lampungpost.com
Keheningan Pelabuhan
–bagi BMC dkk.
Ini pelabuhan atau petilasan
Laut selatan? Tak ada orang bercakap
mabuk dan tertawa. Kapal-kapal ikan
mabuk asin sendiri di kuala dan ceruk teluk diam
tak berombak. Camar-camar terbang nyaris tak tertangkap
mata telanjang. Bahkan kapal-kapal
tanker besar serupa tidur hilang hasrat,
tidak berisik dengan beban penghisapan
di lambung. Mirip benteng tua
pandai memendam perangai topan
Seorang nelayan tua limbung
beralih menjadi penjual batu-batu akik
seberang pulau, tenang, tidak meracau,
luka ladang, luka tanah, seribu kilang,
sembuh sebatas luka di pinggang. Mercusuar
di jauhan, kaki-kakinya membayang
di ufuk air, serupa benar dengan akar-akar bakauan
kuat mencengkram jengkal tanah terakhir segara anak,
o, pandang tertumbuk ke daratan lengang
pulau kambangan, kuamsal kapal nasib
sandar memanjang, memuat cerita dan derita
penghidupan anak manusia
dilamun ombak! Aku mencari dermaga
tanpa perlu menyeberang, hanya menduga
berapa jejak pulang, berapa jejak hilang
sambil menggumamkan kata-kata
sehening doa.
/Cilacap, 2007
Antariksa Dada
di bawah langit
tak ada langit: bumi yang tidur
menunggu bangkit. Di atas langit: bintang-bintang
–surga usah dibilang
jagad membentang begitu lengang, terasa
sakit di antariksa dada, seorang koloni, kosong-hampa
Negeri ini sepotong bumi, katanya, paling dekat
dengan matahari. Fajar terbit, tapi tak juga
jaga atau bangkit. Bintang-bintang telah lama padam
saat fajar yang sama menyentuhnya
pertama: pulau demi pulau
malah nyala dan sebagian silau cahaya
lalu hari-hari lewat, pelan dan pasti, segalanya lewat
menuju musnah, duh, antariksa dada
simpan, simpan yang dalam
matahari, bintang-bintang dan planetmu
sendiri; putar, putarkan yang liar
seperti gerak sekunar di lautan
menunggu saat karam atau dibangkitkan
menyelam bumi, terantuk dasar
rasakan, lempeng demi lempeng bergeser; gemanya, perihnya
bertalu-talu di antariksa dadamu, o, sang koloni
di timur matahari: kota-kota runtuh
sebelum sempurna didirikan, kampung-kampung luluh
sempurna abu. Lalu kesepakatan dan nota-nota baru dibuat
tanpa menunggu pengakuanmu: pesawat dan kapal-kapal
datang dan pergi, tapi seperti dirimu,
semuanya masih terikat di bumi yang satu!
di bawah langit,
tak ada langit, memang: bumi yang tidur
begitu panjang, terasa lebih sakit
mendera dada; seorang koloni yang tersintak jaga,
bangkit dan menderita, sakit dan menderita,
erangnya, keluhnya murni
kuabadikan di bait terakhir sajakku ini:
“dekat ke matahari,
berarti dekat kepada cahaya
yang menyinari panggung nestapa
punggung bumi. maka bangkitlah
sebab yang berlutut akan cidera
dan menjadi mainan abadi
gelap-terang cahaya!”
/Rumahlebah Yogyakarta, 2007
Catatan:
“Antariksa dada” diambil dari istilah Pramoedya Ananta Toer, terutama dalam tetralogi novel Pulau Buru, yang merujuk tokohnya saat berdialog secara langsung.
Sapu Enau, Sapu Ijuk
Sapu enau, sapu ijuk
dari balik pintu tempat bergantung
berkelana engkau
sepenuh ruang. Jelajahi
sudut demi sudut, dari bilik ke bilik
ada yang telanjang
engkau saksi diam tiap kejadian.
Engkau temukan benda-benda lama
jauh tersuruk
dan hanya seusai bersin atau batuk
si tuan rumah, benda-benda itu kembali baru
dan bernama, jadi pajangan dan kenangan.
Engkau tetap bernama setia
dalam debu dan sampah terbuang.
Ah, sapu enau, sapu ijuk
Siapa engkau, jangan merajuk!
/Yogya, 2007
Lagu Pingitan
Kau pandang gunung, gunung yang tinggi
hatimu murung, murung sekali
sebab menduga: hanya yang tegak mungkin didaki
Kupandang langit, langit yang jauh
hatiku ragu, ragu terlalu
sebab mengira: hanya yang dekat mungkin disentuh
maka kau pandanglah gunung
kupandangi langit
yang sama biru
dalam renung rindu
cinta dipingit.
/Yogya, 2007