Buku “Sastra” Siber, Membumikan Karya Sastrawan Siber

Dipo Handoko
http://www.gatra.com/

GENAP setahun para nettizens –warga yang gemar berinternet-ria– dibuai keasyikan menikmati larik-larik puisi di situs cybersastra.net. Situs web yang lebih mirip direktori ini menyajikan bentuk multimedia: paduan puisi, musik, dan animasi komputer. Kehadirannya bertambah lengkap ketika situs yang bernaung di bawah Yayasan Multimedia Sastra itu mengeluarkan buku antologi puisi siber.

Buku bertajuk Graffiti Gratitude itulah yang diluncurkan di Puri Agung, Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis pekan lalu. Acaranya tak cuma bedah buku dan diskusi, yang dimulai pukul tiga petang. Di ruangan berkapasitas 250 kursi itu juga digelar musikalisasi puisi oleh Deavies Sanggar Matahari, dan pembacaan sajak oleh Rendra, hingga pukul sembilan malam.

Sayangnya, pesertanya cuma puluhan orang. Toh, Medy Loekito merasa puas. ”Sasaran kami memang bukan mengeruk untung,” kata Presiden Yayasan Multimedia Sastra itu. Peluncuran buku ini tak lepas dari misi yayasan: organisasi sosial nirlaba. Keberadaannya lebih diartikan menjembatani sastra koran dan sastra siber. ”Agar tak ada lagi eksklusivitas sastra,” kata Medy.

Karena itu, hasil penjualan buku –Rp 35.000 per eksemplar– itu tak semuanya masuk kantong yayasan. Sebagian disumbangkan ke sekolah-sekolah untuk pengembangan sastra, khususnya puisi. ”Sebagian lagi, ya… untuk membayar penerbit,” kata Medy. Hebatnya, sebulan sebelum antologi itu diluncurkan ke pasar, telah terjual 800 kopi.

Medy sendiri terkejut. ”Ini luar biasa,” kata penyair yang tercatat dalam International Who’s Who in Poetry and Poets Encyclopaedia itu. Tadinya, ia sempat pesimistis. Medy menengok kurang suksesnya Antologi Puisi Wanita Indonesia (1997) yang digarapnya. Meski bertabur penyair beken, dalam setahun pertama buku ini cuma laku 137 eksemplar.

Dalam Graffiti, Medy banyak memasukkan nama-nama ”baru”, yang hanya dikenal penggemar internet. Dari 118 penyair, lebih dari separuhnya tak dicatat Korrie Layun Rampan dalam bukunya, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia –yang disebut-sebut sebagai antologi sastra paling komplet hingga saat ini.

Memang, cukup banyak nama beken yang tercantum dalam Graffiti. Sebut, misalnya: Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yossi Herfanda, Eka Budianta, hingga Sutardji Calzoum Bachri. Ada pula penyair tamu, seperti Chiranan Pitpreecha (Thailand) dan Zaharah Nawawi (Malaysia), yang pernah menerima SEA Write Award, Anugerah Penulis Asia Tenggara.

Selain kedua nama itu, masih terdapat karya-karya penyair India, Bangladesh, dan penyair dari belahan lain Asia Tenggara. Cuma, Graffiti, yang disusun Medy bersama empat awak redaksi cybersastra.net, yakni Nanang Suryadi, Tulus Widjanarko, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Cunong Nunuk Suraja, terkesan sederhana penggarapannya.

Medy dan awaknya tinggal menyeleksi sekitar 500 penyair yang mengirimkan karyanya ke cybersastra.net, sejak setahun silam. Artinya, syarat masuk antologi sastra siber, ya, asal pernah memublikasikan karya puisi di media internet. Mungkin karena itu, buat Ahmadun Yossi Herfanda, penyair yang karyanya tersebar dalam banyak antologi itu, mutu karya sastra siber patut dipertanyakan.

”Media siber itu cenderung hanya diperlakukan sebagai ‘tong sampah’ karya-karya yang tidak tertampung media sastra cetak,” begitu tulis Ahmadun dalam artikelnya di sebuah surat kabar Ibu Kota. ”Dari melihat kulitnya saja, ini upaya amatir untuk menjual karya sastra,” kata ”Presiden Penyair” Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.

Meski tak menyebut Graffiti sebagai antologi yang mutunya payah, Sutardji tampaknya keberatan dengan masuknya penyair pemula. Pandangan itu ditampik Saut Situmorang, penyair dan esais lulusan sastra Inggris Universitas Victoria, Wellington, Selandia Baru. Menurut dia, julukan ”tong sampah” hanya karena ketakutan akan tiadanya kriteria karya sastra.

Padahal, menurut Saut, revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi internet hanya mengenal satu kriteria. ”Yaitu beragam kriteria,” katanya. Medy sendiri memilih merendah. ”Puisi-puisi kami mungkin memang tidak hebat,” kata Medy. Tapi, memahami karya sastra tak bisa dengan melihat kulitnya. Apalagi, Medy ingin orang menghargai gagasannya menampung banyak penyair lewat media internet.

Leave a Reply

Bahasa ยป