Dian Hartati
http://sudutbumi.wordpress.com/
Matahari tidak terlalu panas siang ini. Entah mengapa itu terjadi padahal saat ini adalah musim kemarau. Jalanan tidak begitu terik seperti kemarau tahun lalu, pohon-pohon pun seakan diam tidak terlalu sibuk membuat klorofil-klorofil. Yah, apa mau di kata mungkin itu pengaruh penduduk bumi yang terlalu apatis dengan masalah lingkungan hidup.
Angin berhembus dan menerbangkan daun-daun yang gugur ketanah. Barisan semut hitam tampaknya sibuk bekerja tanpa diperintah. Mengangkut remah-remah yang entah diambilnya dari mana. Masuk ke dalam gundukan tanah yang sepertinya telah mereka buat sendiri mencapai dasar tanah. Tak ada beban bagi semua semut-semut pekerja itu, semua diam dalam kesibukannya.
Langit tetap biru dengan gemawan yang terus berarak mengikuti pola angin yang membawanya. Gurat-gurat membentuk simbol di angkasa. Langit yang selalu saja bersahaja tanpa kebingungan memikirkan apa yang ada di bumi. Tak lama setelah gemawan pergi peri-peri cinta datang dan segera menuju bumi. Mengabarkan cerita indah kepada setiap mahkluk yang membutuhkan cinta. Cinta adalah rasa yang pasti dimiliki setiap nyawa di bumi. Begitu juga aku yang sedang menunggu hadirnya cinta entah kapan. Mungkin esok, lusa, atau hari ini. Biarlah aku akan menunggu datangnya peri-peri cinta ke pangkuanku.
*
Cinta memang dapat hadir kapanpun dan dimana pun. Saat aku terbaring lemah cinta itu datang melalui bunga-bunga yang dikirim seseorang, entah siapa dia aku tidak tahu. Yang pasti aku mencintai sosok itu. Sosok yang selalu hadir di mimpiku. Kehadiran cinta datang pertama kali saat aku meratapi nasib dan menangisi kenangan. Nasib dan kenangan telah mengikat aku pada cinta masa lalu yang abadi. Lembar-lembar kehidupan telah aku lewati bersama derasnya masalah. Begitu saja aku mulai jatuh cinta pada sosok yang aku sendiri belum pernah melihatnya secara nyata. Kelebat bayangannya selalu muncul memaku setiap raut yang kemudian remuk redam menahan rindu.
Siapa kira aku harus terbaring tak berdaya. Ketika diagnosa dokter menvonis aku, bahkan dibalik penderitaan ada hikmah terdalam. Ya, aku harus rela membagi nafas hidupku dengan sebuah penyakit tanpa obat. Aku harus mau membagi tubuhku dengan virus yang menggerogoti pertahanan tubuhku. Hingga kini aku lemah tak berdaya. Semangat itu muncul kembali setiap datangnya kiriman bunga, kadang putih, merah, bahkan sempat kuning. Seolah-olang kematian menemui diriku.
Aku tak dapat berbuat apapun selain mnerima dan tetap bertahan. Karena yang aku tahu jika kita putus asa maka siapapun tak ada yang dapat membantu termasuk diri sendiri. Perlahan aku melupakan apa yang bersarang di dalam organ-organ hidupku. Aku membiasakan diri untuk menjalani hari-hari dengan membaca, menonton televisi, dan menjelajahi dunia lewat internet.
Cinta hadir bersama kata-kata yang hadir melalui bunga-bunga. Tak ada yang aku nanti selain kedatangan buket-buket bunga. Diharumnya terselip kata-kata yang dituliskan pengirimkan sebagai pesan singkat. Terkadang aku meresapi kata-kata yang hadir dengan begitu puitis. Entahlah yang aku nanti hanyalah kedatangan pengirimnya, entah itu esok, lusa, atau kapanpun akan aku tunggu.
Tiba-tiba aku ingin melihat matahari senja di tepi pantai dengan hembusan angin yang akan menyegarkan kulitku. Menyibakkan rambutku dan, menawarkan aroma air laut yang asin. Aku begitu ingin merasakan hagatnya udara sore dengan camar laut dan gemerisik pasir putih yang terinjak-injak. Aku ingin semua itu dan ingin, hanya ingin.
Tak apa lanskap laut itu hanya membayang dalam ingatanku sampai suasana itu membekas pada mimpi-mimpiku. Hari-hari berselang dan hanya dunia maya yang kugenggam sampai saatnya aku muak dengan semua itu. Tiba-tiba saja tak ada yang dapat aku lakukan. Hanya terbaring dan terbaring. Hari ini mawar kuning terkirim dan yang kucari secarik kertas yang lama tak kujumpai.
Kutemukan kertas kecil berwarna merah muda. Laut tenang akan menjadi latar perjumpaan kita. Matahari senja akan kita pandang bersama. Aku nanti kau disana saat matahari terbenam. Setelah membaca itu apa yang kulakukan adalah menanti datangnya senja yang tenang.
Tidak jauh dari belakang rumahku, terdapat ceruk kecil yang indah. Orang-orang di sekitar tempat itu menyebutnya Laut. Walaupun kecil siapa saja yang datang sore hari akan dapat menikmati sajian alam yang begitu alami. Matahari yang terbenam dengan siluet merah dan keemasan. Senja merah yang magenta dapat terlihat dengan indah bahkan terlalu indah bagi sepasang mata yang penuh dosa. Semilir angin yang dingin akan membuat siapapun terlena, apalagi gemuruh ombak kecil yang menyejukkan telinga.
Aku mencoba mengarahkan pandanganku ke berbagai sudut. Aku ingin menemui sosok yang selalu mengirimkan bunga-bunga cantik setiap pekannya. Sosok yang sepertinya telah menancap dalam ingatanku. Lama aku menunggu, tapi tak juga aku temukan. Waktu terus bergulir, dan langit yang aku pandangi semakin merah. Mencoba berjalan mencapai kaki langit yang tak tergapai tapi sosok itu tetap tidak aku temukan.
Ada jejak langkah baru di pesisir. Aku mengikuti dan sampai pada karang hitam penuh lumut. Jejak itu hilang dan kutemukan mawar merah tanpa duri. Aku yakin sosok itu hadir diantara kebisuan Laut. Aku temukan pesan singkat yang mengecewakan. Belum saatnya kita bertemu. Nikmati senjamu dengan wamar ini. Karena saat kau menikmati senja yang merah aku tengah mereguk aroma tubuhmu. Aku hirup dalam-dalam wangi terbawa angin. Lama aku memandangi senja dengan dinginnya.
Aku harus meninggalkan ceruk yang semakin dingin. Tubuhku yang rapuh ini tak mungkin dapat bertahan lama dengan alam. Sosok yang aku incar belum dapat aku temui sekarang ini. Tapi harapan besar menanti ketika mawar merah ini menawarkan kerinduan yang panjang.
Sesampai di rumah aku diam dibalik jendela menatap malam yang menghampiri. Diam dan diam. Tak ada air mata hanya pesan yang tertangkap dan aku menuliskan pesan itu dalam relung hatiku. Malam akhirnya menjadi raja saat ini. Bagaimana hatimu yang menanti esok. Disini bintang tercerah berkat hadirmu, semoga kaupun begitu. Aku terlelap dengan senyuman bulan malam. Tak ada yang dinanti selain kedatangan sosok yang aku tunggu.
*
Matahari semakin tua dan mulai kelelahan menyinari bumi. Terbukti dengan perubahan cuaca yang tidak seimbang. Mawar itu tak juga layu, tetap segar dalam vas kaca. Matahari sepertinya bosan dengan tugasnya, sebagai sumber cahaya terbesar semua nyawa di bumi berharap padanya. Apalagi penghujan masih jauh di ujung tahun. Setiap hari cahaya yang ditumpahkan matahari pada tanah-tanah di bumi semakin berkurang. Beberapa peristiwa alam yang tak biasa menimpa bumi. Titik hitam semakin melebar di permukaan bintang yang memancarkan cahayanya sendiri itu. Violet semakin menipis dan korona matahari melebar mendinginkan suhu bumi. Dan apa yang terjadi pada bumi, semua menjadi takut akan kematian. Titik hitam matahari itu memiliki suhu 1000-1500 lebih dingin dari daerah sekitar matahari. Gurat-gurat magnet yang melingkupi matahari menyentuh lapisan bumi di angkasa. Angin pun berubah haluan, dan peri-peri cinta pun berbalik dari bumi menuju angkasa yang semakin dingin.
*
Kembali aku harus merutiki tubuh yang semakin rapuh. Menguatkan diri dengan senyuman-senyuman manis setiap pelayat yang menemani sakitku. Aku dengar dari mereka bahwa bumi dilanda kegelapan. Juga dingin yang beranjak meninggalkan kutub dan beralih pada daerah tropis.
Telah lama aku terbaring menunggu datangnya ajal. Tak sempat lagi aku membacai setiap pesan yang terselip diantara kiriman bunga. Hanya pendengaran yang menjadi hidupku yang tak lama lagi. Mataku telah mengatup dan aku sedang melayang-layang mencari kepastian pada setiap tutur yang diucapkan orang-orang.
Malam hari semuanya beku, tak ada lagi desah nafas yang terdengar. Hanya saja udara yang berputar di ubun-ubunku. Dan titik-titik hitam mengakhiri hidupku yang rapuh. Maka aku dengar seseorang membaca pesan terakhir dari bunga yang terkirim. Ini bunga terakhir yang kuberi padamu gadis rapuh. Kau telah jatuh pada pangkuan peri-peri yang membawakan cinta. Berbahagialah karena kau tak sempat melihat bumi gelap. Terselubung korona yang membadai.
***