Menelusuri Riwayat Tragedi Iblis

Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka, 17 Juni 2007

Fahrudin Nasrulloh

“Tak ada pencinta sejati selain Iblis.” Ungkapan Syekh Abdul Latief dari Sind ini terdengar ganjil dan rawan jika kita tak akrab menyelami riwayat tragis si biang mahajahat itu. Ihwal asal-usul nama Iblis dalam Kitab Leviticus (16:10) dikenal dengan sebutan Azazel yang berarti sejenis ruh laknat yang hidup di gurun mahaluas yang di dalamnya tidak ada kehidupan juga kematian. Kajian Iblisologi ini konon demikian dahsyat menyedot minat sejumlah sufi tersohor di masa silam. Dari sini pula salah satu cikal-bakal gerakan tasawuf menyebar ke segenap penjuru dunia. Sebut saja misalnya sederet mistikus bersama karya mereka: Ibnu Ghanim (Taflis Iblis); Al-Hallaj (Tawasin), Attar (Musibatnama, Lisanul Ghayb); ‘Ainul Qudhat (Tamhidat), Al-Junaid (Kitabul Fana’); Ibnu Munawar (Asrarul Tauhid); Al-Makki (Qut al-Qulub), Al-Baqli (Masrabul Arwah); Sana’i (Haqiqatul Haqiqah), Abu Nuaim (Hilyatul Auliya’); Ibnu Arabi (Ruhul Quds); hingga Iqbal di mana Hellmut Ritter kerap mengulas fenomena tragika Iblis dalam bebaris puisi Jãvidñama-nya.

Memang tak terhitung Hadits Rasulullah yang menyinggung tema yang enigmatik seputar Iblis. Salah satunya adalah penyebutan ketika Iblis menetaskan tujuh telur yang masing-masing berujud tujuh bocah Iblis sebagai balatentara terpilih yang berjuluk Mudahhish, Hasist, Zalanbur, Miswat, Dasim dan A’war. Mereka bersemayam di pasar, perempuan sundal, kamar mandi, puisi, dan tempat-tempat maksiat.

Ketujuh keturunan Iblis ini, menurut Al-Muhasibi, harus senantiasa diwaspadai dalam ruang tergelap kalbu manusia. Karena, sebagaimana diwejangkan Kanjeng Nabi, “Sesungguhnya Iblis itu melarutkan tipuliciknya dalam aliran darah manusia.” Legenda tentang Iblis yang bermuasal dari Al-Quran juga literatur Hadits selanjutnya menjadi topik sentral di mana benih-benih biografi Iblis meruah dalam pelbagai kajian. Di antaranya pada sekisar dramatisasi penolakan dan godaannya terhadap Adam dan Hawa juga para nabi sesudahnya.

Iblis yang riwayatnya pernah menggegerkan takhta akhirat itu tentu dicatat dengan tinta merah oleh kebanyankan kaum beriman sebagai musuh terbesar nan terkutuk. Namun sebaliknya, misteri pembangkangan dan selubung remang-senyap kepribadian Iblis justru menggelindingkan setampuk wacana diskursif bahwa pada dirinya sejak azali tersemat misteri lain yang menggelontorkan inklusivisme dan dialektika yang paradoksal dan, lantaran itu, menjadi kontroversial. “Dialah makhluk yang lebih bersifat monoteistik ketimbang Tuhan itu sendiri,” begitu komentar Iqbal seraya menirukan kegundahan Attar dalam kitabnya Mazharul Aja’ib.

Percampuhan dialektis tentang rahasia batin Iblis dalam psikologi kaum sufi ini juga dieksplorasi secara intensif oleh murid Annemarie Schimmel: Peter J. Awn, lewat bukunya Tragedi Setan: Iblis dalam Psikologi Sufi (Bentang: 2000, Yogyakarta). Dalam buku ini Peter coba memblejeti biografi Iblis hingga ke ranah ambiguitas paling rawan dan terkelam yang membikin gonjang-ganjing dimensi tauhid yang baku dan given. Karena begitu melimpah dan kompleksnya unggunan cerita Iblis dalam khazanah kesufian, sehingga kajian semacam ini memerlukan studi lanjut yang lebih teliti dan cermat.

