Lan Fang
entertainmen.suaramerdeka.com
Do
Adakah kau saksikan aku mendengarkanmu? 1)
Padahal aku tidak bisa mendengarkanmu. Tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku sedang mendengarkanmu. Padahal kau tidak bisa menyaksikanku aku sedang mendengarkanmu. Tetapi kau bisa mendengarku seperti aku bisa menyaksikanmu.
Baiklah. Kalau begitu akan kuceritakan saja kepadamu.
Kusaksikan kau melentingkan denting di dalam hening, di dalam sunyi yang meraja. Bertakhta dengan mahkota sepi. Karena tidak ada sebuah suara pun yang mampu kutangkap. Tetapi aku mampu menyaksikan kau menusukkan senyap dari matamu, mata tanpa warna.
Matamu mengingatkanku kepada mata Kemala, perempuan paria 2) yang sangat mencintai Sidharta. Cinta yang tak pantas di mata kasta. Sehingga harus diberangus di dalam hangus. Cinta yang ditebus dengan membutakan kedua matanya agar ia tidak bisa memandang cinta lagi, tidak bisa memancarkan kangen lagi.
Apakah karena matamu sesenyap buta Kemala, maka kau ciptakan cinta dari nada-nada?
“Dengarkan, ini sonata,” 3) bibirmu bergerak pelan.
“Ya. Aku sedang menyaksikanmu,” sahutku.
Aku yakin kau mendengar kata-kataku.
Re
Jangan lupa, di sini ada yang gelisah. 4)
Di sini sepi. Terlalu sepi sampai menggelisahkan. Bagaimana denganmu? Kurasa kau tidak pernah merasa sepi karena kau punya tuts-tuts yang menciptakan lagu. Adapun tuts-tuts yang kumiliki selalu bertanya sendiri, menjawab sendiri, berbicara sendiri. Tetapi sejak mengenalmu, aku jadi suka berbicara padamu, bercerita untukmu, bertanya kepadamu, menanti jawabanmu. Walau tidak ada satu bunyi pun yang kudengar darimu. Tetapi bukankah kau mendengarku?
Kau tidak perlu melihatku seperti aku melihatmu. Karena aku malu bila kau bisa melihat gelisah di mataku. Gelisah yang sudah terlalu lelah mendesah. Tentang malam yang semakin terasa panjang dan aku terjebak di dalamnya. Gelisah hendak menyaksikanmu duduk di depan pianomu. Gelisah hendak bercerita padamu. Apakah kau juga punya rasa gelisah yang sama?
“Ceritakan padaku tentang kisah kayu remuk,” kau menuntaskan kegelisahanku.
Mi
Tapi bukankah masih ada langit yang tak pernah tertutup pelupuknya, yang menerima segala yang terbersit bahkan dari mulut si tuli dan si buta? 5)
“Aku tak mengerti ceritamu,” katamu ketika kuselesaikan sebuah kisah. Kuceritakan tentang seorang lelaki yang begitu rajin mengumpulkan reremahan serbuk. Itu remuk-remuk yang tak pernah diperhatikan orang. Tetapi dipadatkannya menjadi batang arang yang menebarkan hangat dari baranya. Berwarna hitam kemerahan. Seperti hati yang menyimpan kerinduan. Ketika api menyalakannya, ia tidak menghanguskan. Tetapi lebam menjadi merah yang legam. Hanya menimbulkan bunyi gemeretak yang terdengar malu-malu.
“Seperti apa bunyi bara yang malu-malu itu?” tanyamu.
“Seperti deru di langit, seperti pusaran gelombang. Tak gemuruh tetapi menimbulkan riuh,” sahutku.
“Langit seperti apa? Gelombang seperti apa? Aku sudah lupa,” sahutmu.
“Kalau begitu coba mainkan sebuah sonata lagi. Bunyinya pasti seperti langit, seperti gelombang, seperti arang…”
Aku melihatmu seperti seorang Eygency Kissin yang memainkan melodi Konserto Piano nomer satu milik Tchaikovsky di sebuah gedung konser. Melodi yang sebentar keras menghentak, sebentar lembut seakan membuatku tergelincir. Sebuah komposisi yang mengikat emosi. Tentang cinta dan rindu yang terus menerus yang tak pernah putus. Perasaan yang sudah lumat tergerus.
Kau memainkan nada tanpa perlu memandang tuts mana yang harus kautekan. Bila memainkan piano, kau memang tidak terlalu memerlukan mata. Kau memukulnya dengan ringan tetapi mempunyai kekuatan. Membuatku teringat ilmu taichi yang mengumpulkan kekuatan dengan gerakan yang lemah lembut.
Dan jari-jarimu melompat dan berjingkat begitu cepat seperti bayangan. Dari satu balok hitam ke balok putih lalu ke balok hitam lainnya yang berjajar. Kau memang lebih mempergunakan perasaan ketika memutuskan untuk mendaratkan jarimu di balok yang mana. Seakan seluruh simpul syarafmu sudah bekerja otomatis sehingga tidak perlu memerlukan mata lagi.
