Marhalim Zaini
riaupos.com
(Bagian Kedua/Habis)
Lalu di manakah Saidul Tombang menghilang? Sebenarnya ia tak benar-benar menghilang. Meski cuma sesekali muncul dengan cerpennya di Riau Pos, rupanya ia diam-diam menulis novel. Sebuah manuskrip 200-an halaman yang datang pada saya beberapa waktu silam (akhir 2007) adalah sebuah novel berjudul Lawa karya Saidul Tombang. Saya kira, ini semangat baru. Sebab novel butuh energi besar. Soal isinya, tunggu saja bukunya terbit. Cukup romantis. Dan Saidul agaknya hendak membuktikan bahwa kerja jurnalistik tak membuat dia berhenti menulis karya kreatif. Dan barangkali semangat yang sama juga masih dimiliki oleh Fitrimayani. Sebuah novelnya Kugapai Rembulan dengan Cinta, yang masuk nominasi Ganti Award 2004, dapat menegaskannya. Karya cerpennya pun dapat dibaca di ruang budaya koran Riau Mandiri, tempat dia bekerja. Lalu di mana penyair perempuan Kunni Masrohanti kini? Apakah dunia jurnalistik atau dunia domestik mengganggu produktivitasnya? Hemat saya, puisi-puisinya yang potensial itu, yang memperlihatkan bakat besarnya sebagai penggubah sajak, adalah harapan bagi dunia kepenyairan “perempuan” di Riau. Mari apresiasi sebait terkahir sajaknya berjudul Gigil Bunga Mungil ini: “bunga yang masih menggigil dalam genggamanmu/adalah puisi yang berderit/di atas alis mata dunia.”
Selain nama-nama itu, Musa Ismail adalah penulis yang cukup terjaga produktivitasnya. Selain cerpen, ia juga menulis esai sastra dan budaya. Buku cerpennya adalah Sebuah Kesaksian (2002), dan buku esainya terbit tahun 2007, Membela Marwah Melayu, yang lebih menunjukkan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang kebudayaan, dan upaya mengisi kekosongan dunia “kritik sastra” kita dengan mengulas sejumlah buku sastra pengarang Riau. Sebagai seorang guru bahasa dan sastra pada salah satu SMA di Bengkalis, agaknya Musa merasa memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk bagaimana “menularkan” energi kreatif menulisnya pada anak didiknya di bangku sekolah. Terbukti, cukup banyak siswanya yang mulai menulis, dan beberapa di antaranya kerap dimuat di Majalah Budaya Sagang. Saya kira, perlu lebih banyak lagi guru-guru bahasa dan sastra kita macam Musa ini. Sehingga regenerasi sastra Riau terus dapat terjaga dengan baik.
Penulis prosa (novel dan cerpen) Riau terkini yang tak kalah penting untuk dicatat adalah Hary B Kori’un dan Olyrinson. Keduanya cukup rajin bertarung dalam berbagai sayembara penulisan novel. Novel Jejak Hujan karya Hary B Kori’un adalah salah satu pemenang dalam sebuah Sayembara Menulis Novel Remaja tahun 2005 yang diselenggarakan Radio Belanda dan Penerbit Grasindo. Selain novel Malam, Hujan yang juga masuk nominasi Ganti Award 2005, di tahun sebelumnya novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri bahkan meraih Penghargaan Utama Ganti Award. Saya kira, Hary memang telah memilih jalan kepenulisannya lewat novel dan menempuh publikasinya di media-media sebagai cerita bersambung (cerbung) sebelum diterbitkan menjadi buku. Misalnya Di Antara Rumput dan Angin (Mingguan Penalti, 2001), Nyanyian Sunyi (Mingguan Mentari, 2002), Nyanyian Kemarau (Riau Pos, 2004), dan Nyanyian Batanghari (Republika, 2000 yang diterbitkan menjadi buku pada 2005) .
Sementara Olyrinson, hemat saya, adalah penulis Riau yang paling rajin ikut lomba, dan paling sering pula memenangkannya, terutama yang digelar oleh Dewan Kesenian Riau, Dewan Kesenian Bengkalis, Majalah Sagang, Majalah Femina, CWI, Forum Lingkar Pena, Ganti Award, Krakatau Award, dll. Karya-karyanya yang realis dengan bahasa yang jernih, dan kebanyakan berisi tentang tema-tema pergulatan sosial yang dialami oleh tokoh anak-anak (pun remaja), membuat dapat dengan cukup mudah diterima di sejumlah media macam Majalah Hai, Anita Cemerlang, Kawanku, Aneka, dll. Sejumlah novelnya yang telah terbit adalah Sinembela Dua Digit (2003), Gadis Kunang-kunang (2005), dan Jembatan (2006).