Fokus dari kajian Iblisologi di atas berpusar pada pertarungan batin antara Iblis dengan terutama para sufi (juga para nabi) yang mengabadikan segenap hidupnya di jalan ketuhanan. Maka, pencapaian kesejatian fana’ dalam kontemplasi dialektis dengan Iblis menjadi titik tolak untuk mengasah mencambuk kedalaman batin mereka. Sumber referensi kaum sufi rata-rata berupa cuplikan kisah pengalaman yang terserak meruah dari banyak karya sufi. Seperti kisah tentang kegentaran Iblis ketika berhadapan dengan seorang sufi yang benar-benar telah menghayati kesejatian fana’ fil fana’. Ia-lah Ain al-Qudhat yang pernah melukiskan kembara batinnya dalam kisah maharingkas berikut: Saat kalbuku tiba-tiba disingkapkan oleh cahaya gaib Ilahi; kulihatlah ia berwajah gulana. Ia terbit dari sepercik cahaya gerhana matahari dan kudengar lolongannya terasa pahit menyayat yang meletus dari sedebu pasir kuning di mana aku saat itu lagi rebahan istirah. Ia berkata padaku, “Kau sedang merenungkan apa?” Kujawab, “Kematian selalu membayangi langkahku.” Tanyanya lagi, “Dengan cara apa kau mengatasinya?” Jawabku, “Aku saat ini hanya membutuhkan kain kafan.” Ia bertanya lagi, “Apakah kau tidak menginginkan keajaiban lain dari dunia ini?” Kujawab ia dengan agak jengkel, “Semua tanah yang kupijak adalah kuburanku. Hanya itulah keajaiban yang berharga bagiku.” Mendengar itu, dengan raut masam campur kesal, ia meninggalkanku begitu saja sambil menggerutu dalam hati; alangkah membosankannya manusia yang satu ini!

Cerita di atas, jika direnungi dalam kerangka psikologi sufi, bahwa kembara spiritual Ain al-Qudhat tidak bisa dibaikan begitu saja tanpa campur-tangan Iblis. Andaikata, tanpa perannya yang penuh muslihat itu, Ain al-Qudhat tak akan menemukan lika-liku peristiwa dan kecamuk batin sehingga kelak ia dapat mengungkai rahasia Tuhan dan ketersingkiran Iblis. Bahkan Al Hallaj justru mengakui tanpa tedeng aling-aling saat ia berkata dalam Tawasin-nya, “Guru spiritualku adalah Iblis dan Firaun.”

Iblis memang sosok cerdik nan fasih mendongengkan kabar tersamar ihwal tujuh ratus langkah menuju pencerahan makrifatullah. Di padang pengembaraan inilah para sufi menceburkan diri demi merengkuh cahaya Ilahi, meski masih samar adakah mereka benar-benar menemukan jalan yang benar. Siapa yang berani menyana jika Al-Hallaj atau Suhrawardi al-Maqtul termakan muslihat Iblis berupa kesombongan spiritual tatkala mereka merasa benar sebagai syahid sejati yang telah hulul dalam Tuhan? Hingga kini persoalan seputar wahdatul wujud semacam itu masih tetap krusial diberdebatkan.

Selanjutnya, dan ini yang lebih penting, bagaimana kaitan antara Tuhan sendiri dengan Iblis? Menurut R.C. Zaehner dalam Our Savage God (New York: Sheed&Ward, 1974), peran Iblis adalah sebagai instrumen Tuhan dalam celah-ceruk probabilitas amr dan iradah-Nya. Karena instrumen Iblis tak lain menebarkan penderitaan dan kerusakan, kendati semua tanggung-jawabnya terkembali pada Tuhan. Maka, pertanyaan yang muncul kemudian apakah Tuhan terlibat atas kebejatan yang dilahirkan Iblis? Tetapi mengapa Tuhan tidak mengendalikan Iblis dan mencegah penyebaran kejahatannya? Sebab, bagi Zaehner, masih ada kejahatan dalam hati Tuhan yang paling rahasia. Dia-lah Al-Rahman sekaligus saevus dues, Yang Maha Pengasih juga Yang Maha Kejam dan Penghancur yang menakutkan. Barangkali hanya segelintir orang yang sudi bergelut dengan sekian pertanyaan tentang keadilan Tuhan dan si Terkasih yang Terkutuk ini.

Lepas dari kecamuk pemikiran di atas, Iblis sejatinya, dalam kesadaran ambangnya itu, begitu pasrah memperuntukkan dirinya membanjiri roh manusia dengan kegelisahan dan kemungkaran tanpa memperhitungkan kutukan yang bakal menimpanya kelak. Namun yang perlu dicatat: dari jasa Iblislah derajat penghambaan sejati manusia terukir cemerlang dalam lanskap kronik spiritualisme Islam.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *