Maman S. Mahayana *
“Tengah malam tuba. Angin berdesir. Beribu ular berdesir. Tanganku berdesir. Itu tubuh/mengucur darah/mengucur darah.” Itulah kalimat-kalimat pembuka “Solilokui Ungu,” sebuah cerpen yang mengawali antologi cerpen Bara Negeri Dongeng (Yogyakarta: Jalasutra, September 2002, 183 halaman) karya Maroeli Simbolon. Di sana ada penggalan-penggalan puisi “Isa” karya Chairil Anwar. Dan secara cerdas Maroeli berhasil memanfaatkannya menjadi bagian integral dari bangunan keseluruhan cerita yang disajikan. Tema cerita yang menggambarkan peristiwa pembunuhan itu -baik yang dilakukan atau yang dipikirkan tokohnya-kemudian seperti memancarkan suasana mencekam. Melalui penghadiran citraan-citraan berdarah, ketika diselusupkan puisi Chairil Anwar itu, terciptalah serangkaian teror yang mengasyikkan. Dan tiba-tiba saja kita dijerat pesona oleh jalinan narasi yang terasa begitu puitik.
Demikianlah, salah satu penyebab munculnya greget yang berjalin kelindan antara lakuan dan pikiran tokoh dalam cerpen itu, dimungkinkan oleh kehadiran puisi Chairil. Oleh karena itu, kutipan teks puisi di sana, bukanlah sekadar tempelan, artifisial atau hanya untuk gagah-gagahan, tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerpen. Dan itu terjadi manakala ia lebur-menyatu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tema cerita. Atau, masuk mengacaukan perasaan dan pikiran tokohnya yang lalu menjelma jadi gumpalan-gumpalan kegelisahan tokoh yang bersangkutan.
Memasukkan teks lain atau pesan tertentu dalam cerpen atau novel (: sastra) tentu saja bukan tanpa risiko. Paling tidak, Stendhal (1783-1841), novelis Prancis, pernah mengingatkan itu ketika politik memasuki wilayah sastra yang dikatakannya laksana “letusan pistol di tengah konser.” Ia akan terdengar khas, tak terduga dan menciptakan surprise, jika gelegarnya menyelusup dan pas mengisi bagian tertentu dalam komposisi musik konser itu. Sebaliknya, ia akan menciptakan hingar (noisy) dan mengganggu keseluruhan, jika suara letusan pistol itu terdengar nyeleneh sendiri dan gagal menjadi bagian estetika komposisi musik konser itu.
Meskipun contoh kasus yang dikemukakan Stendhal berkaitan dengan bahaya masuknya politik (ideologi) ke dalam wilayah novel (:sastra), setidaknya langkah yang dilakukan Maroeli Simbolon dalam “Solilokui Ungu” dan beberapa cerpennya yang lain, dapat dijadikan contoh kasus yang relevan dengan peringatan Stendhal. Dalam hal ini, pemilihan puisi “Isa” Chairil Anwar itu, justru untuk mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.
Hal yang sama, dapat kita cermati pula dalam cerpen kedua “Waduk Luka” yang mengambil beberapa bagian puisi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri. Kembali, kutipan puisi itu tidak hanya memperkuat pesan tematisnya, tetapi juga menciptakan latar suasana yang penuh imaji. Dengan demikian, kehadiran puisi itu tidak sekadar kutipan an sich, melainkan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan cerita. Maka, jika kutipan-kutipan puisi itu dibuang, niscaya kita akan merasakan ada sesuatu yang hilang; cerita jadi berantakan, tema dan latar suasana yang dibangunnya akan terasa hambar.
Masih dengan teknik yang sama, Maroeli kembali melesapkan sepenggalan lagu Koes Plus, “Kolam Susu” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tema cerpen “Dongeng Pengamen di Belantara Kota”. Pola yang sama, dilakukannya lagi dalam “Nyiur Melambai Nyeri” yang mengutip sepenggalan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Dalam hal ini, kemahirannya menjalinpintal peristiwa dengan rujukan teks lain, bukanlah untuk menciptakan sebuah kolase, seperti yang pernah dilakukan Budi Darma dalam Orang-Orang Bloomington, melainkan untuk memberi efek yang lebih mendalam atas pilihan tema, latar, dan suasana peristiwa yang ditawarkannya. Jadi, teks lain itu melesap, menyatu dan berintegrasi, lalu memainkan peranannya secara fungsional dalam kepaduan intrinsikalitas cerpen bersangkutan.
Dengan cara itu, sesungguhnya Maroeli seperti sengaja membebaskan narasinya mengalir begitu saja. Dan itu dimungkinkan pula oleh usahanya menciptakan rangkaian citraan, idiom-idiom dan majas yang terasa segar, sebagaimana yang terjadi dalam puisi. Itulah sebabnya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memancarkan narasi yang terasa begitu puitik. Bahkan, kadangkala, narasinya itu condong mendekati puisi.
***
Bara Negeri Dongeng menghimpun 18 cerpen. Keseluruhannya, secara simbolik mengangkat tema kritik sosial. Di sana ada tragedi Mei, kerusuhan pascajajak pendapat, kemunafikan elite politik, kehancuran negeri dan keserakahan manusia kota, perebutan kekuasaan, pengaruh tokoh di belakang layar, dan berbagai macam peristiwa busuk yang terjadi di negeri ini. Semua itu dikemas Maroeli secara simbolik dan metaforis “dengan narasi puitik” meskipun kita masih dapat merasakan, ke mana sasaran tembak itu diarahkan. Dengan cara itu, di satu pihak, Maroeli dapat sangat leluasa menyampaikan kritik sosialnya, dan di pihak lain, ia dapat juga menyembunyikan dengan sangat rapi arah kritik yang ditujunya. Sebuah model yang sampai kini masih digunakan Danarto dan Putu Wijaya.
Lewat penyajian yang simbolik dan metaforis itulah, kritik sosial yang disajikan Maroeli tidaklah sebagaimana yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma atau Hamsad Rangkuti. Ia juga tidak mengeksploitasi konflik batin dan aliran pikiran model Gus tf Sakai atau Hudan Hidayat. Maroeli mengangkat peristiwa yang terjadi di dunia entah-berantah, meskipun arahnya jelas dalam konteks problem multidimensi yang terjadi di negeri ini. Dengan begitu, mencermati antologi ini, kita seperti dibawa ke suasana dunia Danarto yang mengalir lembut, tetapi di beberapa bagian, metaforis dan simbolisasinya mengingatkan kita pada gaya Putu Wijaya. Dan ketika kita memasuki dunia entah berantah, tiba-tiba kita ingat cerpen-cerpen Pamusuk Eneste yang mengeksploitasi masalah alienasi dan keterasingan manusia modern. Sementara itu, dari sudut pengembaraan imajinasinya, Maroeli seperti sedang berhadap-hadapan secara kontras dengan murka dan sumpah-serapah Joni Ariadinata yang liar-lugas dan meledak-ledak atau dengan keberingasan Teguh Winarso.
Dengan menyebut nama-nama itu, jelas, Maroeli sudah punya kotaknya sendiri. Penghadiran suasana peristiwa dan model narasinya, terasa lembut menyerupai larik-larik puisi. Meskipun begitu, tentu saja kita tidak dapat menyebutnya sebagai puisi naratif semacam Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi. Di situlah kehadiran Bara Negeri Dongeng menjadi penting dalam memperkaya style dan model narasi cerpen kita.
***
Bahwa cerpen “Solilokui Ungu” dan “Waduk Luka” bolehlah dikatakan berhasil memanfaatkan puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri guna menciptakan suasana latar peristiwa dan mendalamkan tema ceritanya, tidaklah berarti cara tersebut tidak mengundang bahaya. Kesan nebeng popularitas dari karya dua penyair penting itu tentu saja perlu dihindarkan. Oleh karena itu, Maroeli sepatutnya melebarkan lahan garapannya itu dengan menengok pada kultur, tradisi leluhur, folklore, dan dongeng-dongeng “termasuk mitologi” jika pola itu hendak dipertahankan.
Dengan menjalinpintal narasinya yang sarat dengan majas dan citraan puitik, sesungguhnya Maroeli telah mempunyai modal dasar yang kokoh. Tinggal bagaimana ia mengejawantahkan kekuatannya itu dengan tema yang lebih beragam. Jika tetap berkutat pada pemanfaatan teks lain, ia tidak hanya akan terjerumus pada pola klise yang basi dan membosankan, tetapi juga akan sulit mengindarkan diri dari kesan nebeng popularitas itu.
Dalam hubungan itu, tidaklah keliru jika Maroeli mencermati juga karya-karya lain yang menggunakan pola semacam yang dilakukan cerpenis lain. Danarto, misalnya, masih punya napas panjang lantaran ia rajin bolak-balik membongkar mistisisme Jawa dan kisah-kisah kaum sufi. Joni Ariadinata dalam Air Kaldera, juga telah mencoba memanfaatkan cerita-cerita ajaib para aulia dan dongeng-dongeng dalam kehidupan di dunia entah-berantah. Tentu saja masih banyak nama lain yang masih tetap bertahan hanya lantaran ia tak terkungkung pada tema cerita yang sejenis. Taufik Ikram Jamil, misalnya, tak pernah berhenti menggali kekayaan kultur puaknya. Gus tf Sakai, juga terus mengejar kultur lain sebagai bahan dasarnya. Dengan cara ini, pola narasi yang menjadi modal dasarnya itu, tetap akan terasa segar, kaya, dan tidak jatuh pada bentuk klise.
Maroeli Simbolon dalam deretan nama cerpenis kita, barangkali masih agak asing. Dengan kehadiran Bara Negeri Dongeng, boleh jadi kita patut memperhitungkan keberadaannya dalam konstelasi kesusastraan Indonesia terkini. Mencermati cara bertuturnya yang jernih dan puitik -yang justru penting sebagai modal dasar bagi cerpenis, maka tidak berlebihan jika kita mengusung pengharapan kepadanya. Sebaliknya, jika ia asyik-masyuk dan puas diri dengan antologinya ini, bersiaplah kita mengirimkan karangan bunga. Bagaimanapun, beberapa cerpen dalam antologi ini di sana-sini masih terasa begitu cair. Gaya hiperbolanya juga kadang kala agak royal, meskipun lebih bersifat simbolik atau metaforis. Jadi, kecermatan diksi tentu saja perlu dipertimbangkan secara serius, agar karyanya itu benar-benar kental dan bernas.
Barangkali begitu. Horas!
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).