Generasi Baru Sastra Riau
Kini sampailah kita menengok konstelasi pergerakan sastra generasi berikutnya, generasi terbaru, generasi yang kini tengah terus berjuang untuk menemukan eksistensinya dalam sejarah panjang dunia sastra (di) Riau. Saya kira, mereka datang bukan karena hendak menanggungkan “beban” sejarah sastra Riau itu, tapi datang dari berbagai kegelisahan individual. Meski masih butuh demikian banyak waktu untuk memasuki proses menemukan dirinya dalam kematangan karya-karyanya, akan tetapi paling tidak, ada harapan untuk menuju ke sana. Kita cukup bahagia ketika nama M Badri lewat cerpennya “Loktong” memenangkan sayembara CWI Jakarta dan tahun 2007 menerbitkan buku cerpennya yang pertama berjudul Malam Api. Ia juga rajin menulis esai-esai kritis untuk sastra Riau. Meski nampaknya karya-karya Badri masih belum dapat menjangkau publikasi yang lebih luas, dan produktivitasnya yang masih harus terus ditingkatkan. Lalu ada nama Sobirin Zaini dan Saiful Bahri yang kerap memenangkan Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau dan cukup sering muncul karyanya di sejumlah media massa, terutama di Riau. Problemnya memang masih sama, keterjangkauan publikasi karya, dan eksplorasi atau penggalian yang serius terhadap capaian estetika karyanya, dan mestinya terus berupaya menemukan karakter “bahasa ucap” mereka sendiri. Produktivitasnya yang kini masih terjaga, tentu menjadi satu poin penting yang mesti mereka pertahankan untuk dapat masuk ke wilayah capaian estetika. Dan bahwa nama Sobirin Zaini kini cukup menonjol, terlebih karena dia cukup terlihat bersungguh-sungguh “berjuang” di dunia sastra, terutama dengan penyerangan media tak hanya di Riau, tapi di Sumatera (Padang dan Medan).
Selain itu ada nama Joni Lis Effendi, dari Forum Lingkar Pena. Joni penulis yang cukup produktif. Usaha-usaha menyerang media yang dilakukan Joni dengan berbagai genre penulisan (dalam sejumlah bidang) agaknya merupakan proses yang baik ditempuh untuk dapat terus menaiki jenjang yang lebih tinggi. Gaya penulisan “ala FLP” yang agak “meremaja” mungkin adalah “beban” jika tak pandai-pandai mengelolanya dalam eksplorasi tematik, pun stilistika. Dan akan jadi kekuatan jika ia mampu keluar dari mainstream tersebut, dan menciptakan jalur sendiri, dengan pilihan-pilihan yang lebih luas. Lalu ada Jefry Al Malay, penulis yang kehadirannya cukup baru dalam konstelasi sastra “muda” Riau. Karya-karyanya (terutama puisi, dan belakangan sesekali menulis cerpen), memang masih “gelap” dalam konteks permainan bahasa. Sehingga kemudian pun dapat pula tersesat dalam berbagai tumpukan gaya bahasa, diksi, dan tafsir makna yang berlapis, meski tak selalu itu buruk. Warna lokal, dengan kekuatan “lidah Melayunya” adalah kekuatan Jefry jika ia mampu untuk tidak terlalu bernafsu mendesakkan diksi-diksi arkaik, pun kolokial, serta mampu untuk lebih mengurainya dalam narasi-narasi yang jernih dan sublime.
