Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Benarkah suratkabar Soenting Melajoe, terbit pertama kali 10 Juli 1912, sebagai perintis suratkabar perempuan? Adakah fakta sejarah yang mendukung bahwa perintis suratkabar perempuan adalah Roehana Koeddoes? Menempatkan Soenting Melajoe sebagai suratkabar pertama untuk perempuan jelas merupakan penafikan sumbangan suratkabar sejenis yang beredar sebelum itu. Sebagai catatan sejarah, ia perlu diluruskan. Bagaimanapun, ada sejumah fakta yang terlewatkan.
***
Perkenalan dengan alat cetak yang dibawa orang Inggris dan Belanda awal abad ke-17, telah dimanfaatkan orang Belanda, Indo-Eropa dan Tionghoa untuk bisnis percetakan dan penerbitan. Bahasa Melayu yang relatif lebih dikenal luas masyarakat Nusantara menjadi pilihan bahasa yang digunakan untuk produk penerbitannya. Di beberapa kota di Jawa dan Sumatera, terbit suratkabar dan majalah berbahasa Melayu. Di Jakarta saja, waktu itu, ada sekitar 20-an suratkabar dan majalah berbahasa Melayu.
Menjelang pergantian abad ke-19, kesemarakan bisnis penerbitan, berdampak sangat luas. Masyarakat makin banyak yang bisa baca-tulis. Bersamaan dengan itu, adanya perubahan kebijaksanaan Belanda di tanah jajahan, telah mendorong pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah. Makin bertambahlah orang yang pandai baca-tulis. Di situlah, bisnis penerbitan seperti mendapat lahan subur.
Dalam suasana demikian, beberapa orang pribumi yang sekolah di Belanda atau yang baru kembali ke Tanah Air, mulai menyadari pentingnya peranan pers. Inilah salah satu faktor tumbuhnya kesadaran di kalangan kaum terpelajar kita, untuk juga terjun di bidang percetakan dan penerbitan. Lahirlah pers pribumi, yaitu usaha penerbitan surat kabar atau majalah yang dikelola dan dibiayai pribumi sendiri. Bahasa yang digunakannya kebanyakan bahasa Melayu, meskipun ada pula yang berbahasa daerah.
Salah satu suratkabar yang menonjol waktu itu adalah Soenda Berita. Berkala mingguan ini terbit pertama kali di Cianjur, Februari 1903. Pengelolanya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Biaya penerbitan dibantu Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradirdja. Komentar Takashi Shiraisi (1997): ?Inilah suratkabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh orang bumiputra.? Itulah awal lahirnya pers nasional.
Setelah Soenda Berita memperoleh kemajuan dan kantornya pindah ke Betawi, Tirto Adhi Soerjo mengembangkan sayap usahanya. Terbit kemudian sedikitnya 10 suratkabar dan majalah, dua di antaranya yang menonjol, Medan Priyayi (Januari 1907) dan Poetri Hindia (1 Juli 1908). Poetri Hindia inilah, suratkabar pertama khusus wanita yang terbit di Nusantara. Di bawah nama Poetri Hindia tertulis: ?Soerat Kabar dan Advertentie boeat Istri – Hindia?.
Bahwa Poetri Hindia terbit sebagai suratkabar pertama yang dikelola dan khusus ditujukan untuk pembaca wanita, tentu saja ada faktor yang melatarbelakanginya. Pada tahun 1878, misalnya, telah terbit Insulinde. Berkala mingguan yang diterbitkan Kolff ini, secara tegas mencantumkan subjudulnya: ?Weekblad voor Nederlandse Inlandsche Vrouwen en Meisjes.? Tirto Adhi Soerjo dalam Soenda Berita, juga memberi ruang yang begitu luas bagi pembaca wanita. Sebuah artikel berjudul ?Pelajaran buat Perempuan Bumiputera? yang dimuat secara berturut-turut dalam Soenda Berita No. 20?23, Tahun II, 1904 menunjukkan perhatian para pengelolanya dalam usaha mengangkat dan memberdayakan kaum wanita.
Pemimpin usaha Poetri Hindia, Tirto Adhi Soerjo dan Tirtokoesoemo (Bupati Karang Anyar). Tetapi pemimpin redaksi dan redaksinya, kecuali Laura Staal ?sejak 15 April 1910 diganti J. Binkhorst-Martel, hampir semua dipegang para istri pejabat berbagai daerah, seperti R.A. Tjokro Adi Koesoemo (Cianjur), R.A. Soehito Tirtokoesoemo (Karang Anyar), R.A. Hendraningrat (Tanggerang), R.A. Fatimah dan R.A. Arsad (Jakarta), S.N.N. Salim (Kotagadang), R.A. Siti Habiba (Bogor), R. Sinta Mariana (Cilegon), R.A. Mangkoedimedjo (Yogyakarta), Prince Fatima (Bacan), R.A. Tirtoadiwinoto (Ponorogo), R.A. Pronggowinoto (Rembang), Soeida (Makasar), R.A. Soetanandika (Ciamis), R.A. Gandaatmadja (Bandung).
Keterlibatan para istri pejabat dari berbagai daerah itu sekaligus memperlihatkan besarnya pengaruh dan luasnya jangkauan peredaran suratkabar itu. Surat-surat pembaca yang datang dari pelosok Tanah Air, juga merupakan bukti mengenai itu. Isinya, selain sambutan antusiasme atas terbitnya Poetri Hindia, juga hasrat mereka untuk mengirimkan tulisannya. Mereka sadar pentingnya wanita Indonesia mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan.
Dari sejumlah nama tadi, beberapa di antaranya, justru sudah dikenal sebagai penulis. R.A. Hendraningrat yang nama aslinya Raden Roso Siti Haerani, misalnya, mula-mula menulis dalam bahasa Belanda. Setelah menikah dengan Asisten Wedana Teluknaga, Tanggerang, ia banyak menulis untuk Poetri Hindia. Sejak 15 Februari 1909, wanita yang pernah bekerja sebagai klerk di Departement Onderwijs dan memperoleh persamaan hak sebagai bangsa Eropa itu, diangkat sebagai Hoofdredactrices. Raden Ajoe Soehito Tirtokoesoemo, termasuk penulis yang produktif. Sebagai guru sekolah gadis di Karanganyar, ia sangat menyadari pentingnya kaum perempuan mengungkapkan gagasannya lewat media massa. Raden Ajoe Siti Habiba juga dikenal sebagai penulis berkat bimbingan suaminya, Tirto Adhi Soerjo.
Sebagian besar tulisan dalam Poetri Hindia, di samping menyajikan berbagai berita yang terjadi pada masa itu, juga memperlihatkan titik tekan pada usaha penyadaran pada pentingnya mengangkat harkat dan kemajuan wanita Indonesia. Oleh karena itu, harus disingkirkan adat-istiadat yang membelenggu. Maka, pendidikan (sekolah) sebagai langkah yang mutlak dilakukan kaum wanita, agar terhindar dari kebodohan dan keterbelakangan. Meskipun persoalan adat-istiadat yang mengekang dan pendidikan bagi kaum wanita mendapat sorotan, beberapa tulisan lain berisi imbauan untuk tidak meninggalkan fitrah kewanitaan, kewajiban menjaga kehormatan dan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Sebagai suratkabar wanita pertama berbahasa Melayu yang dikelola pribumi, jelas Poetri Hindia memperlihatkan kontribusinya yang luar biasa. Ia tidak hanya menyemaikan ide-ide pembaruan dan kemajuan bagi wanita di negeri ini, tetapi juga mendorong kaumnya untuk tidak terkungkung dalam kehidupan rumah tangga. Sejumlah tulisan bahkan berisi desakan agar kaum wanita terlibat aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, pendidikan, dan organisasi sosial. Dalam usia Poetri Hindia yang relatif singkat (1908–1913) itu, ia sungguh telah menempatkan kehadirannya sebagai perintis. Dari sana, lahir para penulis wanita. Belakangan, mereka ikut menyemarakkan suratkabar atau majalah sejenis yang terbit kemudian.
***
Tanggal 10 Juli 1912, di Padang terbit suratkabar Soenting Melajoe yang dipimpin Roehana Koeddoes. Jelas di sini, bahwa Soenting Melajoe, bukan koran pertama yang sasaran pembacanya khusus wanita. Dengan begitu, Roehana Koeddoes bukan pula perintis suratkabar atau majalah wanita. Bulan Oktober 1912, di Brebes, Jawa Tengah, terbit pula majalah dwimingguan wanita, bertajuk Wanito Sworo. Majalah yang dicetak Boedi Karja, Kediri itu, berukuran 12 X 20 cm, dengan tebal antara 14–16 halaman. Redaksi terdiri dari empat orang. Dua pria: Ngabei Basah Roewio Darmobroto dan M.B. Padmodihardjo dan dua wanita: R.A. Sabingoe dan R.A. Siti Soendari. Sampai edisi No. 9, Th. III, Juni 1914, susunan redaksinya tidak mengalami perubahan, sama seperti rubrikasinya yang mempertahankan bentuk semula.
Selain Siti Soendari yang dikenal sebagai penulis Poetri Hindia, penulis wanita lainnya yang karyanya dimuat Wanito Sworo, antara lain, Siti Hendoen Zaenaboen, Soeratoen, Rr Oenoen Andiloen, R.A. Latip, Rr Soelastri, dan Soemirah Margolelo. Senada dengan Poetri Hindia, berbagai tulisan dalam Wanito Sworo selalu menekankan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan keharusan wanita memperoleh kemajuan. Yang menarik adalah adanya beberapa artikel yang mengangkat kemajuan yang dicapai wanita di negara-negara lain.
Suratkabar lain yang juga ditujukan khusus wanita adalah Poetri-Mardika, terbit 1 April 1914. Subjudulnya berbunyi: Soerat kabar memperhatikan pihak perampoean boemi poetra di Insulinde, di kaloearkan tiap-tiap boelan sekali, oleh perhimpoenan Poetri-Mardika, dan di berikan pertjoema pada anggota-anggotanja.? Mulanya, suratkabar ini memang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar-anggota organisasi Poetri Mardika, sebuah organisasi wanita yang dibentuk tahun 1912 atas prakarsa para anggota Budi Utomo Cabang Jakarta. Belakangan setelah banyak tanggapan, ia meluaskan jangkauan pembacanya.
Dari sejumlah tulisan yang dimuat media itu, tampak bahwa pembacanya mencapai berbagai pelosok tanah air. Tulisan-tulisan yang dikirim itu ada yang berbahasa daerah, Melayu, Inggris, dan Belanda. Tetapi redaksi hanya menerjemahkan yang berbahasa daerah dan Inggris. Lalu, bagaimana misi majalah ini? Kutipan dari sebuah artikel yang dimuat Poetri-Mardika, No. 12, Th. II, 1916, berikut ini memperlihatkan hal tersebut: ?… Soedah moelai dalam congres permoelaan berdirinja B.O. (Boedi Oetomo) para boediman inget pada hidupnja fehak perampoean jang moesti diobah djoega dan diganti alamnja. Tida tjoema fehak lelaki sadja, tetapi djoga fehak perampoean haroes bersama sama menoentoet ilmoe, jaitoe jang mendjadi piranti pertamakali boeat sendjata goena njampoernakan peroebahan alam tadi.?
Sebagian besar tulisan, berisi anjuran tentang pentingnya pendidikan bagi kaum wanita. Bahkan organisasi Poetri-Mardika juga menawarkan beasiswa untuk tujuh orang wanita yang hendak bersekolah di HBS dan sekolah pemerintah lainnya. Penekanan pada pentingnya pendidikan bagi wanita, diungkapkan R. Ajoe Katidjah Abdoerachman dengan imbauan agar anak perempuan tidak cepat kawin: ?Kami akan gembira dengan seloeroeh hati kami djika anak anak prempoean dilarang oentoek kawin di bawah oemoer delapan belas tahoen….?
Februari 1918 redaksi Poetri-Mardika dibagi dua, yaitu redaksi berbahasa Melayu dan Belanda. Tetapi sejak Januari 1920, format susunan redaksi, termasuk isinya, semua berbahasa Belanda. Selepas itu, Poetri-Mardika tidak jelas lagi nasibnya.
***
Selain Poetri Hindia, Wanito Sworo, dan Poetri-Mardika, masih ada lebih dari 13-an media cetak wanita yang terbit pada dua dasawarsa abad XX. Media cetak itu, di antaranya, Panoentoen Istri (Bandung, 1918), Soeara Perempoean (Padang, 1918), Estri Oetomo (Semarang, ?), Perempoean Bergerak (Medan, 1919), Djuaharah (Fort de Kock, 1922), Doenia Isteri (Weltevreden, 1922), Istri Merdeka (Bandung, 1923), Barisan Istri (Bandung, 1925), Koemandang (Malang, 1925), Soeara Aisjijah (Yogyakarta, 1925), Alsjarq (Padang, 1928), Istri Soesila (Solo, 1928), Wasita (Yogyakarta, 1928), Doenia Istri (Surabaya, 1928).
Penelitian yang dilakukan Maman S. Mahayana (2000) terhadap sejumlah suratkabar dan majalah wanita itu, menyimpulkan bahwa sumbangan besar media wanita itu adalah lahirnya begitu banyak penulis wanita yang berasal dari berbagai daerah dengan profesi yang beragam. Sebagian besar tulisan mereka menekankan pentingnya pendidikan sebagai pintu gerbang memasuki kemajuan. Sebagian lainnya mengimbau agar adat-istiadat yang merugikan kaum perempuan, disingkirkan. Ringkasnya, media khusus wanita itu telah dimanfaatkan para pengelolanya untuk menyebarkan ide-ide emansipasi yang ternyata berhasil sangat efektif!
Sesungguhnya, masih banyak hal menarik yang terdapat dalam suratkabar dan majalah wanita itu yang belum terungkapkan. Itulah tugas para peneliti untuk menempatkannya secara wajar dan menggalinya lebih jauh lagi.
*) Pengajar FIB-UI, Depok.