Cemara

Tutyk Tarukan
http://www.balipost.com/

‘MARA, ayo cepat packing. Kita turun gunung hari ini, cuaca sedang tidak baik,” kata Ramon. Dengan segera aku memasukkan barang-barang ke dalam ransel. Juga tenda doom warna ungu dan biru ini segera aku lipat. Angin bertiup begitu kencang, jaket parasut ini sungguh berguna, mudah-mudahan tidak hujan.

Proses clean up lokasi kemping pun dilakukan dengan tergesa-gesa. Sudah tak ada nyala pada bara bekas api unggun semalam, situasi lokasi kemping telah aman untuk ditinggalkan. Setelah absen, aku beserta anak-anak Mapala lainnya segera bergegas menuruni gunung.

Akhir tahun ini, anak-anak Mapala ingin menghabiskan waktu dengan mengadakan ekspedisi lagi. Namun, kali ini kami akan melakukannya di Pulau Jawa. Walaupun cuaca sedikit buruk belakangan ini, tak satupun yang merisaukan hal itu.

“Mara, kamu jadi ikut kan?” tanya Ramon suatu siang.

“Ya, aku jadi ikut. Tenang saja, selama kita berangkatnya ngeteng, tabunganku masih cukup kok,” jawabku sambil tertawa.

Ramon tertawa geli mendengarnya, ia mengusap-usap kepalaku dan segera berlalu ke dalam ruang kuliah. Ramon adalah sahabat karibku, kami berteman sejak awal kuliah. Terkadang aku dan Ramon suka berbagi cerita, terkadang pula kami hanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja di bangku taman kampus tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, seolah-olah kami bisa bercakap-cakap dengan telepati saja.

Aku ingat sekali bagaimana pertemuan pertamaku dengan Ramon. Saat itu awal perkuliahan, di kampus kami sedang diadakan pengenalan UKM. Kami berada di satu ruangan yang sama, yaitu ruangan Mahasiswa Pecinta Alam atau Mapala. Ramon duduk tepat di sebelahku, kami hanya terdiam mendengarkan kakak senior menjelaskan programnya. Entah bosan atau iseng, Ramon memberikan sebuah kertas memo.

“Gadis manis seperti kamu suka naik gunung juga?”

“Ya.”

“Pantas warna kulitnya hitam.”

“Lalu?”

“Aku sangka kamu suka surfing, makanya kulit kamu kaya gitu. Padahal di UKM sini kan tidak ada bagian surfing-nya. Mungkin nanti kita surfing-nya dari atas gunung ya? Hehehe…”

Aku hanya tersenyum kalau mengingat perkenalanku dengan Ramon. Ramon adalah sahabat terbaikku di dunia ini, selain alam dan musik. Ia selalu tahu kalau aku sedang bersedih, dan ia akan selalu merelakan bahunya sebagai tempatku menangis. Selebihnya, aku akan selalu memberikan keceriaan pada sifatnya yang pendiam itu. Hubungan kami sangat dekat, dan sampai saat ini ia masih sering protes mengenai namaku.

“Mengapa namamu harus nama pohon itu? Seolah-olah tak ada nama lain saja. Padahal di dunia ini ada banyak nama indah yang pantas untuk disandang oleh gadis periang seperti kamu. Kamu juga aneh dari sabun sampai karbol semua aroma cemara, lama-lama aku dekat dengan kamu jadi bau hutan.”

Aku hanya tertawa mendengar ocehan Ramon sambil menikmati perjalanan menuju Batu, Malang. Aku buka sedikit jendela bus untuk merasakan sejuknya udara daerah ini. Apalagi sekarang musim hujan, pastinya di Batu nanti udaranya jauh lebih dingin.

Tibalah kami di lokasi kemping, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Kami bergegas membersihkan lokasi agar dapat segera mendirikan tenda-tenda untuk konsumsi dan P3K. Yang membawa tenda doom dipersilahkan untuk mencari lokasi paling strategis. Tak lupa kami membuat garis pembatas lokasi dan juga membuat parit-parit kecil sebagai jalan air kalau nanti tiba-tiba turun hujan.

Wangi mie instan sudah mulai tercium, sepertinya tenda konsumsi sudah mulai berfungsi. Setelah merapikan barang-barangku di dalam tenda, aku melihat ke sekeliling. Tak jauh dari lokasi kemping terlihat sekelompok orang yang datang, sepertinya mereka berniat untuk berkemah di dekat-dekat sini.

Saat tepat pukul 13.00 WIB, waktunya makan siang. Kami duduk mengitari tumpukan kayu di tengah-tengah lokasi kemping, yang rencananya nanti malam akan kami gunakan untuk api unggun. Aku duduk di depan tendaku bersama dengan Ramon sambil menikmati mie yang terasa sangat nikmat dalam situasi seperti ini.

Sedari tadi aku merasa ada yang memperhatikan wajahku. Aku berusaha melihat sekeliling, aku dapati sepasang mata yang begitu aku kenal dari sekelompok orang yang sedang berjalan melewati kemping kami. Dadaku seolah berhenti berdetak, itu Alex, laki-laki yang dulu pernah dengan sangat dalam menyakiti hatiku.

