cetak.kompas.com
Trinitas (3)
aku menghadap ke luar jendela, ke dahan dan rumputan
yang baru tumbuh, menumbuhkan kerinduan yang sengit
: aku menghadap kepadamu, tak bisa menjerit
udara adalah satu-satunya yang sebanding denganmu sore ini
yang menjadi nafasku meski ia diam atau menghambur
dan memperlihatkan dirinya pada pucuk-pucuk daun
betapa perasaan ini adalah tangan yang meremas hatiku keras-keras
sampai remuk dan berjatuhan di tubuh impian
yang selalu kupungut lagi, nyaris seperti daun-daun jatuh di pagi hari
Trinitas (7)
bangun, cintaku, bangun dan bukalah jendela kamarmu
bangun dan lihatlah matahari yang berjalan lambat dan hati-hati
bangun dan berjalanlah dengannya ke sebuah pintu gudang setengah terbuka
berdirilah di sana dan temukan seorang anak nakal dalam kegelapan
yang tersesat dan terhukum dan menangis karena matanya dibutakan
yang kecerobohannya menebarkan di mana-mana cinta yang gelap
bangun, cahayaku, bangun dan bukalah pintu itu lebar-lebar
angkat dan bawalah anak nakal itu di punggungmu
agar dia bisa menyusur dunia yang hilang, cinta yang gemilang, kembali
Trinitas (10)
barangkali kau tak akan pernah benar-benar melihat
nyawa pada setiap kata yang menggerakkan tanganku
atau airmata pada setiap huruf yang menyusunnya
hujan, hujan adalah impian sekarang
yang selalu kudengar derainya dalam tidur
tapi rumput yang kita tanam itu masih kering, kangmas
aku menyiraminya agar diriku terus hidup
dengan gemetar, berkeringat, seperti menunggu sebuah sajak
menyusup ke lubukku yang peragu.
***
Dina Oktaviani, lahir di Tanjungkarang 11 Oktober 1985. Banyak menulis puisi dan cerpen, yang dipublikasikan di berbagai media pusat dan daerah. Buku pertamanya, Como Un Sueto (Kumpulan cerpen-Orakel, 2005). Buku puisinya yang akan segera terbit, Biografi Kehilangan (Penerbit InsistPress, 2006). Kini menjadi editor pada BlockNotPoetry untuk BlockNotInstitute Yogyakarta.