Karena itu aku lega. Itu berarti kau juga tidak perlu mempergunakan matamu untuk menyaksikanku. Pakai saja perasaanmu untuk menyaksikanku seperti aku tidak perlu memakai telingaku untuk mendengarmu. Cukup dengan perasaanku saja.
“Apa yang kaudengarkan?” tanyamu seakan-akan aku memang bisa mendengarkanmu. Padahal aku cuma bisa menyaksikanmu.
“Aku mendengar bunyi rindu seperti sauh. Jauh yang ingin dekat. Dekat yang tak ingin menjauh,” sahutku seakan-akan aku memang mendengarkanmu.
Padahal aku cuma merasakan getaranmu.
“Rindu apa? Kepada siapa?” kamu mendesak.
“Rindu suara. Kepada cinta,” aku terdesak.
“Suara apa? Cinta siapa? Jangan-jangan sama…,” bibirmu gemetar seperti hatiku.
“Iya. Sama…”
“Di antara kita?”
“Jadi?” aku terlalu malu untuk menjawab pertanyaanmu.
“Jangan ke mana-mana. Jangan ada siapa-siapa. Jangan ada apa-apa. Hanya kita di sini, diam saja, mendengar suara cinta…”
Aku setuju padamu.
Bukankah di dalam cinta, kebungkaman lebih berarti daripada percakapan?
Fa
Cinta terasa baru benar-benar membakar ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya! 6)
“Padamkan nyalanya! Padamkan nyalanya!”
Itu suara terakhir yang ditangkap gendang telingaku. Karena setelah itu yang bisa kudengar hanyalah senyap yang merayap. Tidak pelan-pelan. Tetapi langsung menguasai seluruh alam semesta. Tidak ada suara angin berciuman dengan dedaunan, tidak ada suara air yang menyentuh bebatuan, tidak ada suara awan yang berpelukan dengan hujan, tidak ada suara kemarahan, tidak ada suara tangisan, tidak ada suara kerinduan. Aku menjadi sang sepi yang sendirian. Menjadi maharaja sunyi.
Kulihat kau masih menyimakku. Maka kuteruskan ceritaku.
Kembang api itu meledak begitu dekat denganku. Bukan cuma seperti petasan anak-anak. Tetapi bunga api raksasa yang seharusnya menyemarakkan malam dengan terangnya itu tersulut sebelum saatnya. Dan ia seperti dinamit meletus.
BUMMM!!! Membakarku…
Dan kemeriahan yang seharusnya penuh suka cita itu menjadi kalang kabut dengan kepedihan. Telingaku tidak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali kepiluan yang menyayat. Gendang telingaku sudah meletup, pekak, tuli. Wajahku seperti mentega meleleh di atas wajan. Kulitnya melepuh tidak cantik lagi.
Tahukah kau bagaimana rasanya terbakar?
Rasanya begitu sepi…
Bisakah kau memadamkannya?
Sol
Maka aku tidak perlu kau bisa menyaksikanku. Aku tidak perlu matamu untuk memandangku. Tak mengapa kau buta seperti Kemala. Bukankah cinta memang buta? Cinta tidak perlu mata. Cukup telinga untuk mendengarkan apa kata suara. Suara cinta. Kata-kata cerita yang kusampaikan padamu untuk menjadi nada.
Aku juga tidak perlu telinga. Bukankah cinta juga tuli? Cinta juga tidak perlu telinga untuk mendengarkan terlalu banyak kata-kata. Cukup hati yang bicara. Bicara cinta. Seperti nada-nada yang kaumainkan untukku.
Jadilah kita sepasang kekasih yang diam-diam saja di sini. Seperti penulis tuli yang jatuh cinta kepada pianis buta. Memang tidak perlu ke mana-mana, bukan? Bukankah kau selalu mendengarkanku seperti aku setia menyaksikanmu?
“Sekarang ceritakan tentang mataku,” katamu sambil menoleh padaku.
Kau memandangku dengan mata tanpa warna. Kulihat ada selaput tipis di sana seperti gerhana yang tidak purnama, tetapi memancarkan cinta yang sempurna.
Kau berdiri meninggalkan pianomu. Aku menyaksikanmu menghampiriku. Tapi kau tidak tersaruk, menubruk sesuatu karena kau mendengar suaraku. Suara hatiku. Suara cintaku yang memanggilmu.
La
“Matamu adalah mata yang indah,” 7) aku memulai ceritaku.
Kuceritakan padamu bahwa matamu bukanlah mata Kemala yang terberangus karena cintanya kepada Sidharta. Bukan mata yang harus dibutakan agar tidak bisa memancarkan kerinduan lagi.
Tetapi matamu adalah mata lelaki yang memanah matahari.
Dahulu, bumi disinari oleh dua matahari. Karena itu tidak pernah ada malam hari. Kedua matahari itu bergantian berotasi dan berevolusi dengan lidah api yang memijar dan panas yang menjalar.
