Nuryana Asmaudi
http://www.balipost.co.id/
AKHIRNYA para pelajar di Bali bisa berjumpa dengan para sastrawan terkemuka Indonesia yang didambakannya dalam “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” (SBSB). Seperti dikatakan Taufiq Ismail, program SBSB ingin membantu meningkatkan pendidikan di Indonesia dengan merangsang para pelajar meningkatkan minat baca serta meningkatkan budaya menulis, yang diawali dari basic sastra. “Membaca buku sastra tentu saja bukan menjadi tujuan akhir. Membaca buku karya sastra cuma sebagai rehat saja. Tujuan jangka panjang nantinya adalah pada meningkatkan budaya cinta buku secara menyeluruh; membaca, menelaah, bahkan menulis buku,” jelasnya.
Penyair Hamid Jabbar juga mengakui bahwa SBSB memang dirancang dalam rangka membantu meningkatkan kegiatan apresiasi sastra di kalangan pelajar yang selama ini kurang dibekali wawasan kesusastraan dalam pola pembelajaran dan pendidikan di sekolah di Indonesia. “Tapi program SBSB tak bermaksud hendak mengarahkan atau mencetak pelajar menjadi sastrawan. Sastrawan tak bisa dicetak. SBSB bermaksud mengajak para siswa untuk mengakrabi karya sastra dan mencintainya,” jelasnya. Dikatakan, apresiasi sastra dalam pendidikan di Indonesia hendaknya tidak hanya membuat murid-murid hapal nama-nama sastrawan, sejarah sastra dan angkatannya, hingga menghapal judul-judul buku. Sastra sengaja dibikin terkesan “seram”, rumit, ruwet, berat, gawat, dan “sakral” sehingga ditakuti pelajar.
Karenanya, tandas Hamid, SBSB ini dimaksud juga untuk memulai langkah mengejar ketertinggalan pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia yang sudah kalah jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Perkaya Imajinasi
Mengapa mesti dimulai dengan sastra? Menurut sastrawan Joni Ariadinata, karena buku sastra memberikan atau menyediakan kekayaan imajiansi, melatih kepekaan pikiran, hati dan perasaan akan segala hal yang terkait dengan peri kehidupan. “Dengan kekayaan imajinasi orang bisa menjadi kreatif. Dan dengan daya kreativitas orang akan selalu tergerak untuk mencari dan mengadakan upaya penemuan karya baru yang kreatif. Orang yang kreatif selalu punya dorongan-kecenderungan untuk menemukan sesuatu karya baru yang berbeda dengan apa yang sudah ada, yang tak sama dengan hal kebanyakan yang sudah umum, untuk memperbarui visinya. Imajinasi itu selalu berani bertanya, melakukan dan mencari penemuan baru,” papar Joni.
Senada dengan itu, sastrawan Agus R. Sarjono juga memberi gambaran betapa pentingnya imajinasi. Ia memberikan ilustrasi, kenapa para insinyur di Indonesia sekarang ini rata-rata tidak kreatif dan tidak kaya imajinasi. “Karena mereka selama ini kurang punya dasar sastra,” ujar Agus seraya menambahkan, banyak insinyur pembangunan atau arsitek sekarang ini hanya jadi “tukang” belaka. Agus lantas membandingkan dengan menyebut contoh salah seorang dokter asal Bali yang telah berhasil menemukan jantung buatan yang sudah diakui dunia dan penemuannya itu telah dihakpatenkan. “Dokter asal Bali itu bisa menemukan karya baru (jantung buatan) tersebut karena sejak kecil sebagai orang Bali dirinya sudah terbiasa dengan tradisi nyastra dalam keluarganya, terbiasa mendengarkan dongeng, hingga nonton wayang. Ia terbiasa berimajinasi, akhirnya terlatih dan bisa menemukan hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia,” papar Agus.
