapura. Aku hanya menangkap wajah kebohongan pada kedua tubuh itu. Pak Bram menjual kebohongan-kebohongan pada anak-istrinya yang jauh. Sementara Prili membohongi Bram tentang kesetiaan dan kejujurannya.
Sebagai hantu, aku menerobos ruang dan waktu tanpa batas. Oleh karenanya, saat Pak Bram kembali ke Jakarta, aku mendahuluinya. Kumasuki ruang mimpi anak-istrinya. Kubisikkan semua yang dilakukan Pak Bram sejak tujuh tahun berlalu. Aku tak ingin kebohongan Pak Bram lestari sepanjang usianya. Mestinya ia lebih punya tanggung jawab di usia yang kian senja.
Ketika Pak Bramanto sampai di rumah, istri dan anaknya menyambut dingin. Pak Bram jadi ketar-ketir. Ia mencoba seolah tak terjadi apa-apa dengan menyuguhkan oleh-oleh yang beragam.
“Ada apa, Ma?” tanya Pak Bram saat bertemu sang istri di kamarnya.
Sang istri makin cemberut. Pak Bram jadi salah tingkah. Apalagi saat anak-anaknya yang sudah dewasa mengerumuninya.
“Saatnya, Papa berterus terang pada kami. Papa punya perempuan simpanan kan di Batam? Itu yang membuat Papa sangat senang dinas luar ke sana…” serang ketiga anaknya serempak.
Pak Bramanto terdiam.
“Bagaimana kalian tahu?” suara Pak Bram meluncur pelan.
“Kami bagai dibisikkan sesuatu. Kami menyaksikan semuanya lewat mimpi. Seolah-olah ada yang memberitahu kami akan kejadian yang sebenarnya…,” tanggap sang istri berapi-api.
“Tapi, mimpi tak lebih dari bunga tidur. Bukan fakta..bukan realita. Bagaimana bisa dipercaya…?” Pak Bram masih mencoba mengelak.
Aku menyaksikan perdebatan di rumah tangga itu sambil tersenyum geli. Saat suasana hening di dalam kamar itu, aku mengubah jasadku menjadi Prili. Aku langsung mengetuk pintu. Pak Bramanto yang berdiri paling dekat ke pintu langsung menekan gerendel.
“Selamat malam… Hai, Pak Bram! Maafkan aku mengganggu…,” sapaku dengan memakai jasad dan suara Prili dengan senyum ramah.
Pak Bram benar-benar tersengat dan terkejut. Dadanya berguncang hebat. Tak lama kemudian ia rubuh ke lantai karena serangan jantung. Semula nyaris tak ada yang peduli. Tapi setelah aku berterus terang dan mengenalkan diri sebagai Prili, perempuan simpanan Pak Bram, barulah anak laki-lakinya yang bungsu memberikan pertolongan pada Pak Bram. Sementara istri dan dua anak perempuannya mencoba menyeretku ke luar. Mereka tiba-tiba kesurupan ingin meremas wajahku.
“Sabar dulu, Bu. Aku datang untuk memberitahu ihwal sebenarnya agar Pak Bram tak membohongi kalian lagi. Permisi…,” aku langsung gaib dan menghilang membuat semuanya tercengang.
Aku kembali ke Pulau Batam menyaksikan ribuan kebohongan para lelaki. Kuberitahu Prili bahwa Pak Bramanto tak akan datang lagi karena ia sudah meninggal dunia sejak mendapat serangan jantung dulu. Hati Prili berbunga-bunga.
Pangkalan Kerinci, Agustus, 2003
*) Cerpenis tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.