Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

cetak.kompas.com

Boogie Woogie
untuk Umar Kayam

Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.

(2007)

Blues

Seperti sekuntum mawar Alabama, aku tidur di bawah kelopak matamu. Aku akan bangun bila sepucuk duri menyentuh bola mataku. Di tengah mimpi, sang kilat menerobos pintu kamar. “Di mana akarmu?” ia bertanya sambil melepas baju-hujannya. “Di sini,” aku menunjuk jantungku. Lalu ia menyobek selimutku yang merah secerlang darah. Ia pun terlelap di dalam sana. Seperti benih mawar. Ah, betapa beraneka kelopak mata yang melindungi kami. Jutaan kelopak api sampai kelopak es, yang segera berguguran ke dasar tidur kami. Sampai mawar-halilintar itu tumbuh subur melebihi wajahku sendiri. Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. Tapi aku segera terbangun, menguncup, menusuk bola matamu, sebelum akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.

(2007)

Kopi

Di tangan lelaki itu, kami coba bersabar.
Namun betapa cangkir ini gemetar
oleh tubuh kami, gairah kami
yang luas seperti langit Potosi.
Menuju kami wajah lelaki itu.
Kami akan naik ke mulut lelaki itu,
aku dan kembaranku,
aku dan seteruku:
kami akan berpisah selepas leher lelaki itu:
dia ke arah malam di usus besarnya
aku ke arah matahari di peparunya.
Tak sabar lidah lelaki itu.
Namaku arus kali atau bakal salju
sebelum lelaki itu merengkuh seteruku
yang lebih hitam dari pasir pesisir
dan lebih wangi dari lavender terakhir,
dan aku betina, bening. Betapa lelaki itu
mengaduk si serbuk jantan ke dalamku.
Oleh bahang lelaki itu, aku dan seteruku
seperti tak terpisahkan lagi, tetapi
di dasar cangkir, dia sekadar bayanganku,
dan di bibir cangkir, kembaranku.
Di bawah tatapan lelaki itu
kuajari dia melayang mencari terang.
Tapi menggelayuti seluruh tubuhku dia
membutakan mataku hanya.
Kukatakan pada dia, baiklah
kita akan berpisah (mungkin aku alah)
setelah menaklukkan lidah
lelaki itu. Tapi kami cuma bisa bertarung,
bersetubuh, (makin pahit), membubung
menghujani bentang koran pagi
yang terkulai di pangkuan lelaki itu.
Penderita insomnia lelaki itu.

(2007)

Fajar di Galena

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu. Berapa lama sudah kau terbangun? Seraya mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana, kau berkata kepada sebutir batu gamping di jalan setapak itu, “Mereka mencintaimu, sebab kau tak menderita insomnia.” Dengarlah, namaku matahari, aku perawat kuburan di tepi Mississippi, maka aku tak akan terkelabui oleh kata-katamu.

(2007)

Garam

Lautan jauh, terima kasih.
Meski kuhapus wajahmu
kaukirim keringatmu
ke piring putih ini.
Tukang jagal, terima kasih.
Meski kubekukan tanganmu
kauberi merah jantung
ke ujung pisau ini.
Asparaga, terima kasih.
Dengan juntai rambutmu
aku masih juga menampung
sungai darah ini.
Juru museum, terima kasih.
Dengan peta purbamu
aku berani menawan
lembu jantan Sinsinawa.
Kentang bakar, terima kasih.
Ke arah lambung birumu
aku mampu mengasah
taring serigala ini.
Prairie du Chien, terima kasih.
Kaupucatkan meja makanku
hingga aku betah memelihara
arang bara di kantung celana.
Susu masam, terima kasih.
Sebab kujilati cerminmu
kaukembarkan payudaraku
dengan aprikot jingga ini.
Peluh lautan, terima kasih.
Kausembunyikan Mississippi
agar aku mulai mengerat
lidah hangusku sendiri.

(2007)

Dua Belas Kilas Musim Gugur
untuk Sigit Haryoto

Pohon Mapel
Jingga pada ujung jemari.
Dari lingkar batang, urat nadi
pasrah mencari geletar api.
Jembatan
Siang menyusut ke hulu.
Di atas arus, matahari beledu
gentar oleh kilatan kuku.
Angsa Liar
Tabah seperti saputangan,
putih bersulih ke selatan?
terpulau oleh rumputan.
Gerimis
Antara jejarum dan gelagah
arloji tak pernah lelah
memindai benang basah.
Sepeda
Terhadang luas lumpur,
reruji serupa pecah telur.
Sisa mata ke bukit kapur.
Museum
Marun guci di dalam lemari.
Si pelukis meninggikan hati,
“Itu milik selir dari Shanxi?”
Es Krim
Di ujung lidah, pangkal limas
mengacaukan lunak kapas
dengan susu musim panas.
Serupa Haiku
Tujuh belas suku kata
lebih, mencari ke balik jingga
kimono, gemetar payudara.
Ladang Jagung
Terurai jantung dari tangkai.
Tetirai masih sepanjang jelai?
ning-kuning mencari pantai.
Penyair
Buah ceri di kantung celana,
kantung air selebar pelana.
Hausnya sebatas umpama.
Makam
Bara mencari sekam.
Tapi hanya ujung pualam
terpanasi ke balik malam.
Pagi
Surya selebat rambut rami.
Langit mengancang bulir padi?
noktah di punggung kelinci.

(2007).

Leave a Reply

Bahasa ยป