Zaim Rofiqi
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
AKHIRNYA, saat yang paling ia takutkan itu pun tiba: pada 6 Juni 2006, ia harus ke luar dari penjara itu. Ia bebas. Tempat yang sudah begitu lama ia huni dan mulai bisa ia cintai itu kini harus ia tinggalkan.
Harus. Ia tak bisa menawar. Tak ada pilihan lain. Ia tidak punya pilihan lain. Masa penahanannya di dalam penjara itu telah habis. Dan sebagaimana tahanan-tahanan lain yang telah habis masa penahanannya, ia tidak lagi boleh berada di dalam bangunan itu, betapapun besar keinginannya untuk terus tinggal di situ.
?Jika boleh, jika Anda mengizinkan, aku ingin terus berada di sini. Mungkin untuk selamanya. Tak apa. Aku rela,? demikian ucapnya kali terakhir saat sang penjaga penjara itu datang memberitahukan pembebasannya.
?Tidak mungkin, itu sama sekali tidak mungkin. Itu mustahil. Itu menyalahi aturan. Lagi pula, semua ini di luar kewenanganku. Aku hanya menjalankan perintah,? ujar sang penjaga penjara itu datar.
Sorot matanya tajam menghunjam ke wajahnya.
?Setelah ke luar dari sini, segeralah pulang. Segeralah kembali ke tempat asalmu. Jangan kau mampir di suatu tempat lantas mabuk di sana,? ujar sang penjaga penjara itu setelah melaksanakan tugasnya.
Untuk kali pertama setelah berpuluh tahun, ia tak menjawab apa-apa. Ia hanya berjalan gontai meninggalkan kamar penjara, dan terus berjalan ke luar melewati gerbang penjara itu.
Dari luar gerbang penjara, ia lihat musim panas meng-garang. Warna-warni. Langit abu-abu, awan-awan biru, pepohonan ungu, jalan-jalan kuning. Ia melihat kekasihnya meratap-ratap di samping tempat tidurnya. Ia melihat para wanita, lelaki, anak-anak aneka warna. Burung-burung aneka rupa, melesat-lesat, seperti mengukur angkasa. Segala sesuatu dan setiap orang dipandang dengan sedih. Ia merasa semua itu terlihat begitu indah.
Beberapa saat kemudian, di bawah sebuah pohon besar, sekitar 200 meter dari pintu gerbang penjara itu, ia berhenti. Ia merasa gamang: ke mana? Ia menatap sekeliling, dan yang dilihat adalah jejalan dan rupa-rupa yang tak ia kenal.
Ke mana? Segera pulang? Segera kembali ke tempat asal sebagaimana yang disarankan oleh sang penjaga penjara itu? Tapi di mana tempat asalnya? Tapi mengapa harus kembali ke tempat asalnya? Setelah mendekam begitu lama dalam penjara itu, setelah mengalami berbagai macam peristiwa di dalam penjara itu, setelah muncul rasa cintanya pada tempat terkutuk itu, ia merasa ia telah melupakan tempat asalnya dulu. Dan jikapun samar-samar masih diingat tempat asalnya, ia merasa sama sekali tidak punya keinginan untuk kembali ke sana.
Apa yang sangat diinginkan sekarang ini adalah kembali berada di dalam kamar penjara. Melentangkan badan di atas tempat tidur, bangun tidur pada waktu pagi, merasakan hangat sinar matahari pertama yang masuk melalui jendela kamar, mendengarkan lagu-lagu kesukaan, membaca kembali kisah-kisah yang telah berulang kali ia baca, minum kopi, bercanda dengan kekasih, makan sup buatan kekasih, mabuk dan berkelahi dengan tetangga-tetangga penjara, membaca buku-buku puisi saat malam tiba, bercinta dengan kekasih, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kini, setelah ia dibebaskan, setelah ia berada di luar penjara, di mana bisa ia dapatkan semua itu? Berpuluh tahun ia berada dalam penjara itu. Dan selama berpuluh tahun itu pula ia belajar untuk mengerti dan mencintai tempat terkutuk itu. Dan setelah ia merasa berhasil mengerti dan mencintai tempat itu, mengapa sekarang ia dipaksa untuk meninggalkannya?
Ia ingat, dulu, saat ia masih remaja, para tetua yang ada di dalam penjara itu sering kali bercerita kepadanya ?dan juga kepada teman-teman seusianya?tentang betapa indah segala sesuatu yang ada di luar penjara. Mereka berkata bahwa di luar penjara kau tidak lagi akan merasakan kesedihan, di luar penjara kau tidak lagi pernah merasa kesepian, di luar penjara kau tidak lagi merasa cemas dan ketakutan, di luar penjara semuanya tenang dan menyenangkan.
Ia ingat beberapa di antara mereka, para tetua itu, bahkan ada yang menambahkan bahwa di luar penjara ada sebuah taman besar yang ?bersungai susu, bertabur bidadari seribu.? ?Di sanalah tempat asalmu, Nak. Tempat asal kita semua. Ke sanalah kita menuju, semua orang yang ada di dalam penjara ini.? Betapa indahnya! Dan ia ingat ia pernah mempercayai semua itu. Ia ingat betapa ia dan teman-temannya dulu pernah sangat percaya dan suka pada cerita-cerita para tetua itu.
Tapi saat ia menginjak dewasa, saat ia mulai berani bertanya, saat ia menanyakan apa buktinya, mereka, para tetua itu, tidak bisa menjawab apa-apa. Mereka hanya bisa bilang, ?Percayalah, percayalah. Jika kau percaya, hidupmu akan semakin bermakna.? Dan ia pun merasa kecewa. Sejak saat itu, ia tak pernah bisa menghilangkan keraguan pada semua cerita para tetua itu. Sejak saat itu, ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa sebelum ia bisa membuktikannya sendiri, ia tak akan percaya sepenuhnya pada cerita-cerita para tetua itu. Tapi bagaimana membuktikannya? Selama ia berada dalam penjara itu, ia tidak pernah berhasil membuktikan apakah yang dikisahkan oleh para tetua itu benar atau mereka hanya membual.
Kini, setelah ia berada di luar penjara, setelah ia punya kesempatan untuk membuktikan apa yang dulu dikisahkan oleh para tetua itu, apa yang ia lihat dan alami hanyalah hamparan luas yang tak ia kenal. Ia merasa gamang. Ia merasa sendirian. Ia merasa sangat kesepian. Ia teringat teman-teman, saudara-saudari, serta kenalan-kenalannya yang telah lebih dulu ke luar dari penjara itu: Di mana mereka? Apa yang sekarang mereka lakukan? Apakah mereka telah berhasil menemukan taman besar yang diceritakan oleh para tetua itu? Apakah mereka sekarang telah berada di taman besar yang ?bersungai susu dan bertabur bidadari seribu? itu dan bersenang-senang di sana? Ke mana ia harus mencari mereka? Seperti saat masih dalam penjara dulu, ia selalu merindukan mereka. Ia ingin kembali bisa bercengkerama dengan mereka. Tapi bahkan hingga saat ia sudah berada di luar penjara seperti sekarang ini, ia masih juga tidak bisa bertemu dengan mereka. Mereka seperti menghilang begitu saja dan melupakan dirinya.
Ia terus mematung di bawah pohon besar itu. Silih berganti ditatapnya jalanan asing yang ada di depannya dan bangunan penjara di belakangnya yang sudah begitu ia kenal.
Ke mana? Pertanyaan itu kembali menyergap dirinya. Ke tempat asal? Ke kampung halaman? Tapi jalan mana yang harus diambilnya untuk kembali ke tempat asal? Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskan dalam satu sentakan. Tanpa disadari, ia menggelengkan kepala. Ke mana? Ia tak tahu. Tapi ia harus pergi, meninggalkan tempat itu. Ia tak tahu, apakah suatu saat nanti ia akan kembali lagi ke dalam penjara itu.
Jakarta, 2008-2009
Catatan:
Cerita di atas adalah variasi atas cerpen ?Pulang? karya Arpad Goncz, dalam Arpad Goncz, Pulang dan Beberapa Cerita Lainnya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm. 25-26.