Cinta yang Sederhana
mutia sukma
ketika bumi ini terlelap dalam kesunyian abadi
aku masih terjaga menungguimu
ketika malam merangkak di pucuknya,
aku masih berkata-kata tentang cinta
bila hidup mengembalikan apa saja ke asal mula
aku masih saja merapal ingatan kepadamu
bahkan, malam pun serupa lantunan doa,
sebab cinta tak mengenal batas siang atau malam,
tidur atau jaga
maka, sempurnakanlah pejammu
sebab pada mimpi buruk sekali pun
akan kau temukan tanganku terulur kepadamu
cinta adalah yang bisa merapikan segalanya
dari dosa dan rahasia
ketika malam mengembalikanmu pada
kesucian paling purba
segala asal mula sedang digarap untukmu
ketika terbangunkan kau menjumpaiku
dengan seonggok kisah basi
maka itulan cinta, sepenggal kisah sederhana
sepanjang malam dan pagi harimu.
rumahlebah, 2007
Tentang Kata
penyair adalah malaikat-malaikat kecil
yang mengirimkan mimpi
dalam tidurmu yang paling buruk
di mana bayi-bayi iblis memerangkapmu
dalam balutan selimut dingin
sampai kau terkapar dan menemukan
pagi yang basah
dan puisi adalah persetubuhan keduanya
2007
Malam yang Muram
tak ada lagi yang ingin kubagi denganmu
segala rahasia cair tiba-tiba
ketika malam mencapai puncaknya
mungkinkah aku serupa bayi baru
yang belajar mengeja bentuk?
diam-diam
aku ingin menggenapkan kisah
yang rangkaiannya tak usai-usai
ingin kubagi sedikit saja padamu
sepenggal kecemasan yang menggantung
di dinding-dinding pucat, lengking sumbing
mural-mural yang mulai tenggelam
tapi aku ragu pada rasaku sendiri
pada pucuk malam ini
aku ingin serupa bayi yang bebas dari
kutuk dan caci-maki, tapi aku seperti
melihat rumah di ujung tembok
Oktober, 2006
Dongeng Sederhana Sepasang Pecinta
:ma
apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya, di musim hujan di aman jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu, kesepian akan membalutmu
setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta
rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah, ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung
petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan
tanah yang kita duka tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja, kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirakkan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri
leluhur tak lebih indah dari ini, yang berbeda hanya warna nasib saja, dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan
tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan
kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai, dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan
dan ras rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!
rumahlebah, 2007
Rumah yang Keras Kepala
inilah dunia, sayang
tempat laba-laba membangun sarang
dan makan di antaranya
begitu sederhana, tetapi alangkah
rumitnya. setiap kau melangkah
tidak mustahil bekas telapakmu
menjadi belukar yang menghitamkan
jenjang rumah. ada yang kehilangan
setiap kali kau meninggalkan rumah
diriku yang selalu keras kepala, lalu
mengagumi rumput di halaman
pohon-pohon yang tampak gagah,
jalanan basah dan bergairah,
pagar rumah yang tampak sempurna,
semak kenes dan tampak riang. kabut
yang serupa butiran hujan
jatuh di halaman tetangga.
ketika kau mengagumi tanah lain
sebagaimana rumah dan mengetuk dada
seseorang di sana lalu bersembunyi
di dalamnya, hidup ini semakin
perih, sayang. jauh lebih perih.
telah kukenakan seala yang aku punya
agar kau paham betapa miskinnya
aku, rumah yang sederhana tempat
kalian berebut tumbuh dan mengenal
banyak hal; tungku dan asap, tepian dan
akar pohon, rasa dingin dan kecemasan.
telah kulengkapi kemiskinanku agar kau
paham betapa sederhananya milikku ini.
cinta, barangkali akan bermula dari kasihan
dan berharap kau tak pernah pergi.
tapi inilah dunia, sayang
tempat segala kehilangan ditempatkan.
seperti rumah, seperti diriku yang keras kepala
tak pernah beranjak dari kesakitan dan
penantian.
takdir ibu dan seorang perempuan.
rumahlebah, 5 april 2007.