Seolah menyadari situasi itu, Ramon dengan segera berusaha mengalihkan pikiranku, “Mara, lihat itu di sebelah sana ada hutan cemara, musim hujan seperti ini terlihat jauh lebih indah, ya? Akhirnya kamu bisa ketemu juga dengan pohon-pohon yang bernama sama dengan namamu.”

Pada pukul 14.00 WIB, anak-anak Mapala beristirahat di dalam tendanya masing-masing karena kelelahan. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Aku lalu keluar dari tenda, Ramon melintas di hadapanku.

“Kok belum tidur?”

“Belum ngantuk, kamu sendiri mau ke mana?”

“Mau charger telepon genggamku di pos jaga depan. Kamu mau ke mana, Mara?”

“Mau jalan-jalan sebentar biar suntuknya hilang, mungkin mau ke hutan cemara.”

“Jangan lama-lama ya, sebentar lagi kabut sudah mulai turun. Kamu pasti kangen sama pohon-pohon kesayanganmu itu, ya?”

Di depan lokasi kemping kami berpisah, Ramon ke kiri sedangkan aku ke kanan. Aku berjalan menyusuri jalan setapak karena pada musim hujan jalan setapak ini sudah mulai ditumbuhi rerumputan dan pohon perdu. Ternyata hutan itu tak sedekat kelihatannya.

Wangi cemara sudah tercium, itu artinya hutan sudah dekat. Di tengah jalan kakiku terantuk sesuatu, aku menunduk berusaha untuk melihat, ternyata buah pinus. Buah pinus dengan teksturnya yang kuat. Sepanjang jalan buah itu aku genggam untuk merasakan teksturnya. Dari genggaman aku dapat mencium baunya, bau yang sangat khas.

Aku telah memasuki hutan cemara, wangi cemara di mana-mana. Pikiranku melayang entah ke mana, dalam hati aku berkata, “Ayah, aku telah bertemu dengan hutanmu.”

***
Cemara, itulah namaku. Tak pernah aku mengerti mengapa ayah memberikan nama itu. Ayahku seorang pelaut. Ketika aku lahir, kebetulan ayah ada di rumah. Namun, tiga hari kemudian ayah pergi melaut lagi. Hanya satu pesan ayah agar ibu memberikan aku nama Cemara Purwani. Sejak saat itu ayah tak pernah lagi pulang ke rumah.

Aku sangat menyukai alam. Dunia pecinta alam sudah aku geluti sejak masih duduk di bangku SMP. Sepertinya jiwa petualang aku dapatkan dari ayah. Saat itulah aku mengerti mengapa ayah memberikan aku nama Cemara. Ayah ingin aku sekuat pohon cemara dan wanginya tak lekang oleh waktu.

Sejak kepergian ayah kala itu, ibu tak pernah mau membahas mengenai ayah. Ibu tenggelam dalam kesibukannya bersosialisasi dengan keluarga besar dan teman-temannya. Bersosialisasi dengan cara arisan dan janjian ke salon ataupun makan siang bersama. Sedangkan aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Aku semakin dekat saja bergaul dengan alam. Seolah ada ruang kosong yang ingin aku isi di hatiku. Sejak kecil ada perasaan hampa yang selalu mengikutiku ke mana-mana dan tak mau lepas.

Dulu sempat ada seorang laki-laki yang pernah mengisi kekosongan hatiku selama beberapa tahun dengan menjanjikan sebuah keseriusan. Namun segalanya sirna dan hatiku kembali kosong atau mungkin lebih hampa dari sebelumnya. Dan di sinilah aku mengisi kehampaan hatiku dengan bertualang, entah apa yang aku cari. Sepertinya aku rindu, aku rindu ayah. Hatiku ingin menjerit sekencang-kencangnya, “Ayaaaahhh!”

***
Ramon terlihat bingung, kabut sudah mulai turun dan semakin lama semakin tebal, tetapi aku belum juga kembali ke lokasi kemping. Dengan segera ia mengumpulkan anak-anak untuk melakukan pencarian. Setelah setengah jam melakukan pencarian, hampir keseluruhan hutan cemara telah disusuri. Ketika tiba di pinggiran hutan dekat air terjun, Ramon sontak terkejut dan berteriak, “Maraaa..!”

Ramon mendapati tubuhku menggigil kaku dengan bibir yang sudah mulai membiru. Ia segera memelukku erat dan mengusap-usap punggungku agar hangat. Anak-anak yang lain membuat api unggun untuk menghangatkan udara yang sangat dingin ini. Ramon nyaris menangis melihat nafasku yang semakin tak teratur. Tubuhku tak mampu lagi menahan serangan hypothermia.

Dalam kabut tampak seorang laki-laki setengah baya tengah menunggu dengan kedua tangannya yang terentang. Aku berlari menghampiri dan menjatuhkan diriku ke dalam pelukannya. Ayah memelukku erat dengan senyuman dan uraian air mata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *