Zelfeni Wimra
http://www.riaupos.com/
Sebelum Mak Mondolani memergokiku tengah bingung di depan rumah kayu bersendi batu itu, aku baru saja kembali menyisir lereng bukit bersama seseorang yang bila kukenang membuat sendi-sendi tulang di tubuhku dialiri arus ngilu. Seseorang sejak hari itu tak pernah mau lagi bertemu denganku.
Kali terakhir itu, ia menemuiku di pinggir sungai dekat batu-batu sebesar kerbau bergelimpangan. Deru riam yang berhamburan dari hulu membuat pendengaranku terganggu saat menyimak penjelasannya. Untung yang mesti aku pahami darinya bukan kata-kata, tapi isyarat lewat gerekan jari tangan dan getar bibir delimanya.
Mula-mula ia menyalamiku. Hangat tangannya masuk ke pori-poriku menyapa semacam rasa rindu karena sudah lebih dua tahun tidak bertemu. Setelah kami bersitatap dalam ragam rasa, ia menunjukku diiringi dengan gerakan seperti orang menulis. Aku paham. Ia menanyakan kabar kuliahku. Ia mengangguk-angguk senang ketika aku mengacungkan jempol.
Ia tentu juga tahu, kalau aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di kota. Meski ketika terakhir bertemu dengannya, air wajahnya menyiratkan beragam tanya. Tapi aku tidak bisa memberi penjelasan lebih
lanjut tentang betapa harga ijazah S1 semakin tidak berarti lagi. Beatapa orang-orang terus berpacu memburu sertifikasi. Sekalipun aku jelaskan padanya dan ia mengerti, aku yakin ia tak akan merespon dengan bahagia. Sebab untuk pandai menulis saja, ia hanya belajar dengan anak tetangga sebaya dengannya. Itu pun hingga kini hanya pandai menulis nama sendiri dan berhitung Kabataku.
Kami saling diam. Aku memandangi bulu di ibu jari kakiku yang meliuk diraba arus sungai. Sedangkan dia, menusuk-nusk batu besar yang didudukinya dengan ranting mati. Gerenek sungai terus mengecipak. Perhatianku tertuju pada udang-udang kecil yang menyuruk ke celah kerikil di dasar sungai berair jenih itu. Aku tersentak ketika ia mencubit lenganku. Sejurus kemudian kudengar lagi suara rungunya. Kali ini aku kewalahan mencari pengertian. Tangannya berkali-kali membentuk garis segi tiga dan formasi kubus. Tak henti-henti pula ia menunjuk-nunjuk ke barisan batang surian yang tumbuh mengelilingi kebun orang tuanya yang terletak tidak jauh dari sungai itu. Selain surian, kebun tersebut juga ditumbuhi banio dan mahoni.
?Maaf. Aku tidak mengerti maksudmu,? aku menggeleng-geleng sambil mempertemukan kedua telapak tanganku di dada dan sedikit membungkuk padanya.
?Kita pulang saja,? ajakku sambil menunjuk jalan menuju perkampungan. Aku berharap, setibanya di rumah ada orang yang bisa membantu memberi penjelsan dari apa yang ingin ia sampaikan padaku.
Ia mengerti maksud ajakanku. Tapi ia tak putus-puus membuat garis kumis di bibirnya dan memegang titik anting di telinganya. Aku paham itu adalah simbol bagi ayah dan ibunya. Tapi ada apa dengan ayah dan ibunya? Yang aku tahu, ayah dan ibunya sudah lama di rantau. Seterusnya, aku tidak sempat lagi berpikir banyak. Sebab jalan setapak yang membujur seperti naga tidur di sisi tebing itu membuat kami mesti berjalan hati-hati. Sebagian aur yang tumbuh di sana sudah banyak yang ditebang. Kalau seandainya kami terjatuh, sudah barang tentu, kami disambut tunggul-tunggul aur yang runcing itu.
Langakahnya berhenti. Pada ngarai yang diterjuni sungai kecil kulihat sekawanan seriti melayang-layang. Sebentar- sebentar menukik menyambar ujung air terjun. Sejenak ia kulihat mencermati kabut tipis yang menyusup ke celah daun pinus. Kemudian, kabut itu terasa begitu dekat dengan kami, seakan menabrak kami.
?Mora,? aku sapa ia dengan menyebut namanya. Sebenarnya, aku tahu, apalah arti nama baginya. Memanggilnya tanpa cubitan tentu tidak bisa, kecuali benar-benar tengah berhadapan dengannya. Ia tetap diam, tidak putus-putus memandangi kabut.
Kami sepertinya sedang memikirkan hal yang sama. Menjenguk ingatan masa lalu. Bahwa di sini dulu, kami sering main layangan; bahwa antara dulu dan kini ternyata telah membentangkan cerita sepasang kawan masa kecil yang riang.
Di dekat sebatang pohon ambacang yang tumbuh di ngarai itu dulu kami sering bertemu, pagi-pagi, merunut buahnya yang jatuh malam hari. Lalu, kalau sedang ingin, kami menuruni ngarai itu hingga sampai di lubuk, persis di ujung air terjun yang memutih disambut batu. Kami pun mandi-mandi.
Aku lihat dia msih terpaku. Aku cubit lengannya dan membuat gerakan seperti angsa berenang ditambah dengan gerakan orang yang tengah menimba air dari bak mandi.
Ia menggeleng.
Selintas, ia lihat tubuhnya sendiri.
Aku terpukau.
Begitulah waktu berbuat.
Si bisu kerempeng dulu itu kini tampil di depanku dengan tubuh berisi dengan lekukan yang sempurna. Pemandangan ini yang menyentak kesadaranku akan beberapa alasan yang membuat kami tidak mungkin lagi mandi-mandi bersama. Dalam keterpukauan, ia meraih lenganku. Ada gigil di telapak tangannya. Aku kembali disengat rasa semacam rindu, atau entahlah yang membuat aku merasa sangat dekat dengannya. Ya, ketidakmungkinan selalu datang terlambat, terutama saat predikat dewasa terbeban di pundak. Sementara itu, suara rungunya terus mengiringi gerak tangannya membentuk garis segitiga dan formasi kubus. Aku masih tidak mengerti, apa yang ia maksud dengan isyarat itu.
Ia menangkap ketidakmengertianku. Lantas, genggaman tangannya perlahan pindah ke telapak tanganku. Jari manisku sampai terjepit dan terasa sakit ketika ia genggam dengan erat. Spontan ia berlari. Aku nyaris terjerembab. Untung cepat menguasai keseimbangan dan mengikuti dia berlari menembus ujung tikungan jalan yang disambut padang alang-alang. Ah. Seketika aku merasa seperti tengah berada dalam film India yang berlari bersama koloni penari latar yang tanpa motif yang logis mengerubungi kami dari balik semak dan alang-alang. Ketika sudah sampai di pinggir kampung, ibu-ibu yang sedang menjemur padi menatap heran ke arah kami. Ada yang terlihat menyembunyikan tawa dan ada pula yang terbahak-bahak.
Di depan rumah kayu yang semasa ia kecil ditempati bersama orang tuanya itu, ia berhenti berlari. Kami saling tatap dengan nafas tersengal. Ia menunjuk rumah yang posisinya sudah sedikit miring itu. Rumah bergaya semi panggung tersebut berdiri di atas empat batu sendi. Dua tiangnya sudah keropos sehingga membuat posisi rumah itu miring. Salah satu jendelanya terbuka begitu saja. Menandakan betapa rumah itu sudah lama tidak dihuni.
Untuk yang ke sekian kalinya, ia membuat garis kumis dan titik anting di telinganya. Kemudian matanya menerawang, menatap ke arah yang jauh. Dengan perlahan, ia meniru gerakan seorang sopir yang sedang mengendalikan stir.
Sebisa mungkin aku coba mencerna. Yang aku yakini, ia tengah berkeluh-kesah tentang pilihan orang tuanya pergi merantau. Sehingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal dan tak terawat lagi. Selalu tanah orang yang menggiurkan.
Aku dapat menyimpulkan ini melalui sorot matanya yang sayu. Keprihatinan yang tak terbahasakan oleh dia, seorang tuna rungu yang hingga usia 27 tahun masih harus menerima kesepian sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.
Sesungguhnya, masih banyak yang belum sepenuhnya aku pahami dari bahasa isyaratnya, padahal ia sudah sangat riunci menjelaskan segala yang terpendam dalam pikirannya. Selintas aku tersadarkan dari ketidaktahuanku. Sekalipun telah berstatus mahasiswa S2 psikologi, tetapi masih gagap memahami jalan pikiran sahabat sendiri.
Aku coba mengingat, sebelum pergi merantau, keluarga besar ibunya sempat memperseterukan status rumah kayu itu. Di tempat kami yang bersuku ke ibu, kaum perempuan adalah tempat kembalinya segala pusaka, termasuk tanah dan apa yang ada di atasnya. Singkatnya, rumah kayu itu pernah jadi sengketa.
Keluarga pihak ibunya termasuk keluarga yang rimbun. Atau istilah lain di kampung ini, keluarga yang subur dan ?pengembang?. Sebab, anggotanya lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Satu sisi ini menjadi kebanggaan bagi suku kami. Tapi di sisi lain ternyata menjadi ancaman. Ancaman itu terasa ketika anak perempuan yang banyak itu sudah dewasa dan sudah pantas besuami.
Jika orang tua masing-masing mereka tidak mampu secara bijak memperbesar rumah atau membuat rumah baru, paling mudah menimbulkan perselisihan antar anak. Sementara bila mereka disatukan saja di satu rumah, misalnya saja dalam keluarganya, ada enam anak perempuan, berarti rumah tersebut paling tidak terdapat enam kamar. Enam kepala keluarga satu dapur.