Dan kau lelaki dari dunia lain yang memiliki hati dari kerumunan embun beku. Kau ingin hatimu mencair dari dingin itu. Ternyata bara arang tak cukup panas untuk mencairkan. Maka kaubidikkan busurmu ke arah matahari yang satu. Menurutmu, panas itu pasti bisa melelehkan gigil yang membatu.
Yap! Bidikanmu tepat mengenai jantung matahari. Ia meledak jatuh menghujanimu dengan pijar-pijarnya. Ada letupan yang jatuh di matamu. Sangat menyilaukan sampai kau tidak mampu melihat yang lain kecuali kemilau. Letupan lain menembus hatimu. Meluluhkan. Maka beku di hatimu menjadi banjir. Membanjir sampai ke hatiku juga. Lalu aku hanyut mengalir di banjirmu.
Si
“Ceritamu semerdu lagu,” kata gerak bibirmu.
“Begitukah? Apakah tidak pilu?”
“Tidak ada cinta yang pilu. Cinta selalu merdu.”
“Tetapi aku selalu kehabisan kata-kata ketika bercerita untukmu. Rasanya kata-kata pendek tidak pernah cukup dan kata-kata panjang selalu kurang. Terkadang kupikir mungkin memang sebaiknya kita disinari dua matahari sehingga tidak pernah ada malam. Jadi kita bisa terus bersama sepanjang siang.”
Bibirmu bergerak membentuk garis tawa yang menawan. Aku bahagia kau tertawa mendengar kata-kataku. Aku gembira bila bisa membuatmu gembira. “Kau pasti pencerita yang jelita. Aku ingin menyaksikanmu,” katamu sambil mengulurkan jemari kepadaku.
Ini yang kutakutkan!
Sebagaimana kukatakan, seharusnya kau cukup mendengarkan ceritaku. Apakah kau akan tetap mengatakan aku jelita bila kau bisa meraba parut di seluruh wajahku? Mataku yang besar sebelah, hidung yang miring seperti plastik meleleh terkena panas, bibir yang tidak rata, tubuh tidak sempurna dengan kerut-kerut kulit melepuh, dan aku tidak bertelinga! Apakah kau masih akan cinta padaku?
Oh, kau membuatku ingin menangis! Aku takut rindu itu akan menjauh. Aku takut kehilanganmu!
Do
“Biarkan aku membacamu, tidak sekadar mendengarkanmu,” bibirmu bergerak. Jemarimu juga bergerak untuk menyentuhku, merabaku, membacaku seperti pada huruf-huruf braile.
Aku tahu, ketika kau menyentuhku, kau pasti sudah menyaksikanku. Dan ketakutanku menjadi maha besar. Aku takut kau berhasil membacaku. Lalu kau tahu bahwa aku cuma sebuah cerita usang yang tak menarik. Aku cuma sebuah buku kumal, lecek, berdebu dan sudah sobek-sobek. Kau pasti malas untuk membacaku sampai halaman terakhir. Mungkin hanya sampai pada halaman-halaman pertama, lalu kau akan menghentikan dan menggeletakkannya.
Kupejamkan mataku untuk mengatasi rasa takutku. Saat ini aku juga ingin menjadi buta sepertimu. Aku tidak berani bisa menyaksikan selaput gerhana di matamu menjadi terbelalak bila kau sudah berhasil membacaku.
Aku tidak siap bila harus kehilanganmu.
Kurasakan jemarimu menelusuriku seperti Fanton Drummond 8) membaca peta di tubuh Olenka. Berhenti sejenak lalu bergerak lagi. Kau meneruskan perjalananmu seakan sedang berjalan di atas lekuk ceruk bukit ngarai, lembah dan rel kereta api 9) seperti si buta yang berjalan sendiri tanpa tongkat dan tanpa penuntun. Jadi kau berjalan di atasku dengan pelan dan sangat hati-hati.
Kemudian kau jadikan aku seperti sebuah piano. Kau telentangkan aku. Lalu jemarimu menekanku, berjingkat di atasku, melompat dari ujung ke ujung. Kau mainkan lagu di atas rambutku, keningku, mataku, bibirku, dadaku, sampai kakiku. Kau membuatku menukik ke tangga nada tertinggi dan meluncur ke tangga nada terendah. Gemetarku karena nada-nadamu yang kejar-mengejar itu.
Do re mi fa sol la si do
Ketika kau selesai membacaku, rasanya, aku mendengar desah yang menjadi sonata paling indah.
Catatan:
1) Kalimat pada puisi Sonet 1 Sapardi Djoko Damono
2) Kasta terendah di India
3) Bunyi instrumen yang terdiri dari 3-4 bagian yang kontras dari bagian ke bagian.
4) Kalimat pada puisi Sonet 3 Sapardi Djoko Damono
5) Kalimat pada puisi Sonet 4 Sapardi Djoko Damono
6) Kalimat pada puisi Sonet 4 Sapardi Djoko Damono
7) Judul cerpen Budi Darma
8) Tokoh dalam novel Olenka Budi Darma
9) Kalimat dalam novel Olenka Budi Darma.
***