Hudan Hidayat
Hudan: Iwan verbalisme, Nirwan hampa makna. Mari hidupkan sastra dengan polemik!
Tiap ciptaan yang kuat selalu mentransendir dirinya, sehingga benda dan
peristiwa, diangkat, atau diterobos, kedalam “temali” antara Tuhan, manusia, dan
dunia.
Hidup merentang dalam gerak yang diam atau gerak yang berpusar. Anasir, dan
banyak anasir, selalu harus kita hubungkan satu sama lain. Penghubungan semacam
itu, bisa melalui eksrepsi kebudayaan apapun.
Jembatannya adalah bahasa.
Bahasa adalah aktifitas yang hendak menertibkan dunia. Bagi ilmuwan, dunia akan
tertib ketika hukum alam dikuakkan. Bagi seniman, dunia menjadi berarti saat
makna bisa dihadirkan.
Cerita yang agung tak pernah mengusir Tuhan dari kisahnya.
Ah rasa yang dalam/datang Kau padaku/Aku telah mengecup luka/aku telah membelai
aduhai.
Betapa menggetarkan! Getar dari sebuah bahasa yang mendekatkan keruwetan dunia
ke dalam bahasa yang konkret, ke dalam ucapan-ucapan bahasa yang membuat diri
ini bergoyang-goyang, seolah ritme dari sebuah zikir. Bukan bahasa yang
mengabstrakkan kembali sesuatu yang minta ditautkan ke dalam hal yang konkret –
dunia yang penuh chaos.
Abstraksi dijawab dengan abstraksi, di sinilah mulainya kegagalan seni.
Lihatlah sebuah puisi ini.
Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau air mata di ujung jari,
aku saputangan matahari.
Sekejap kita terpukau, dengan cara penyair memainkan benda-benda di sana, dengan
menautkan benda itu, atau menyatukan, atau menghubungkan, benda-benda itu ke
dalam diri si aku.
Hujan dan payung, aku dan iri, adalah dua kategori metapor yang bersahutan,
metapor yang bergerak dan memindahkan dirinya secara selang-seling ke dalam
payung, ke dalam saputangan.
Kita lihat metapor itu bergerak lagi dan berpindah lagi. Dari saputangan ke
matahari. Kita lihat fungsi metapor di situ, sebagai menahan (payung yang
menahan hujan), sebagai menghapus (sapu tangan menghapus airmata).
Kita pun melihat upaya penyair merentangkannya – metapor itu, atau benda dalam
hubungan dengan peristiwa di sana, diangkatnya, atau digesernya, kepada matahari
– lambang kehidupan.
Tetapi apa kesudahannya?
Gerak benda di sana tak bisa naik. Hanya menjadi keunikan. Semata keunikan. Tak
bisa naik karena kekurangan umpan – karena penyair telah mengusir Tuhan dalam
puisinya, atau mengabstrakannya sehingga terasa samar-samar – sesuatu yang
menjadikan gerak dan benda-benda menjadi bermakna, saat kita “menalikan”nya,
meskipun hanya melalui puisi – jantung kata yang diangankan seolah cangkang
telur itu – yang ingin menetaskan kata menjangkau atau menerobos kenyataan,
untuk sampai ke balik kenyataan yang
lebih tinggi.
Tapi sang puisi tersungkur kepada dirinya sendiri.
Cara kerja seperti itu, bisa kita operasikan saat menyimak dua bagian dari
“Mawar Terjauh” – puisi Nirwan. Sebelum kita masuk ke dalam bagian penutup dari
puisi yang hendak menjangkau alam melalui benda alam ini.
Kohesi, dalam pergerakan, sampailah sudah ke alam kemandulan makna dari puisi.
Makna tak hadir melalui bahasa yang indah dari sudut komposisi kata, dari
pergerakan kalimat yang menimbulkan bunyi. (Atau dalam bahasa bola: taklah ada
gunanya seluruh pergerakan pemain kalau akhirnya pihak lawan yang mencetak gol!)
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.
Inilah puisi letoy dari makna yang letoy. Betapa sang penyair gagah hendak
mengusap dunia (aku saputangan matahari), tapi tenaga kata-katanya kosong.
Ibarat bulir padi tak berpenghuni, tak bisa menumbuhkan kehidupan di atasnya.
Sebab siapakah “kau” di sana? Kau “Tuhan, tuhan”, kau “mawar” yang kita kenal
sejak kecil, sebagai bunga yang harum, kau “hujan” yang berganti-ganti dimainkan
oleh penyair dengan benda-benda alam lainnya (cermin, gaun merah, tubuh).
Siapakah “kau” di sana?
Itulah yang saya maksudkan: dunia yang sudah abstrak diabstrakkan pula oleh sang
penyair.
Seni yang agung mengkonkretkan dirinya sendiri. Ke dalam kisahnya yang menautkan
riuk-riuk dunia, ke dalam bahasa yang sederhana tapi dalam dan penuh makna.
Saya kutipkan penuh dua puisi yang menjadi pembahasan saya ini.
Ah
rasa yang dalam!
datang Kau padaku!
aku telah mengecup luka
aku telah membelai aduhai!
aku telah tiarap harap
aku telah mencium aum!
aku telah dipukau au!
aku telah meraba celah lobang pintu
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
rasa yang dalam
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari
segala abad sungsai dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala
laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh
dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala Anu
puteri pesonaku!
apa yang sebab? jawab. apa yang senyap? saat. apa yang renyai? sangsai! apa yang
lengking? aduhai. apa yang ragu? guru. apa yang bimbang? sayang. apa yang mau?
aku! dari segala duka jadilah aku dari segala tiang jadilah aku dari segala
nyeri jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari segala jawab aku tak tahu
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang
paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa
ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku
kalau tak aku yang paling rindu?
bulan di atas kolam kasihkan ikan bulan di jendela kasikan remaja daging di atas
paha berikan bosan terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat kamis
selasa minggu kau sendirian berikan aku!
ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung yang mana nama
selain mana yang mana gairah selain resah yang mana tahu selain waktu yang mana
tanah selain tunggu yang mana tiang selain Hyang mana Kau selain aku?
nah
rasa yang dalam
tinggalkan puri pura-pura-Mu!
kasih! jangan menampik
masuk Kau padaku!
(Sutardji Calzoum Bachri)
Mawar Terjauh
Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
aku saputangan matahari.
Jikau kau dalam gaun merah,
aku bekas tangan di perutmu.
Tapi kau juga nenangan darah,
ketika aku urung mencintaimu.
Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah memurnikanmu.
tumpahkanlah tilas semua dara,
sampai jantungmu serimbun bara.
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.
(Nirwan Dewanto)
***
Puisi bisa muncul dari penyair manapun – makna puisi. Bahkan dari seseorang yang
baru saya jumpai di dunia maya: Sony Debono. Melalui sekumpulan burung (2), sang
penyair dari Surabaya ini memotret sepenggal sore, dari sebuah daerah turis. Di
situ puisi menjadi magis, dari sebuah kepiluan, dari sebuah ironi, dari negeri
yang mengais-ngais dolar. Tapi pedih. Dengarlah ia menyanyikan kepedihannya.
yang biru bukan langit tapi air mata tua
yang biru bukan selat tapi mimpi mampat.
Begitulah sebuah negeri diharu-biru dari kehendak membuka gerbang kotanya, demi
mengais dollar. Tapi diri tergadai.
Sang penyair memotretkan arus itu sebagai kepincangan.
angin,
ini angin yang pincang
angin kibas-kibas di rantau yang cemas.
Sekali lagi kita diperlihatkan, betapa upaya menguakkan makna dunia melalui
kata-kata, tak harus, atau bisa ditempuh, dengan memakai kata-kata yang
sederhana, dari sebuah hidup yang tak sederhana.
Sony Debono, tak bersibuk mengejar kata-kata yang indah tapi hampa makna. Ia
sibuk mencatatkan pengalamannya sendiri.
Amlapura…Amlapura
menyapa wajahku sebuah kabar
dewa-dewa bahkan malu bersendawa
Taman abai dering beriring
kotak tinggi seribu tangga
aku ingin berbaring
…klining…klining…klining…
Saya kutipkan penuh puisinya – sebuah metapora dari kenyataan hidup yang
abstrak, tapi di tangan penyair ini, menjadi konkret sekali.
Sekumpulan Burung (2)
Amlapura :
Pinggul kota lama para dewa seliku gitar espanola.
Hijau pualam dalam kepung dada-dada Agung-Lempuyang
hangat tentu saja
berangin tentu saja
Yang biru bukan langit tapi air mata tua
Yang biru bukan selat tapi mimpi mampat
Amlapura…Amlapura
menyapa wajahku sebuah kabar
dewa-dewa bahkan malu bersendawa
Taman abai dering beriring
kotak tinggi seribu tangga
aku ingin berbaring
…klining…klining…klining…
Kau bisik Saga:
Bugis sang angin,
Karangasem Raja,
Seleparang
kelewang
berkebat-kebat seru perrang,
amis dan kibaran darah darah
Dan, matamu dunia tiga:
Kubah, Pura, Segiempat Tinggi Eropah
Ujung,
ini ujung punya cerita:
lautnya tenang
dicumbu mendung
pagar bintang
dan
selembar awan kesasar
Angin,
ini angin yang pincang:
Angin kibas-kibas di rantau yang cemas
kunci bukan pertanda tetapi jalan keluar
Ikan bakar
kan bakar
Aku menyusul Gapuramu
mencium petang
tiga hawa
remang-remang
Dupa
Dupa
Dupa
Wangi yang terbakar juga
Menunggu bulan mekar
Menunggu bulan mekar
Pantai tenang
aku tunggu perawan
aku tunggu perawan
Perawan Amlapura
pendar panggung dewa-dewa
Pilar-pilarnya tua
mengecup selangkangan laut
deritnya tak bersuara
ssstttt…Hyang sibuk memagut jagat perawan lembut
Sekumpulan burung di situ menunggu:
Perawan tanggung
di panggung bulan setengah telanjang
Ayam-ayam malam bersiap tarung
mencari selembar;
Selembar dari negari koyak
ssstttt…Hyang sibuk memungut merahmuda perawan lembut:
“Ini hanya aku, wahai sang Hyang!
Tolong hamili aku di Taman Ujung,
Taman air Karangasem mendung ”