Agaknya kita boleh berharap terhadap tiga nama perempuan penulis “muda” ini (untuk menyebut beberapa nama): Dien Zhurindah, Aliela, dan Budy Utamy, terutama untuk mengisi kekosongan penulis perempuan di Riau. Produktivitas mereka memang belum memadai untuk dapat kita katakan sebagai yang paling menonjol dalam masa-masa belakangan ini, meski cukup dapat mewakili di generasi mereka. Nama lain, ada juga DM Ningsih, Dessy Wahyuni, Novi Yanti, yang masih kita tunggu karya-karyanya yang lain, yang terbaru, untuk dapat melihat keseriusannya dalam menempuh proses di dunia menulis. Sajak-sajak Dien Zhurindah hemat saya cukup kuat bermain suasana dalam narasi-narasi yang bersahaja dan lembut, serta cenderung prosaik. Meski masih ditemukan berbagai kelemahan diksi, namun kerap tertutupi oleh keberhasilannya memainkan imaji. Semoga Dien tak berhenti menulis, dan terus menggapai “puncak sajak”.
Nama Aliela muncul agak belakangan dengan sejumlah cerpen di Riau Pos. Penulis perempuan ini memang bukan asli Riau, tapi nampaknya ia mulai berproses menulis ketika ia bermastautin di Pekanbaru. Cerpen-cerpennya memang menunjukkan upaya eksplorasi bahasa dan tematik, meski masih belum tampak kokoh sebagai sebuah bangunan peristiwa. Terkadang upayanya untuk menggali khazanah kebudayaan Melayu, sebagai yang bukan ia kenali benar karakternya, membuat di sejumlah tempat dalam cerpennya terkesan rumpang. Sementara Budy Utamy, terutama dalam sajak, menempuh ruang-ruang imaji yang cukup liar. Ia lebih banyak bermain di wilayah kesunyian yang hilang dan datang padanya bagai musim yang pasti. Meski kadang ia romantis, tapi kadang juga ia garang. Budy Utamy, harus pula terus menggali kesunyiannya itu lebih dalam, agar dapat ia serap ketajaman imajinya. Hingga “keliarannya” dapat menghadirkan energi positif. Coba kita simak sebait sajaknya berjudul “The Journey” ini: “ada yang hilang di hari-hari depan/ sesuatu yang kucuri dan sembunyikan/ pada bulan kesiangan.” Buku kumpulan puisinya, Rumah Hujan (Maret 2008) seperti bercerita seperti apa perjalanan kreatifnya.
Satu nama di generasi terbaru ini yang mungkin paling muda adalah Fariz Ihsan Putra. Sejak masih di bangku SMA dia sudah menulis cerpen. Sebagaimana yang pernah saya sebut dalam pembahasan sejumlah cerpennya beberapa waktu lalu di Riau Pos, bahwa tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Fariz cenderung mengidap skizofrenia. Ada upaya untuk membebaskan tokoh-tokohnya dalam berbagai peristiwa yang bergerak dengan liar dan tumpang-tindih. Meski tentu saja Fariz masih punya jalan panjang untuk menemukan berbagai kemungkinan style pengucapan maupun tematik, meningkatkan produktivitas, dan lebih ligat alias gigih lagi menembus media massa. Selain itu ada nama Pandapotan MT Siallagan, Binoto H Balian dan Ellyzan Katan yang dulu menempuh proses bersastra ketika di Riau, dan kini telah kembali ke kampungnya. Ketiganya cukup produktif. Pandapotan dan Ellyzan Katan sampai kini karya-karya masih muncul di media Riau, sementara Binoto jarang dapat ditemui lagi. Ada yang menurun dari Pandapotan ketika ia mulai masuk ke dunia jurnalistik. Gairah eksplorasi masih banyak saya temukan dalam cerpen-cerpennya maupun sajak-sajaknya terdahulu, dibanding sekarang. Sementara Ellyzan masih nampak punya ambisi untuk mencari bentuk-bentuk baru dalam karyanya. Ini positif, jika dia kemudian lebih memilih untuk sedikit kontemplatif. Kekuatan lokalitas Melayunya, boleh jadi akan kian terkuak ketika mulai ia temukan kenikmatan bertuturnya yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana kelak perjalanan sastra Riau masa depan? Sastra Riau yang berjalan dalam sejumlah problem “kemiskinan” yang belum dapat dientaskan: miskin komunitas sastra, miskin kritikus sastra, miskin media sastra, miskin forum diskusi sastra yang menyebabkan miskinnya polemik sastra, miskin iven-iven sastra, miskin peminat, penikmat, dan pembaca sastra, miskin semangat untuk menembus media sastra di luar Riau, dan juga miskin penulis sastra yang produktif-inovatif, berdedikasi alias tunak, dan sejumlah kemiskinan yang lain? Mari kita jawab bersama.
***