Kubunuh Kau Berulang-ulang

Benny Benke
kompas.com

Satu

MENGAPA kau bunuh putri semata wayangku. Tidakkah kau tau, dia adalah satu-satunya harta yang aku miliki di dunia ini. Satu-satunya alasan mengapa aku masih dan bisa bertahan untuk hidup. Mengapa dengan segala kebiadaban kau renggut dia dari kehidupanku. Tidakkah kau sedikit saja mempunyai peri kemanusiaan.

Akan aku balas atas semua yang telah kau lakukan kepada putriku, kepada hidupku. Aku akan membunuhmu secara pelan-pelan. Pelan sekali, supaya kau juga bisa merasakan betapa perihnya hidupku ini. Aku akan mencari cara yang paling keji, sebelum menyudahimu, sebagaimana telah kau sudahi riwayat putriku.

Akan kubunuh dirimu berulang-ulang. Akan aku kupas jantungmu, dan kucari rumah kekejianmu, sebelum kukunyah dan kumuntahkan lagi ke wajahmu. Ingat itu, bawa dendamu ke akerat. Bahkan tidak sabar akan aku songsong hantumu. Kalau diperlukan, bawa tuhanmu di hadapanku, aku tidak akan gentar sedikitpun menghadapinya. Tidak setitikpun.

Setelah kematian putri semata wayangku, karena kekejianmu, tidak ada lagi ruang ketakutan yang tersisa di hatiku. Nyaliku telah penuh oleh dendam sekarang, karena polahmu. Dan tuhanmu, aku kira sudah tidak mendulikan lagi keberadaanmu. Kalaupun tuhanmu masih ada untukmu, aku tidak perduli lagi. Paling tidak, aku pastikan dia tidak lagi di sini, untuk saat ini. Jadi, bersiaplah menyongsong siksaan yang akan aku derakan secara saksama padamu.

Ajalmu akan aku cabut, sebelum aku kembalikan lagi ke ragamu, agar tersendat-sendat hidup matimu. Begitu seterusnya. Berulang-ulang sampai puas hatiku. Dengan begitu, kau akan merasakan kesakitan yang sekarang aku rasakan.

Demikianlah dendam seharusnya ditegakkan. Ini bukan sekadar masalah “mata untuk mata”, lebih dari itu. Ini dendam yang tidak akan pernah terjelaskan oleh akal manusia manapun. Karena yang aku hadapi juga bukan manusia.

Karena hatimu sejatinya lebih pekat dari malam yang paling gulita sekalipun. Jadi, aku tidak perlu tahu lagi alasan mengapa kau menyudahi hidup putri semata wayangku. Toh dia sudah mati. Dan kau atau aku, tidak akan pernah bisa menghidupkannya lagi.

Tidakkah kau tahu, sejak kematian istriku, hidupku hanya aku bhakti dan dharmakan untuk putri semata wayangku?.yang sekarang?., ah sudahlah?, persiapkan dirimu. Karena aku akan menjelma malaikat maut yang tidak mungkin dapat kautawar lagi, sebagaimana telah kautawarkan kematian kepada putri semata wayangku. Mentariku satu-satunya, anakku satu-satunya yang harus kausongsongkan maut hanya lantaran dia tidak mempunyai daya melindungi dirinya sendiri.

Selamat datang dalam dunia kesakitan, dalam ruang dendam, akan aku paksa kau masuk ke ceruk hatiku yang paling gelap, yang paling tidak bertuan, yang bahkan tuhan aku kira sudah enggan datang lagi di dalamnya.

Akan aku paksa dirimu merasakan kematian yang lebih mengerikan, daripada kematian yang telah kaupaksakan kepada putri semata wayangku. Harta satu-satunya dalam hidupku, yang telah engkau rampok dari hidupku. Selamat datang ke-ge-la-pan?.Akan aku bunuh tuhanmu!

Dua

Maka, sejak saat itu, deraan yang harus ditanggung Murtado sangat tidak terperikan. Semua tulang persendian di tubuhnya dihantam benda tumpul untuk mematah dan memutuskan pertautannya. Yang ada memang hanya lebam. Di lengan, siku, pingggul dan dengkul, juga tulang belakang.

Nyaris tidak ada darah yang tumpah, tapi kesakitan yang harus dia terima, sangat-sangat tidak tertanggungkan. Bahkan teriakan sudah tidak mampu disuarakan. Jeritan telah sirna, erangan tinggal kenangan, ratapan entah telah pulang ke mana? Kesakitan telah menunjukkan wajahnya yang sebenarnya. Diam yang mematikan. Hening yang merajam.

Hebatnya, Murtado seperti telah lama berkarib dengan segala jenis kesakitan, sehingga seolah, ketika kesakitan bertandang ke arahnya, dalam bentuk apa saja, dia sudah tidak gagap juga kikuk menghadapinya. Kesakitan sepertinya malah sudah enggan menghampirinya, karena sudah terlalu sering ia bersentuhan dengan lara lapa jalan nasibnya.

Bahkan pada titik tertentu, kesakitan justru dibuat gentar olehnya. Sebagaimana api yang tidak pernah mampu membuat panas Nabi Ibrahim AS, kesakitan dan deraan yang ditimpakan kepada Murtado, terlebih dahulu permisi kepadanya, kulunowon menyapanya, sebelum menghampiri dan datang baik-baik menyentuh dengan wajah lembutnya.

Secara kasat mata, dalam pandangan Kala, ayah almarhum Sita Yang Terjaga, yang tumpas di tangan Murtado atas alasan entah, kesakitan yang telah dia derakan sudah sangat tidak terkira. Manusia yang paling laknat nan biadab sekalipun pasti akan menyerah dibuatnya. Tapi entah mengapa, semakin deraan dia jejal dan paksakan dalam raga seteru nomor satunya itu, Murtado seolah malah menemukan rumah kesejatiannya; kesakitan yang mendamba.

Untuk alasan itu, senyum ia pulas di parasnya. Yang tampan tak, jelek tak. Meski air mata pelan-pelan menari di pipinya, tapi senyum entah lewat jalan mana, malah memulas manis di parasnya. Yang sejatinya, menanggungkan kesakitan, yang galibnya jika ditanggungkan manusia biasa tidak akan pernah mampu memikulnya.
Murtado adalah perkecualian.

Dia memang kejam. Bahkan sangat berkarib dengan kekejaman sejak di dalam kandungan ibunya. Yang mati, tepat setelah melahirkannya ke dunia ini. Sejak bayi, Murtado sepertinya sudah dipinang ibu kekejaman untuk menjadi laknat bagi siapapun yang bersentuhan dengan jalan hidupnya. Siapapun. Tidak perduli menteri Agama yang paling alim, ulama yang paling hanif, atau para bijak bestari yang paling unggul budinya.

Siapa saja yang bersentuhan dengan jalan hidupnya, bahkan Raja atau Punggawa yang paling terjaga dari kawalan para ksatria terlatih sekalipun, dijamin bakal sirna riwayatnya. Mampus dengan berbagai cara. Dari cara yang paling logis, sampai yang paling absurd. Pokoknya mati.

Mengapa bisa begitu? Entah. Kalian pasti maklum saudara-saudaraku, terlalu banyak kejadian dalam hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dan terjelaskan. Lebih fiksi dari film yang paling fiksi sekalipun. Dan fenomena Murtado adalah masuk dalam kriteria itu. Tidak terjelaskan. Sebagaimana para cendekia melempar olok-olok lebih dahulu mana antara ayam dan telur. Tapi, mahkhluk yang satu ini, lebih kompleks dari sekedar anak ayam atau telor sekalipun.

Tiga

Jalan nasib Murtado, sangat dipercaya banyak kalangan, di kalangan pemikir agama tentu saja, sudah ditakdirkan menjadi kejam nan biadab, jauh sejak sebelum di alam kandungan ibunya. Di Lauful Machfudz, oroknya sangat dipercaya sudah diba?iat untuk menjalani semua lakon yang sudah digariskan padanya 50.000 tahun sebelum penciptaan alam semesta. Sekaligus berkah yang akan diterimanya, yaitu berkarib dengan segala kesakitan, penderitaan dan deraan hidup yang sangat tidak mungkin ditanggungkan kepada manusia kebanyakan.

Nah, sangat tidak mengherankan pula, ketika sejak bayi, ia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ibu sudah mati dalam persalinan yang apa adanya. Sementara romonya entah siapa? Sanak kadang? Halo?., dia hanya sebatang kara bos. Tidak seperti nasib saya atau Anda yang cenderung berwarna dan bisa dirayakan saban hari dengan cara apa saja. Dari cara yang paling terhormat, sampai cara yang paling hina sekalipun.

Sedangkan nasib Murtado kita ini. Kita? Ah, tidak penting apakah Anda bersepakat dengan saya atau tidak, sehingga saya lancang berani mengkitakan sidang pembaca, yang seolah bersepakat dengan saya. Intinya, tidak akan ada yang pernah bisa benar-benar bisa menceritakannya dengan cara yang paling naratif sekalipun jalan hidup Murtado al Laknatullah ini.

Sebagaimana aku tuliskan di muka, dia adalah perkecualian. Dan dia tahu itu sejak kali pertama sudah bisa membau lewat hidung, melihat via mata, merasa lewat kulit, mengecap via lidah dan mendengar lewat telinga. Terlebih ketika dia sudah mulai mampu menggunakan akal pikirannya dengan baik. Dengan baik? Siapa yang benar-benar sanggup menggunakan dan mengoptimalkan akal pikiran dengan sepatutnya atau dengan baik?

Bagi Murtado, sejak ia mulai bisa berpikir, hal yang paling utama ingin diwujudkannya adalah membunuh. Dengan melakukan pembunuhan, pikirnya ketika masih sangat balita, maka keceriaan yang akan didapatkan. Adakah hal lain yang lebih menggembirakannya kecuali mewujudkan keceriaan? Yaitu dengan melakukan pembunuhan? Dari membunuh semut, nyamuk, coro, kupu-kupu, kinjeng, dan lelebahan yang lain, keceriaan ia dapatkan dalam hidupnya.

Maka sejak saat itu, di benaknya hanya ada satu asa banyak cita. Yakni akan terus melakukan pembunuhan, tanpa atau ada alasan sama sekali. Pokoknya membunuh, membunuh dan membunuh lagi. Kalau dalam sehari tidak membunuh, maka petir seolah bertandang ke rumah hatinya untuk membakar semua ruangannya.

Murtado sakit? Tidak sama sekali. Dia justru baik-baik saja. Dia tidak sakit. Yang sakit justru orang-orang di luar sana, yang gemar melakukan pembunuhan besar-besaran, yang kemudian dikatakan sebagai penaklukan. Sedangkan Murtado, yang membunuh karena tuntutan hidup, karena kebutuhan tingkat dasar, malah dikatakan laknatullah. Sedangkan zionis Israel yang telah membantai ribuan manusia tak berdosa di Palestina, yang sebagian besar perempuan, orang tua dan anak-anak tidak diapa-apakan, tuh.

Jadi, mari membunuh siapapun yang bisa dan dianggap pantas untuk dibunuh, yuk. Bahwa pada akhrinya aku akan terbunuh atau dibunuh oleh siapapun, atas balasan yang telah aku lakukan, demikian ujar Murtado kepada dirinya sendiri, itu bukan soal lagi. Sebab, jalan hidupku memang untuk membunuh, atau dibunuh.

“Membunuh siapa saja yang bersentuhan dengan jalan hidupku”. Siapapun. Tidak perduli menteri Agama yang paling alim, ulama yang paling hanif, atau para bijak bestari yang paling unggul budinya.

Siapa saja yang bersentuhan dengan jalan hidupku, pasti binasa. Bahkan Raja atau Punggawa yang paling terjaga dari kawalan para ksatria terlatih sekalipun, dijamin bakal sirna riwayatnya. Mampus dengan berbagai cara. Dari cara yang paling logis, sampai yang paling absurd. Pokoknya mati. Titik.

Empat

Hingga akhirnya, kematian juga yang menyudahi riwayat Murtado yang nyaris tidak terhentikan. Bukan kesakitan tak tertahankan yang dia khawatirkan atau takutkan. Pada usianya yang baru 19, dia merasa belum tumpah dan total dalam melakukan pembunuhan. Dia, sebagaimana dituliskannya dalam buku hariannya, yang akhirnya secara tidak sengaja dan ganjil sampai ke tanganku, sebenarnya ingin melakukan sejumlah pembunuhan serial kepada para pemimpin Israel.

Dan kalau diperlukan, menghabisi dengan cara yang paling tak terjelaskan kepada semua sanak kadang orang-orang penting di Partai Likud. Sehingga mengajarkan kepada para petinggi partai lainnya di sana, untuk tidak seenaknya menekan perdana menterinya, untuk kemudian menyerang Palestina, seenak udelnya, atas nama kepentingan politik zionis mereka.

Bahwa di Palestina Hamas dan Fatah tidak akur, Murtado tidak ambil pusing. Yang penting, ia ingin membunuh, dan kalau diperlukan, orang-orang Hamas bergaris keras, yang tidak begitu pandai dalam mensejahterkan rakyatnya sendiri, ia bunuh sekalian.

George W. Bush yang sebentar lagi pension? Ah, itu nggak masuk hitungan. Murtado terlalu sayang dengan kemampuannya dalam membinasakan orang. Yang sangat sayang disayang jika hanya dia pergunakan hanya untuk membunuh manusia serendah Bush yang sudah tidak berguna itu. Lebih baik, dia membunuh para petinggi Negara-negara Arab yang tidak tahu makna kata solidaritas Islam.

Ah, jangan kau beri kesempatan aku berpikir lagi, nanti bisa-bisa aku bunuh semua orang yang membaca riwayatku ini. Aku sudah cukup bahagia binasa di tangan ayah Sita Yang Terjaga. Kematian yang secara paksa dia tawarkan padaku, dengan cara yang paling tidak mengenakkan itu, ternyata justru telah menyelamatkanku.

Mungkin, sebagaimana kitab Lauful Machfudz yang sudah ditulis 50.000 tahun sebelum penciptaan alam semesta, cuma sampai di sini takdirku. Meski sejatinya masih banyak rencana-rencana besar pembunuhanku yang belum terlaksana.

Seperti membunuh para penyelenggara Negara di negeri ini, yang kerjanya saban hari mengakali rakyatnya sendiri, yang gemar mengatas namakan sesuatu yang semakin lama semakin menghina pola pikir kewajaran. Atau membunuhi para jaksa, pengacara, hakim, polisi, politisi, anggota dewan, atau siapa saja yang gemar mengangkangi dirinya sendiri atas nama, dan demi dua tiga keping rupiah?.

Atau memburu siapa saja dan membunuh siapa saja secara acak. Pokoknya membunuh, membunuh dan membunuh lagi. Bahkan membunuh tuhanmu pun, jadi.

Januari, 15. 09. Cibubur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *