(Menimbang Film Sebagai Media Kritik dan Pendidikan Alternatif)
S. Jai
Judul PITA BUTA sutradara S. JAI, KY KARNANTA skenario S. JAI editor GANJAR AHADIYAT kamera KUNCORO INDRA KURNIAWAN produser JOYO ADI KUSUMO produser eksekutif SITI NURJANAH produksi CeRCS 2009
PROLOG
BERMULA dari membayangkan ini sebuah film dokumenter yang mempertimbangkan “subjektivitas,” “feature,” dan perihal “hitam putih” tema pokok yang diangkat.
Seringkali, film bertema feature dianggap salah satu kegagalan film dokumenter. Lalu mengapa justru tergelitik menawarkan feature? Karena tak lain hasrat mencoba menggarap estetika yang justru memasuki wilayah itu tanpa terjebak dalam feature atau semi dokumenter. Artinya, tanpa meninggalkan esensi dokumenternya pada “ingatan” yang bersumber dari fakta-fakta, data, tulisan, artefak. Dengan kata lain berangkat dari kenyataan fakta real. Mengenai konsepsi “ingatan” ini sangat penting digarap secara serius. Karena selain ini terkait esensi film juga menginspirasi perihal kronologi, plot, alur film menjadi sesuatu yang mengutuhkan.
Subjektivitas itu musti karena ini film bertema kritik dan pendidikan alternatif yang ilmiah dengan standar sumber ilmu pengetahuan. Kiranya ini tawaran yang penting digarisbawahi dalam film ini. Subjektif tapi ilmiah. Fokus dan angle film mengarah pada “pernyataan sikap” yang semuanya terungkap dalam bahasa gambar. Bahkan demi menentukan hitam dan putih, meski itu tak berarti solusi. Di satu sisi subjektivitas ini memasuki ruang feature tapi di sisi lain, subjektivitas berdasarkan kenyataan ilmiah.
Film PITA BUTA berkisah tentang semangat hidup sesosok manusia. Tepatnya perihal inspirasi, yang menyebabkan nyala spirit hidupnya terus berkobar. Karena itu, dia senantiasa mencari dan menemukan gairah hidupnya-inspirasinya. Di mana saja, bahkan di jalanan. Seperti hari belakangan ini ia terinspirasi pada tembakau, betapa tembakau telah mengilhami banyak orang-orang biasa, pengusaha maupun penguasa. Ketika ia tahu dalam mitos Roro Mendut, perempuan cantik itu terinspirasi menjual rokok, namun pria satu ini terilhami upeti Roro Mendut dalam kenyataan gurita masalah tembakau. zaman sekarang upeti tak lain adalah cukai.
MELAMPAUI ARTISTIK
FILM ini menggunakan sudut pandang sosok tertentu sebagai ujung mata pisau sekaligus prespektif melihat kenyataan–data, tulisan, artefak, informasi yang berangkat dari kenyataan fakta real. Prespektif berarti mengandung pengertian “cara-cara” atau “pandangan dunia” tertentu terhadap masalah yang diangkat: menggugat alur dana pembagian cukai.
Film ini bergenre catatan perjalanan-petualangan atau tepatnya “catatan perburuan” karena mempertimbangkan bobot investigatif dalam menggali data dan informasi dengan sadar estetika film. Menimbang spirit spontanitas dan improvisasi sepanjang untuk pendalaman wilayah garapan film. Mengedepankan kekuatan penyatuan (inhern) antara gambar, prespektif, dan petualangan menggali materi. Tanpa harus terjebak pada feature, subjektivitas, profil atau kampanye kepentingan tertentu.
Film ini juga menawarkan suatu tantangan. Segala bahasa yang hendak diucapkan harus maksimal, imajinatif, tajam. Bahkan sedapat mungkin tanpa perlu bantuan bahasa lain, atau setidaknya jika perlu bahasa-bahasa lain semisal narasi atau teks dibuat seminimal mungkin sepanjang tetap mempertimbangkan film sebagai bahasa ucapnya sendiri. Termasuk juga tentu saja aspek orisinalitas- juga terhadap penataan artistik.
Resiko yang musti dibayar dengan pilihan prespektif, bakal tergelincir pada kemungkinan hadirnya tokoh atau penokohan. Meski demikian dengan kehati-hatian dan berkat gagasan yang kuat terkait tema, akan dengan sendirinya dalam film dokumenter tak perlu mempertimbangkan berlebih perihal tokoh dan penokohan. Jadi dalam film dokumenter ini sama sekali saya tak bermaksud menampilkan tokoh apalagi penokohan yang mendalam.
Secara konseptual, gagasan yang kuat pada tema, membutuhkan strategi atau teknik perfilman yang melalui diskusi mendalam titik temu dari seluruh persoalan, tantangan, dan juga kesulitan menterjemahkan dalam bahasa utuh (holistik) dari film yaitu pentingnya prespektif (sudut pandang) yang pada akhirnya menyangkut sikap subjektif.
Jadi kalaupun ada kesan hadirnya tokoh tersebut hanyalah kesan–tetapi sebetulnya adalah sudut pandang yang dalam kenyataan-kenyataan selanjutnya sangat dibutuhkan demi “menilai” kenyataan. Dengan bahasa lain, prespektif tersebut sebagai cara atau teknik untuk “mengikat” dalam satu kesatuan alur.
Karena itu, dengan prespektif tersebut juga tak mempersulit untuk memastikan apakah alurnya harus linear atau tidak. Mungkin alurnya bisa berputar atau yang lain, karena pendeknya yang amat kuat justru pada gagasan dan isi serta temuan-temuan fakta di lapangan. Selain tentu saja, banyak yang kemudian berdampak pada konsekuensi pilihan bentuk film, semisal perihal bahasa-bahasa narator tentu saja dari prespektif tersebut. Narator harus utuh dengan film dalam pilihan bentuk film dokumenter yang kita produksi kali ini. Meskipun ini bukan berarti tanpa kesulitan. Yang jelas perlu kejelian, kata perkata, kalimat per kalimat, juga idiom-idom film.
MELAMPAUI ESTETIK
SETIAP yang hendak memasuki Kediri dari arah Surabaya, seperti malam itu, musti dijemput aroma khas tembakau dan cengkeh dari dalam pabrik rokok PT Gudang Garam. Apalagi, hujan gerimis dan udara malam, tentu makin membuat pekat dan menebar bau menusuk hidung semenjak kurang lebih tiga kilometer dari gerbang salah sebuah bangunan pabrik di kawasan Semampir dan Gampeng Rejo Kediri.1)
Aroma yang amat mengganggu setidaknya bagi yang peka dengan bau-bau asing. Meski barangkali masih banyak yang ragu berbahaya ataukah tidak aroma seperti itu. Untuk sementara, mengganggu adalah kosa kata di tempat ini. Meskipun catatan-catatan tercecer menyingkap snuff 2) atau menghirup tembakau yang dirajang secara halus, juga pernah menjadi tren pemakaian tembakau. Mungkin tidak popular di sini dibanding dengan cara nginang yang sering dicampur dengan bahan-bahan lain seperti kapur, sirih, jambi dan gambir kemudian dibungkus oleh daun sirih. Sediaan ini dikunyah atau di gosokkan pada gusi untuk mengawetkan gigi. Memasuki gerbang kota, menerbangkan imaji kemana-mana. Tak terkecuali menyangkut geliat kota, warga, pemerintah, industri rokok yang bukan kebetulan salah satu yang terbesar di negeri ini. Namun catatan ini bukanlah melulu buah dari imajinasi, mungkin sedikit asumsi–yang boleh jadi sah sah saja jikapun berbalut obsesi.
Harus diakui betapa mengasyikan menggendong setumpuk obsesi, asumsi dan tentu saja tanggungjawab di punggung terkait industri rokok, distribusi cukai, buruh pabrik, sikap birokrat pemerintah. Itu semua perlu kesabaran untuk mengurai benang maupun akar-akarnya yang menjulur kemana-mana, ternyata. Termasuk juga mitos-mitos yang menginspirasi untuk membuat catatan ini.
Rokok, mengingatkan kita kepada Roro Mendut. Ia memang bukan orang Kediri, tapi sosok itu seperti hidup melampaui ruang dan waktu. Juga di sini. Kisah Roro Mendut menjadi sangat mistis bahkan hingga kini setelah dicoba dimaknai baru melalui novel oleh YB Mangunwijaya.3) Makamnya ramai dikujungi peziarah. Terutama para pedagang rokok. Mereka percaya, dengan menziarahi Roro Mendut, agar dagangannya laku keras.
Beberapa penulis yang juga memaknai mitos baru Mendut, Putu Wijaya, Pramudya Ananta Toer. Mendut adalah cerita rakyat, foklor, dongeng, mungkin sejarah yang kemudian menjadi mitos yang lahir di Pati Jawa Tengah.Yang kurang lebih ceritanya seperti ini:
Mendut ini bersetting masa Mataram di bawah Sultan Agung sekitar 1600-an. Mendut adalah nama perempuan elok molek yang terlahir dari Desa Trembagi, Pati. Mendut sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati. Kadipaten Pati (dulu namanya Pesantenan, karena penghasil santan yang kesohor, dan dikenal juga dengan penghasil dawet -minuman khas Jawa yang menggunakan santan dan cendol) adalah sebuah kadipaten kecil yang masih belum bisa ditaklukkan oleh Mataram.
Pati daerah terpencil di pantai utara Jawa. Daerah yang tentu saja bersingunggunga dengan kekuasan kerajaan-kerajaan Islam pada masanya, jika ditilik dari sejarah perjalanan bangsa yang era itu berpusat di Mataram Islam atau pengaruh Demak. Latar kisah Mendut, ketika Sultan Agung ketika menjabat raja Mataram, juga hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa. Yang jelas faktanya, Mataram hendak mencaplok Pati -sebagai salah satu kerajaan kecil di pesisir utara.
Dikisahkan, dalam mitos itu, Sultan Agung mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menaklukkan Pati dengan cara damai-alias meminang Mendut sebagai “bunga desa” di kerajaan itu. Meski Adipati Pati takluk masalah timbul ketika ia menyerahkan Mendut seorang gadis asuhnya untuk diboyong ke Mataram. Mendut telah merajut cinta dengan Panacitra yang kemudian mengikuti jejak kekasihnya ke Mataram. Berbagai jalan ditempuh Pranacitra meski menjadi jongos perawat kuda untuk memperjuangkan kerinduan cintaya pada kekasihnya.
Mendut yang makin tumbuh dewasa menolak niat Wiraguna dan justru makin tegas menyatakan ketidaksukaannya dengan gaya hidup keratin. Ia pun dikucilkan agar mencari nafkah sendiri yang ia sanggupi dengan berjualan rokok.
Fantastisnya, rokok yang dijual Mendut seperti menyihir pembeli dengan pesona lumatan bibir Mendut pada lintingan dari klobot jagung ini. Hasil jualnnya laku keras berkat bekas sedotan dan liur basah Mendut.
Memang dalam versi Mangunwijaya rokok Mendut ini sudah menggunakan tembakau. Barangkali juga disejajarkan dari laporan Raffles perihal kemudahan tembakau di era Sultan Agung. Sultan Agung sendiri menurutnya perokok berat. Dalam catatan Raffles dan Condolle disebutkan, kebiasan merokok di Jawa sudah ada sejak abad ke-17. Bahkan, Raja Mataram Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645 dicatat Onghokham dan Amen Budiman sebagai chain smoker (perokok berat). 4)
Selanjutnya dikisahkan hubungan asmara Mendut-Pranacitra dan kejayaan usaha rokok Mendut pun terendus Wiraguna. Muntahlah amarahnya lantaran merasa terhina oleh Mendut, Pranacitra dan juga Kadipaten Pati. Ditantanglah Panacitra duel maut oleh Wiraguna yang berakhir tragis terbunuhnya Panacitra oleh amarah. Panacitra tewas dengan dada tertembus keris.
Puncak tragis justru terjadi saat Mendut tergugah keberaniannya menghunus keris melawan Wiroguna. Keberanian dan cinta yang berujung kematian dan mengilhami banyak pengarang-pengarang. Mangunwijaya sendiri mengkritik mitos dengan menolak bunuh diri Mendut yang secara Islam dinilai tak beradab. Baginya Mendut sungguh beradab melampaui perempuan-perempuan, bahkan melampaui manusia sezamannya. Kurang lebih seperti itu.
Mungkin ini hanyalah suatu panorama.
Barangkali Manguwijaya juga bermaksud memecahkan perang dingin Mataraman versus Pesisiran, yang bukan mustahil mitos-mitos sekarang ini kuat karena dihembuskan orang-orang pedalaman. Mungkin. Selebihnya, saya juga tidak hendak menilai mitos Roro Mendut terutama karena saya tidak hendak mau terlibat kontroversial berlebihan semisal meragukan harga diri Roro Mendut di kalangan kaum hawa dengan rokok birahinya itu. Atau kehebatan perang terselubung antara pedalaman dan pesisiran-dinamis dan statis dan sebagainya.
Betapa tembakau telah mengilhami banyak orang-orang biasa maupun penguasa. Begitu pula halnya dengan sejarah panjang perjalanan rokok.
Sejak tahun 6000 SM, tembakau dipanen di Amerika untuk yang pertama kalinya. Kira-kira tahun 1 SM, suku Indian di Amerika mulai memanfaatkan tembakau untuk merokok. Baru pada tahun 1492, Cuba Columbus membawa tembakau ke Eropa. Kisaran tahun 1500 tembakau menyebar ke Afrika via Mesir dan ke Timur Tengah melalui orang-orang Turki. Pada tahun 1558 tembakau mulai dicoba ditanam di Eropa namun gagal. Di saat yang hampir bersamaan, yaitu tepatnya tahun 1560, tembakau masuk ke Afrika melalui orang-orang Afrika keturunan Portugis. Di sebelah Timur, tepatnya antara tahun 1530-1600, tembakau Cina diperkenalkan melalui Jepang dan Filipina. Baru pada tahun 1769, James Cook membawa tembakau ke Australia. 5)
Bahkan aroma tembakau mengilhami perihal kekuasaan, penjajahan dan tentu saja hisap-menghisap. Dikisahkan, dan ini menyangkut negeri kita, yang sempat terekam dari sepenggal kehidupan Haji Agus Salim dalam sebuah perjamuan. Ketika itu ia ditanya seorang diplomat Inggris, “Apakah gerangan rokok yang sedang Tuan hisap itu?” tanyanya. “Inilah Yang Mulia yang menjadi alasan mengapa barat menjajah dunia,” tandas Haji Agus Salim. 6)
Terang saja, ungkapan H Agus Salim ini lebih dari sekadar panorama?perihal monopoli tembakau, industri rokok, nasionalisme, kolonialisme dan segala gurita perdagangan tembakau pada massanya. Mungkin juga bagi kita, saat ini ungkapan itu adalah lukisan dengan bahan-bahan yang serupa dan objek yang sama. Atau bagi kita sekarang, itu adalah serupa cerita sejarah dengan nukilan-nukilan sejarah tembakau pada masanya.
Dari catatan sejarah, sejarah tembakau juga bermula dari hadiah , Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht (sewa) 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Itu terjadi pada tahun 1863. Di luar dugaan itu daerah penghasil tembakau berkualitas untuk pembungkus cerutu yang teruji di Rotterdam. Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874.
Tercatat juga tembakau dibawa oleh orang Belanda pertama kali ke negeri ini, yaitu pada tahun 1596 oleh Cornelis De Houtman di Banten. Sebelumnya, tidak ada kebiasaan merokok atau sejarah yang berhubungan dengan tembakau, namun 10 tahun sejak kedatangan Cornelis De Houtman tersebut, tembakau langsung populer di kalangan kerajaan Banten. Meski demikian, kemungkinan tembakau pertama kali dibawa orang Portugis, setidaknya dari muasal katanya. Tobacco, dan bukan Belanda, tabak. Mungkin juga ini asumsi yang perlu diragukan kebenarannya.
Sementara, asal mula istilah “rokok” di Indonesia, yaitu ditemukannya tembakau dan kebiasaan merokok di daerah-daerah di kepulauan Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, Motir, dan Makian sekitar pertengahan abad ke-17. Saat itu, rokok terbuat dari daun tembakau lokal, yang dibungkus dengan daun pisang atau daun jagung (rokok dengan bungkus daun jagung ini kemudian disebut klobot) dan diikat dengan seutas benang. Namun, saat itu tidak ada istilah rokok atau merokok. Rokok ala Ternate itu kemudian disebut “Bungkus Ternate”. 7)
MENENTUKAN TEKS DAN MENCARI KONTEK
CATATAN awal kami, setelah bertahun-tahun kemudian aliran Dana Bagi Hasil Tembakau ke daerah-daerah utamanya penghasil rokok dan tembakau amat potensi untuk disoal. Baik dari peraturan perundang-undangan (Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur, maupun Perda setempat. Bahkan bukan mustahil peraturan perundangan yang lebih tinggi) maupun terapannya di lapangan, dalam hal ini mengalirnya dana ke departemen-departemen di daerah sesuai yang ditunjuk Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembagian Dana Bagi Hasil Tembakau. 8)
Setidaknya diharapkan penelusuran dapat menyentuh dan menjawab pelbagai asumsi, terkait lingkaran di seputar pembagian dana-dana itu. Mengingat dana 2 persen yang jatuh ke daerah-daerah itu adalah dana “mereka sendiri” yang jumlahnya amat tidak memadai dibanding upeti besar yang disetor daerah seperti Kediri. Utamanya, masyarakat dan pemerintah amat berkepentingan terhadap dana itu.
Masyarakat berkepentingan karena, mereka merasa berhak mendapat “tebusan” atas dirinya selaku korban gurita industry rokok. Sementara posisi pemerintah berada di dua kaki: atas nama masyarakat setempat ataukah menjadi “kaki tangan” pemerintah pusat. Dua-duanya bagi pemerintah daerah sama-sama beresiko, selain permasalah pemerintah daerah tersendiri yang tentu saja menghadapi tekanan dari tiap departemen- yang ujungnya tentu saja terkait target tertentu dari pemerintah pusat: setoran cukai dari tahun ketahun yang musti meningkat.
Asumsi pertama, kalau pemerintah daerah menerapkan betul sesuai aturan Peraturan Menteri Keuangan mungkin tidak banyak soal selain menghadapi tuntutan masyarakat yang merasa berhak atas dana bagi hasil tembakau itu. (Tuntutan ini juga seberapa besar?). Sehingga bila tuntutan masyarakat terakomodasi, pemerintah daerah bisa jadi hanya merasa kurang atas 2 persen dana itu. Tentu dalam hal ini masyarakat akan digiring untuk mendukung RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga mendapat 25 persen cukai.
Persoalan lain: diantara departemen pemerintah daerah diantara yang sesuai dengan peraturan menkeu itu, boleh jadi saling adu klaim yang paling besar berperan dan berhak atas dana 2 persen itu. Persoalan berikutnya yang terkait kepentingan warga barangkali juga bisa diperhitungkan sampai dimana targetnya?
Asumsi kedua, bila pemerintah daerah tidak menerapkan betul sesuai aturan Peraturan Menkeu, juga sangat beralasan baik ditinjau dari sisi peraturan perundang-undangan (Perlu dicek mengapa daerah yang bukan penghasil rokok dan tembakau menerima puluhan persen dari dana bagi hasil tembakau) maupun jika ditinjau dari usaha-usaha pemerintah daerah untuk memenuhi kepentingan warganya utamanya terkait masalah sosial dan kesehatan. Ada semacam celah atau barangkali sebuah kesengajaan menciptakan produk hukum yang terkesan tidak sinkron yang mengundang penafsir-penafsir atas nama kepentingan warga atau kepentingan negara.
Beberapa daerah telah menunjukkan hal itu semisal dengan rencana pendirian klinik untuk korban rokok,atau komitmen yang serius menangani korban asap rokok, diambil dari dana bagi hasil tembakau.9) Artinya, Pemerintah Daerah di satu sisi dapat memanfaatkan celah hukumnya atas nama kepentingan warganya. Itu kalau mau! Pertanyaannya mengapa jika Pemda tidak mau? Dimana ambil posisi komprominya dengan warga utamanya korban asap rokok, sebetulnya data bagian kesehatan tentu bisa menghitung biaya akibat asap rokok di daerahdaerah. Bagaimana orang-orang pemerintah daerah menghadapi kenyataan seperti ini? Pertanyaan ini mengundang asumsi ketiga, barangkali ada pola hubungan kerja yang aneh terjadi antara pabrik rokok dengan pemerintah daerah setempat. Utamanya terkait pekerjaan yang dibebankan kepada pemda setempat meningkatkan bahan baku, mencegah beredarnya rokok illegal dan cukai illegal dan sebagainya.
Karena itu betapa penting mengetahui masalah perburuhan dan pemenuhannya secara mendalam terutama kaum hawa. Mengapa memilih tetap bekerja? Adakah menyentuh kesejahteraan? Serikat buruh mungkin gudangnya masalah buruh yang belakangan terjadi di pabrik rokok. Menggali juga seberapa besar pelayanan kesehatan bagi buruh- semisal terkait dampak pekerjaannya terhadap kesehatan. Informasi bisa digali dari bagian klinik apa masalah terbesar kesehatan dari kebanyakan buruh pabrik rokok. Lalu mengenai system perburuhan di pabrik. Bagaimana system perburuhannya sehingga membuat buruh tetap “betah” kerja di pabrik? Secara formal bisa menggali dari bagian kehumasan. Seberapa efektif mempekerjakan buruh-buruh pabrik? Apa bentuk lain dari komitmen serius pabrik terhadap nasib perburuhan.
Walhasil, kenyataan di lapangan, Dari sejumlah karyawan Pabrik Rokok Gudang Garam terungkap, semenjak Januari 2009, karyawan mengalami tekanan mental luar biasa. Karena memang ada perubahan, upah yang diterima kurang tapi terus menerus mendapat beban pekerjaan dengan resiko besar. Pengawasannya sangat ketat, langsung dari pemilik perusahaan (Pemilik baru menggantikan bos yang meninggal). Paling kentara terjadi pada karyawan bagian giling (linting-kretek) yang hanya menghasilkan rata-rata atau dibawah 1000-2500 batang rokok setiap hari. Itupun bekerja sampai sore. Ini dilakukan untuk lebih menjaga (alasan managemen) kualitas produk. Karena resikonya kalau tidak memenuhi kemauan managemen, karyawan harus tanda tangan. Tiga kali tandatangan berarti dirumahkan dengan pesangon 6-7 juta saja berapa tahun pun masa kerjanya. Padahal dalam sehari biasanya (sebelum januari) buruh bisa memproduksi sekitar 4000 batang rokok dengan upah 90.000 tanpa harus dihantui ancaman dirumahkan. Artinya, sekarang ini buruh linting hanya tinggal menerima sekitar 18.000-sampai Rp 45.000an saja tiap hari. Mengenai ancaman dirumahkan ini sangat berdampak pada kondisi psikis buruh, apalagi sebelumnya di bagian ini sekitar 100-an orang yang telah menggelar demonstrasi sebelumnya nyata-nyata dirumahkan- mulanya dengan alibi diistirahatkan, ternyata berlanjut diphk. 100 orang tanpa terkecuali. Menurut pengakuan karyawan dirinya dkk tertekan tapi harus berharap bertahan untuk agar mendapat pesangon pensiunan sekitar 24 juta sebagai tabungan pekerjaannya. Itu saja. 10) Karena itu, bukan hal yang aneh adaalah buruh-buruh linting PT Gudang Garam, setiap pulang kerja mesti membuat rokok-rokok linting sendiri di rumah yang tentu saja illegal tanpa cukai untuk dijual di masyarakat sekitar. Hasilnya lumayan. Bahkan tidak sedikit buruh yang nyambi di luar pabrik dan kemudian mendirikan pabrik rokok (legal/atau meragukan) sendiri dengan beberapa orang karyawan. Salah satunya adalah Pabrik rokok SRI PUJI. 11)
Yang tak kalah penting, juga melihat dari dekat dampak langsung, tak sekadar dampak lingkungan sekitar pabrik yang harus diakui sepintas lebih banyak dampak yang menguntungkan ketimbang merugikan. Setidaknya, terlihat dari sisi buruh sekitar pabrik, pengusaha angkutan, pemilik warung, pedagang lain-lain. Tapi benarkah? Seberapa besaran keuntungannya dibanding kerugiannya?. Lalu bagaimana dampak merugikan, warga yang tercemar udara, suara atau dampak kerugian lain.
Wawancara dengan masyarakat, di kampung-kampung sekarang ini berlaku kebijakan Kepala Desa yang mempermudah izin usaha kecil industri rokok. Izin mendirikan pabrik rokok gratis dan hanya mengisi blangko perizinan saja. Namun pengusaha-pengusaha kecil yang membuat rokok banyak yang menolak dengan dalih menolak “pembiayaan yang pasti bakal terjadi di belakang hari.” Yang dimaksud mungkin adalah cukai, atau mungkin setoran yang entah apa namanya. Beberapa membahasakannya dengan pajak, tapi anehnya mereka juga mengaku berurusan dengan polisi. Bila sudah mengarah ke pembiayaan itu pengusaha tak peduli lagi apakah itu cukai asli, asli tapi palsu atau palsu. Kenyataannya, dimasyarakat banyak ditemui Pemanipulasian pemasangan cukai rokok pada produk rokoknya. Yang unik diantaranya adalah, ada perusahaan-perusahaan rokok kecil yang menerapkan strategi pemalsuan dengan “mengumumkan” pada warga pengguna produk rokoknya bahwa: Bila perokok bisa mengumpulkan 10 pita cukai rokok yang utuh dari bekas bungkus rokoknya, bis ditukar dengan satu bungkus rokok terbaru. Tentu saja, cukai-cukai rokok asli tapi bekas ini kembali bisa dipakai untuk bungkus rokoknya dan dijual kembali di pasar oleh produsen-pabrik rokok.
Mengenai jaminan kesehatan, karyawan PT Gudang Garam mengaku lumayan diperhatikan perusahaan dan itu terlihat dari setiap hari ada saja yang ke klinik dan kalau mengalami berpenyakit berat tak tertangani oleh klinik, dirujuk ke luar rumah sakit di luar pabrik (belum jelas ini rumah sakit milik perusahaan atau yang dirujuk, tetapi rumah sakit milik pemerintah dengan biaya pemerintah-atau mungkin gabungan dari keduanya). Soal karyawan dengan penyakit yang berat, menurut Mening ia mengaku kadang-kadang saja kawan-kawannya mendengar, dan itu diidap karyawan bagian lain, yang tahu-tahu meninggal karena sakit.
Sebelumnya, tekanan serupa dalam bentuknya yang beda dialami buruh. Buruh linting harus rela mengantre untuk mendapatkan jatah bahan baku dengan berangkat sepagi mungkin dari rumah. Mereka mengantri di depan meja mandor. Bila mau dan bisa terjadi, mandor tidak jarang bermain mata-memangkas jatah bakunya atau malah meniadakan. Karyawan pun suka atau tidak suka musti berada dalam tekanan. Buruh pernah mengalami masa-masa buruk ketika musti dijatah oleh mandor, sehingga beberapa saat lalu menjadi pemandangan biasa buruh linting yang bekerja jam 7 pagi jam 10 sudah ada di rumah.
Meskipun kondisinya bisa lebih buruk dari catatan sebuah media, melalui program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Pena Indonesia, dan Tobacco Free Kids Campaign, VHRmedia.com di Malang, ada buruh yang dijatah melinting 2.500 batang rokok sehari. Upah untuk setiap 1.000 batang Rp 9.000. Jadi, saban minggu buruh mengantongi upah Rp 135.000 atau Rp 540.000 per bulan. Karena penghasilannya musti dipotong dengan biaya transportasi pulang pergi dan makan.12)
Boleh jadi yang paling sulit dan menyimpan banyak misteri justru pada hubungan ?gelap? birokrat pemerintah daerah dengan industri rokok. Setidaknya, tertangkap dari sinyalemen warga yang banyak mengaku tak tahu menahu perihal alur distribusi cukai. Bahkan sebagian besar warga seperti diakui mantan wartawan ini, yakin bahwa penggunaan dana bagi hasil tembakau dari cukai di Kediri tidak jelas peruntukannya. Meski warga sepakat mustinya dana itu untuk kepentingan warga.
Menurutnya hubungan perusahaan rokok PT GG dengan pemerintah itu misterius, sementara bagi masyarakat Kediri keberadaan PT GG bukan suatu masalah. Tidak ada soal dengan lingkungan sekitar. Dikatakannya, PT GG akomodatif, masyarakat sering dibantu baik masyarakat kecil maupun menengah. Boleh jadi PT GG adalah jantung dari mata rantai ekonomi, sejak transportasi, dan tenaga kerja. Pondok Lirboyo adalah salah satu yang dibantu PT GG. Justru pemerintah daerahlah sumber masalah. Sebaliknya, pemerintah disinyalir sering menakut-nakuti PT GG dengan alat birokrasinya.
Sinyalemen itu sebagai asap tampaknya memang bukan tanpa api, jika melihat dari data-data yang pernah diungkap media. Sebuah media (Seputar Indonesia) Senin, 15 September 2008 melansir penolakan PT Gudang Garam memberi THR PNS. Jumlahya tak main-main sebanyak 6.800 PNS Pemerintah Kota Kediri. Managemen perusahaan PT GG bersikeras menolak “permintaan” PNS demi alasan kepatutan. Bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan PT GG untuk member THR kepada karyawan di luar GG.
Amat berbeda dengan proposal Pemkot yang menilai tidak menyalahi aturan atau grafitikasi karena dilakukan bukan dalam kaitan kedinasan. Dalam bahasa halus ?Tidak ada salahnya mereka member bantuan dalam kerangka sosial. Nilai nominal sempat tercium media Tempo (25 Oktober 2004) terhadap anggota DPRD Kabupaten dan Kota Kediri yang mengharap THR dari PT GG. Mencuatnya kabar soal harapan permintaan THR ke PT Gudang Garam membuat para wakil rakyat cenderung diam. Dari informasi yang dikumpulkan Tempo, PT Gudang Garam selalu memberikan THR bagi pimpinan DPRD Rp 2,5 juta dan untuk anggota Rp 1,5 juta.
Setahun kemudian, tepatnya 30 Agustus 2005 media-media santer memberitakan adanya 4 mobil 50 tahun Konferensi Asia Afrika hibah PT GG masuk istana negara. Itu terungkap dari penyelidikan kasus dugaan korupsi Setneg, terkait pengadaan puluhan mobil. Waktu itu, bantahan atas pernyataan Ketua Timtastipikor Hendarman Supandji (sekarang Jaksa Agung). Bantahan disampaikan Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Anwar Nasution. Anwar menegaskan bahwa tidak ada anggaran negara untuk membeli mobil KAA. Sebab, puluhan mobil tersebut sumbangan PT Gudang Garam Tbk selaku donatur. “Mobil-mobil itu bukan dari (anggaran) keuangan negara,” kata Anwar di sela seminar Korupsi dan Penyimpangan Keuangan Pejabat Pemerintah di Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin. Seminar itu juga dihadiri Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Menurut Anwar, bantuan PT Gudang Garam itu berstatus hibah kepada lembaga kepresidenan sehingga tak diaudit. Jadi, tidak ada catatan soal potensi kerugian negara. “Semua tercatat. Seperti juga tiga (mobil) Mercedes tahan peluru, yang tadinya dinyatakan hilang, sekarang sudah ada,” jelasnya.
Tampaknya, warga sangat yakin dan menemukan pembenaran sendiri atas asumsi dana cukai tidak jelas dan tergerak untuk memberi penyadaran kepada masyarakat untuk mempersoalkan ini, mengusut tuntas aau meminta kejelasan yang semestinya pasnya untuk kepentingan warga, utamanya untuk dana kesehatan korban rokok. Faktanya, masyarakat memang banyak yang tidak mengerti cukai justru bagi mereka yang dipinggir-pinggir pabrik yang megah itu. Yang diketahui, betapa terjadi kesenjangan masyarakat miskin tanpa tahu cukai, pabrik besar serta pejabat daerah yang semau sendiri.
Mustinya, informasi penting diberikan pejabat terkait sejak dari panitia anggaran APBD anggota dewan, serikat buruh, walikota, kantor bea cukai, dinas kesehatan dan sebagainya. Apalagi, data terakhir yang musti diinformasikan adalah naiknya dana cukai yang diterima Kediri yang tentu saja bakal menyibukkan pemerintah daerah karena 2009 menerima Rp 41 miliar (tahun 2008 cuma 9,5 miliar). Boleh jadi, pemerintah daerah sendiri juga kaget dengan uang sebesar itu. Apakah masih juga tidak perlu dijelaskan penggunaannya kepada masyarakat? Mungkin karena kaget juga salah seorang pejabat Bappeda Kota Kediri seperti dilansir media sempat mengatakan dana itu untuk mengurusi kos-kos dan jamban di sekitar pabrik rokok. 13) Sebelumnya dikabarkan 70 persen dana cukai dibelikan obat dan alat khusus untuk penyakit infeksi saluran pernafasan akut melalui Rumah Sakit Gambiran dan puskesmas-puskesmas. Tentu saja berita ini perlu dicek kebenarannya.
Apalagi gurita rokok sejak politik, ekonomi, budaya di negeri ini mengingatkan pada dalam sekala ekstrem kasus penggunaan, peredaran dan tradisi opium pada zamannya- sebagaimana dicatat Raffles dalam History of Java.14) Peredaran yang meluas di seluruh pulau Jawa, dan berdampaknya pada penurunan moral penduduk, perubahan sifat serta menurunnya produktifitas mereka. Lagi pula dalam catatannya, tembakau juga disebut-sebut sebagai salah satu bahan racikan opium yang dimakan dalam bentuk padat atau dihisap sebagai candu. Cara pembuatan madat, yaitu opium mentah direbus bersama, sejumlah tembakau, sirih dan rempah lain sampai mengental. Opium, dalam catatan Raffles, merupakan racun yang daya kerjanya sangat perlahan, yang dijual perusahaan dagang Belanda ke penduduk miskin Jawa untuk mendapat uang. Setiap orang yang pernah kecanduan akan sulit melepaskan diri darinya, dan jika seluruh opium dilarang, maka orang-orang bisa mati karenanya atau menderita berkepanjangan, dan berapa banyak yang bisa diselamatkan di masa depan. Kebanyakan kejahatan, terutama pembunuhan, diakibatkan racun opium.
Seolah segalanya telah mentradisi.
EPILOG
MELIHAT fakta-fakta seperti itu, tergambar betapa gurita asap rokok sama sekali menjulur mengakar kuat lebih dari sekadar gambaran selama ini bagi kita: Perusahaan Rokok. Boleh jadi benar pabrik dan mesin, keduanya alat penghisap buruh paling canggih. Atau tidak sepenuhnya salah jikapun ada yang menyatakan bukan rahasia lagi, industri rokoklah penyokong dan pembawa jargon “Nikmat dihisap, Kuat Menghisap” Hingga miskin para penghisap asap tembakau menjadi tak berharga atau sudah jatuh miskin masih juga tak punya harga.
Akan tetapi jawaban atas pertanyaan itu ternyata bukan satu-satunya yang paling tepat-birokrat pemerintah daerah, produk peraturan perundangan, sejarah kekuasaan politik, perekonomian, sosial, kemiskinan dan sebagainya seolah saling mengambil peran yang inhern dalam suatu kegiatan “hisap-menghisap” atau saling menghisap, pada saat lain dihisap tapi pada kesempatan lain juga menghisap.
Harus diakui bahwa setidaknya untuk saat ini alasan kesehatanlah meski belum cukup memadai untuk sebagai satu-satunya jalan membersihkan dari praktek “hisap-menghisap” ini, paling signifikan. Tampaknya alasan lain belum cukup bisa menusuk jantung. Karena itu, rumah sakit menjadi contoh paling menarik sebagai ujung terjauh gurita rokok. Bahwa setiap perokok berujung pada tempat ini. Tempat yang pas untuk tak banyak, merenung, tak perlu berbuat banyak untuk memahami kampanye anti rokok, tapi data dan fakta begitu akurat. Betapa rumah sakit ujung terdekat penghisap asap rokok dan pecandu rokok. Ada ujung paling dekat lagi: kamar mayat. Jika pun mungkin, semoga mereka orang yang terakhir.
Sempatkanlah tamasya ke rumah sakiti. Di sinilah tempat paling jenak dan bebas dari asap rokok. Tercatat 456 perokok meninggal dunia dalam setiap jam. Di Indonesia, rata-rata 427.948 jiwa melayang oleh sebab yang sama. 15) Dalam data selanjutnya yang lebih spektakuler, perokok pasif menghisap 75 persen kadar bahan berbahaya ditambah separoh dari asap yang dihembuskan perokok. Jika mengacu UU No23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, zat adiktif adalah bahan yang dalam penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. Salah satu bahan yang terkandung dalam rokok adalah nikotin sintesisnya bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan. Dalam artian rokok dapat digolongkan bahan yang mengandung zat adiktif. 16)
Wajar bila masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum dari ancaman lingkungan tidak sehat dari asap orang lain. Sebaliknya, tindakan tegas tidak pernah dilakukan oleh pemerintah terhadap iklan-iklan rokok yang menyesatkan. Seperti misalnya, iklan rokok yang menyatakan memiliki kadar Tar rendah sehingga aman untuk dikonsumsi. Padahal serendah apapun kadar Tar yang terkandung dalam rokok akan berbahaya bagi kesehatan. Karena Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat kersinogenik. Di samping itu, perusahaan rokok tidak pernah mencantumkan dalam produknya tentang apa saja kandungan zat kimia yang ada dalam produknya. Tar hanyalah salah satu zat kimia yang ada dalam rokok, lalu bagaimana dengan zat-zat kimia lainnya yang terkandung dalam rokok yang jumlahnya mencapai empat ribu jenis?
Lebih 5 miliar nyawa manusia di bumi ini. Bayi, anak-anak, perempuan, remaja, aparat, pejabat, buruh, politikus, gelandangan. Mereka punya hak yang sama untuk bebas dari rasa takut. Mungkin mereka adalah tuan bagi orang lain. Tapi mereka adalah majikan bagi dirinya sendiri. Bahwa asap rokok orang lain mengakibatkan kematian, penyakit dan kecacatan.
WHO memperkirakan 0,5 juta kematian di dunia karena paparan asap rokok orang lain. 17) Manusia harus dibebaskan dari teror racun zat kimia yang diselundupkan asap rokok melalui udara, oleh siapapun tuannya, perokoknya. Manusia harus dibukakan jiwa dan hatinya bahwa di balik nikmat menghisap rokok, sesuatu telah lebih jauh menghisap kenikmatan hidupnya, bahkan merenggut kenikmatan dan kebebasan hidup orang lain.
Mungkin melenyapkan tradisi hisap-menghisap adalah pekerjaan besar. Namun yang mendesak dilakukan adalah memulai dari diri sendiri agar menolak dihisap dan tak perlu menghisap orang lain. []
*) Penulis adalah pengarang, bergiat di Komunitas Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga), Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.
Catatan:
1)Dari situs www.gudanggaramtbk.com terungkap, PT. Gudang Garam Tbk. merupakan salah satu produsen rokok kretek terkemuka yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, memproduksi lebih dari 70 miliar batang rokok pada tahun 2001 dan dikenal sebagai produsen rokok kretek yang bermutu tinggi. Dilihat dari asset yang dimiliki, nilai penjualan, pembayaran pita cukai dan pajak kepada Pemerintah Indonesia serta jumlah karyawan, PT Gudang Garam Tbk merupakan perusahaan terbesar dalam industri rokok kretek di Indonesia. PT Gudang Garam Tbk telah mencatatkan Perjuangan PT Gudang Garam Tbk hingga mencapai sukses seperti sekarang ini dimulai sejak tahun 1958. Menurut sejarah yang ditulis situs tersebut, pada tanggal 26 Juni 1958, Bapak Surya Wonowidjojo memulai usaha membuat rokok kretek dengan merek dagang “Gudang Garam” dengan bercirikan industri rumah tangga yang hanya menggunakan alat tradisional sederhana. Pada saat itu jumlah tenaga kerjanya hanya sekitar 50 orang dan menempati lahan sewaan seluas 1000 m2 yang berlokasi di jalan Semampir II/1 Kediri. Gudang Garam memulai produksi perdananya, berupa Sigaret kretek Klobot (SKL) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT), dengan hasil produksi hanya sekitar 50 juta batang pada tahun 1958. Pada mulanya pemasaran hasil produksi hanya meliputi sekitar daerah Kediri (Karesidenan Kediri).
2) Untuk lebih jelas, lihat Penelitian Sharon Gondodiputro,dr.,MARS dari Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, 2007 berjudul Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau dalam http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Rokok.PDF.
3) YB Mangunwijaya, Rara Mendut, Gramedia Pustaka Utama, 2008,
4) Buku yang dimaksud adalah Rokok Kretek, Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1987), ditulis oleh Onghokham dan Amen Budiman, atas prakarsa PT Djarum Kudus. Buku ini mengutip keterangan Dr. H. De Haen, seorang utusan VOC yang menemui Sultan Agung pada 1622 dan 1623. Selama pertemuan-pertemuan itu, konon, Sultan Agung merokok dengan menggunakan pipa berlapis perak. Lebih lanjut disebut dalam situs resma, www.kudus-city.4t.com tersebut pula keterangan Thomas Stamford Raffles, dalam The History of Java (1817), pada sekitar 1600 rokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya Jawa. Meskipun tembakau bukan tanaman asli di Jawa. Naskah Jawa, Babad Ing Sangkala (1601-1602), menyuratkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersama wafatnya Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram. Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata, sawoyose milaning wong ngaudud (Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok). Berbeda dengan Sultan Agung, rakyat jelata masa itu tidak menggunakan pipa. Cukup dilinting sendiri, kemudian dicampuri cengkeh. Istilahnya “tingwe”, alias ngelinting dewe, ya melinting sendiri itu tadi. Menurut catatan Solichin Salam dalam bukunya, Kudus Dan Sejarah Rokok Kretek (1983), yang diterbitkan oleh Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), untuk merokok orang sudah berusaha mencampur tembakau dengan berbagai rempah, seperti cengkeh, damar, atau akar-akar wangi. Demam merokok makin mewabah ketika beredar kabar, kebiasaan itu ternyata bisa menyembuhkan sakit bengek, atau sesak napas.
5) Lihat tulisan Qusthan Abqary, Rokok dan Tindakan Merokok: Antara aksiologi, Kemanusiaan dan Industri dalam www. kelindankata.wordpress.com/ Uraian tentang sejarah tembakau bersumber WHO, The History of Tobacco, yang diakses 15 April 2008 dari http://www.who.int/tobacco/en/atlas2.pdf; Qusthan Abqary baru saja menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat UGM. Tulisan tersebut diambil dari Jurnal Balairung edisi 42 yang versi sorfcopynya didapat pada www.kelindankata.wordpress.com/
6) Pramoedya Ananta Toer and Mark Hanusz, Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette; diperoleh melalui Hasan Aoni Aziz US, “Candu van Kudus”, Suara Merdeka, 1 September 2004, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/01/mur06.htm. Lihat tulisan Qusthan Abqary Rokok dan Tindakan Merokok: Antara aksiologi, Kemanusiaan dan Industri www. kelindankata.wordpress.com/
7) Dinukil dari catatan perjalanan jurnalis Khairul Ikhwan, Medan dan sejarah tembakau di deli www. khairulid.blogspot.com Sumber utamanya, Pramudya Ananta Toer dalam buku Mark Hanusz berjudul Kretek, The Culture and He-ritage of Indonesia’s Clove Cigarette. Equinox Publishing, 2000
8) Sejumlah peraturan yang dimaksud, diantaranya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008, Nomor 20/PMK.07/2009 Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007.
9) Dua daerah yang sudah berkomitmen dengan mendirikan klinik kesehatan di sekitar pabrik rokok yaitu Malang dan Kediri. Perolehan Dana Bagi Hasil Cukai dan Tembakau Kabupaten Malang tahun 2009 mendapat Rp 26 miliar. Menurut Plt Sekkab Malang, Abdul Malik dana tersebut akan digunakan Dinas Kesehatan membangun klinik pekerja rokok di kawasan industri rokok, Disperindag dan Pasar mengadakan sosialisasi kemitraan petani tembakau dengan industri rokok, pemetaan industri rokok di Kabupaten Malang, atau Badan Lingkungan Hidup membangun kawasan area merokok. Termasuk juga rutinitas sosialisasi ke pelaku industri rokok (Surya, 6 Januari 2009) Kediri Kota Tahun 2009 menerima Rp 41 miliar dan Kabupaten Rp 40 miliar. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Kediri Bambang Basuki Hanugrah, Pada tahun ini, kota tempat berdirinya pabrik rokok Gudang Garam (GG) tersebut mulai merencanakan program-program yang bersifat fisik. Masalah kesehatan dan lingkungan lebih banyak dijadikan fokus program daerah yang terdiri atas empat kecamatan itu. Terutama untuk daerah di sekitar pabrik GG. Kedua masalah itu sangat penting untuk diatasi di daerah tersebut. Sebab, banyak terdapat tempat kos yang memiliki sanitasi buruk. Salah satunya di Kelurahan Dandangan, Kecamatan Balowerti. Di area yang dekat dengan pabrik GG tersebut, akan dibangun poliklinik kesehatan modern khusus untuk ISPA. (Jawa Pos, 26 Januari 2009)
10) Wawancara penulis dengan beberapa karyawan giling borongan PT Gudang Garam, pada Pebruari 2009
11) Mengenai keraguan legalitas industri kecil seperti ini, setidaknya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200/PMK.04/2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 yang mewajibkan luas bangunan industri rokok minimal 200 meter persegi.
12) Dikutip dari tulisan Aditya Heru Wardhana Nasib Sang Pelinting, www.vhrmedia.com
13) Pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Kediri, Bambang Basuki Hanugrah, seperti dilansir Koran Jawa Pos, edisi 26 Januari 2009.
14) Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Penerbit Narasi Yogyakarta, 2008 terj Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah, hal 66.
15) Kompas, Kamis 13 Mei 2007 dan dikutip Pernyataan Hari Tanpa Tembakau Sedunia oleh Komisi Perlindungan Anak. Dalam pernyataan sikap yang dilansir www.pusakaindonesia.or.id tertulis “Permasalahan merokok pada anak adalah bencana nasional yang harus segera ditangani. Data 2004 menunjukkan mayoritas perokok memulai merokok ketika masih anak-anak. Sebanyak 78% memulai dibawah usia 19 tahun. Kenaikan perokok yang memulai pada usia 5-9 tahun ini mengalami kenaikan 471%, dari 0,35% pada tahun 2001 menjadi 1,65% pad tahun 2004. Global Youth Tobacco Survey tahun 2006 menunjukkan 3 dari 10 siswa mencoba merokok dibawah usia 10 tahun. Pada akhirnya, anak-anak ini akan menjadi bagian dari 427.948 jiwa yang melayang setiap tahunnya akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok.”
Lihat analisa Sardiyoko, dalam katalog pertunjukan monolog drama, Racun Tembakau, CeRCS bekerjasama dengan Komunitas Teater Keluarga, Oktober 2008. Lihat juga tulisan Sharon Gondodiputro,dr.,MARS Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, 2007 dalam
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Rokok.PDF.
17) Data ini digunakan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI). Sumber utamanya, WHO 2007 Protection from Exposure to second-hand tobacco smoke. Policy Recommendations.[]