Sastrawan muda lainnya, Cecep Syamsul Hari bahkan mencontohkan kenyataan di negara-negara maju menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi, sering menghasilkan penemuan baru karena masyarakat atau bangsanya kaya imajinasi. “Mereka suka membaca karya sastra dan punya sastrawan-sastrawan besar yang karyanya dibaca orang di seluruh dunia, yang sekaligus juga ikut melambungkan nama harum negeri atau bangsanya,” ujar Cecep. Joni Ariadinata kemudian menimpali, keterbelakangan Indonesia justru karena “jauh” dari pengetahuan sastra. Negara-negara di Eropa yang wilayahnya kecil, peradabannya sangat maju karena kehidupan sastranya kuat dan kesadaran untuk mencintai sastra ditumbuhkan terus.
Sastrawan Joko Pinurbo juga memberi gambaran, sastra itu tidak menjauhkan manusia dari kehidupan. Justru sebaliknya, sastra mendekatkan manusia pada hidup, menyadarkan pada hakikat dan cinta kehidupan. Sastra bisa menghilangkan sekat-sekat antarmanusia yang terkait dengan agama, suku bangsa, ras, etnis, dll. “Sastra tak ada hubungannya dengan agama dan tidak mempunyai agama, serta tak ada hubungannya dengan karir. Orang yang belajar sastra bisa menjalani profesi apa saja. Oleh karena itu siswa perlu mempelajari, membaca, dan mencintai sastra sebagai bekal membangun masa depannya,” tandas Joko.
Generasi Terputus
Keterasingan masyarakat Indonesia dari sastra yang juga menjadi penyebab keterbelakangan — khususnya bidang pendidikan — di negeri ini selama ini nampaknya memang menjadi “PR” yang harus segera ditangani bersama secepatnya. Sastrawan Frans Nadjira misalnya merasa cukup terheran-heran terhadap para siswa sekolah sekarang yang dinilainya sudah begitu “terasing” dari pergaulan sastra. “Anak-anak pelajar zaman sekarang sungguh sangat jauh dengan generasi sebelumnya. Mereka nampak sebagai generasi yang ‘terputus’ dari pergaulan sastra. Mereka begitu asing dari sastra. Saya tidak tahu penyebabnya. Mungkin karena pergaulan, pengaruh lingkungan, atau pola pendidikan yang membuat anak pelajar zaman sekarang jadi begitu. Sungguh kasihan mereka,” komentar Frans Nadjira.
Frans mendapat gambaran lebih jelas dalam hal itu ketika mengisi SBSB di sebuah SMU di Bali. Frans melihat para siswa itu sudah “tidak nyambung” dan tak nampak ada minat bahkan tak tahu soal sastra, dan hanya bisa “menikmati” sosok yang tampil. Frans lebih terheran-heran lagi ketika bertanya, “Apa ada di antara siswa yang pernah membaca atau mendengar puisi Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad”? Ternyata tak satu pun dari ratusan siswa itu yang tahu puisi tersebut. Padahal puisi itu sudah lama dibuat dan sangat populer, serta seringkali dijadikan naskah lomba baca puisi di Bali. Terlebih, tokoh yang diangkat dalam puisi itu seniman besar dari Gianyar.
Keterbelakangan pendidikan dan keterasingan anak-anak sekarang dari sastra itu, menurut sastrawan Nyoman Tusthi Eddy, karena adanya kesalahan visi terhadap sastra yang sudah berlangsung lama di Indonesia. Tusthi mencontohkan persepsi masyarakat yang melarang anaknya jadi sastrawan atau kuliah di fakultas sastra, atau bahkan melarang anak gadisnya kawin dengan sastrawan. “Kalau visi terhadap sastra sudah benar, maka penghargaan terhadap sastra baru bisa ditingkatkan. Untuk bisa menuju ke arah sana, maka sistem pengajaran sastra di sekolah harus diperbaiki, kurikulum harus disempurnakan, jam pelajaran ditambah, materi pelajaran sastra ditingkatkan, juga guru pengajar harus berkualitas dan benar-benar menguasai sastra,” kata Tusthi.
Lewat program apresiasi seperti SBSB inilah, menurut Tusthi, bisa dipromosikan dan diubah visi negatif sastra ke arah yang lebih baik. Bagi Tusthi, SBSB ini banyak memberi manfaat khususnya bagi para siswa. Frans Nadjira juga berharap, mudah-mudahan program SBSB ini bisa menjembatani “keterputusan” generasi sekarang dari pergaulan sastra, atau setidaknya bisa memberi manfaat pada mereka di waktu mendatang. Semoga.