Hidup di hari-hari seperti sekarang, aku sendiri tidak yakin ada keluarga besar yang bisa menyatukan enam pasang suami istri dalam satu rumah. Bukan hanya hari ini, sejak dahulu orang pada dasarnya ingin punya rumah sendiri. Inilah barangkali yang membuat orang tuanya memilih merantau. Disusul kemudian oleh sanak keluarga yang lain hingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal.
Sementara itu, angka kelahiran anak perempuan di keluarganya entah karena apa pula makin tinggi dibanding anak laki-laki. Apakah ini pertanda tidak baik bagi kehidupan di suku kami?
Paling tidak demikianlah yang sedang melintas dipikirannya. Makanya aku mau saja ketika diajaknya jalan-jalan ke perkebunan milik orang tuanya. Singgah di sungai tempat kami biasa bermain dan mandi-mandi.
Cuma saja ketika ia membengkokkan telunjuk dan kelingkingnya seperti mata kail lalu menyatukannya seperti pertemuan dua mata rantai seraya membentuk garis setengah lingkaran di atas kepalanya, terus membuat gerakan seperti orang menimang bayi, aku tak bisa mencernanya dengan baik. Apalagi ia menunjuk-nunjuk aku dan dirinya. Saat bersamaan ia pun menunjuk rumah kayu bersendi batu itu.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku tak kunjung paham. Ia seperti mulai kesal terhadap kebodohanku yang tak kunjung paham terhadap apa yang dia maksud. Mungkin juga ia menyesal telah menyampaikan sesuatu yang paling penting dalam hidupnya kepada orang yang tidak mengerti. Padahal itu sangatlah rahasia baginya.
Dalam kegalauan itu, ia tiba-tiba berlari ke tengah perkampungan dan hilang di sela-sela rumah penduduk. Aku yakin, ia pergi ke rumah yang selama ini ia tinggali: sebuah rumah batu yang dibangunnya sendiri dari upah menjahit bordir. Aku bingung, tak tahu mau menahan dia dengan cara apa.
?Saya tahu apa yang dia maksud!? suara mak Mondolani mengejutkanku. Ternyata setelah memergoki kami, mak Mondo sengaja bersembunyi di belukar dan menyimak segala percakapan kami.
?Temui saya di rumah, nanti malam. Semua akan saya jelaskan nanti padamu,? ucapnya seraya berlalu memikul cangkul. Mak Mondolani tanmpaknya akan kembali ke sawah setelah istirahat siang.
Di rumah Mak Mondolani.
Ketidakmengertiankku perlahan terjawab. Sambil menyantap goreng pisang raja, aku dan mak Mondolani bercakap-cakap di ruang tamu.
?Beberapa bulan belakangan, Mora sering menanyakan kepulanganmu pada kami,? mak Mondo memulai pembicaraan. Kemudian kami saling diam, agak lama. Dalam pikiranku melintas tanya, ada apa dengan kepulanganku baginya?
?Apa yang tadi siang ia sampaikan padamu, telah pula ia beritahu pada kami,? imbuh Mak Mondo. ?Ia sangat prihatin dengan rumah kayu itu??
?Kaitannya dengan kepulanganku??
?Ia tahu kamu bersekolah tinggi. Jadi, ia ingin kamu bersedia??
?Memperbaiki rumah itu??
?Bukan cuma memperbaiki. Ia ingin minta bantuan kepada kamu tentang ketidakmengertiannya mengapa surian, banio, dan mahoni yang ia tanam di masa kecil itu tidak boleh ditebang oleh pemerintah. Padahal kayu-kayu itu, seperti kebiasaan kita, ditanam untuk memperbaiki rumah. Sekarang, bila ingin menggunakan kayu itu harus pakai izin!?
Penjelasan Mak Mondo membuat kami kembali saling diam.
?Yang tak kalah merisaukan kami adalah ketika ia terus terang mengatakan bahwa dirinya sudah ingin menempati rumah itu bersama orang yang mau jadi suaminya.?
?Itu bagus. Memang sudah saatnya ia punya suami.?
?Tapi, kamu harus tahu, siapa orang yang diidam-idamkannya jadi suami??
?Siapa??
?Kamu!?
?Astaga!?
?Semua orang juga kaget.?
?Siapa yang tidak akan kaget. Aku dan dia sesuku, Mak. Kami sama kemenakan Mamak, bukan? Adat kita jelas tegas melarangnya!?
?Ya. Itulah kerisauan yang saya maksud. Kami semua memang lalai, tidak pernah mengenalkan adat satu ini padanya. Sekarang, bagaimana cara memberi penjelasan agar ia mengerti kalau kawin sesuku itu tidak boleh? Kamu lihat sendiri tadi siang, ketika ia meniru gerakan orang menimang bayi. Sebenarnya ia mau menyampaikan bahwa ia sungguh ingin punya anak darimu dan hidup bahagia di rumah kayu itu.?
Untuk ke sekian kalinya kami saling diam. Kali ini sambil memilih serbuk goreng pisang raja dan mengunyah-ngunyahnya seperti mencerna kenyataan paling ganjil yang pernah aku dan barangkali juga mak Mondolani temui.***
Padang, 2007