Estetika Puitis Nirwan Dewanto

Tito Sianipar
tempointeraktif.com

Lalu dengarlah topan malam
ketika aku mengintai di sudut terjauh
ketika kau mengasah kuku
ketika kau perawankan tubuhmu
ketika bundaku menjadi bundamu
ketika kau mencuri terang dari kulitku
ketika aku mencuri gelap dari kitab-kitabmu

Puisi itu dibacakan oleh Andi Alfian Mallarangeng saat peluncuran buku himpunan puisi Jantung Lebah Ratu di Goethe Haus, Jakarta, Kamis malam lalu. Namun, puisi itu bukanlah milik Presiden Yudhoyono, tempat Mallarangeng bertindak sebagai juru bicaranya. Puisi tersebut adalah karya Nirwan Dewanto yang berjudul Harimau. “Saya sudah janji sama Nirwan, dan kebetulan saya memang bisa,” tuturnya.

Selain Andi Mallarangeng, sejumlah nama besar lainnya hadir dalam acara peluncuran tersebut. Sebut saja Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, budayawan Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, dan Djenar Maesa Ayu. Bambang Harymurti, Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk., tempat Nirwan bekerja, pun tak ketinggalan. Kehadiran mereka seakan memberi penekanan akan kualitas puisi-puisi Nirwan.

Simak saja pendapat Sitok soal puisi karya pria lulusan Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung itu. Menurut Sitok, karya Nirwan kaya akan imajinasi dengan meramu banyak metafora. Semua itu, ia menambahkan, masih digabungkan ke dalam satu harmonisasi imaji yang apik. “Penuh makna dan ungkapan-ungkapan baru. Tidak sekadar nyentrik-nyentrikan,” ujar Sitok.

Hal senada diungkapkan oleh Melani Budianta, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Menurut Melani, puisi-puisi Nirwan memberikan sumbangan yang berarti bagi kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Bahkan Melani berniat menugasi murid-muridnya mencari kata-kata yang belum ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Puisi-puisinya mencerminkan kekayaan wawasan, mulai dari biologi, geografi, sejarah, hingga budaya pop,” ujar Melani.

Nama Nirwan memang lekat di dunia sastra. Pasalnya, karyanya sudah sering menghiasi halaman-halaman beberapa media massa sejak 1980-an. Kepiawaiannya merangkai kata membentuk metafora indah menjadi ciri tersendiri. Liris yang terkandung dalam barisan kata-katanya juga menjadi semacam penguat identitas sastrawan ulung buat Nirwan, yang juga pendiri jurnal kebudayaan Kalam.

Buku Jantung Lebah Ratu, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, merupakan buku kumpulan puisi pertama yang diterbitkan Nirwan setelah sebelumnya urung menerbitkan Buku Cacing. “Buku Cacing adalah masa lalu saya, yang hendak saya tolak namun ternyata selalu hadir kembali. Bahwa tak sedikit yang masih berminat, itu mungkin menyatakan bahwa Buku Cacing ada juga nilainya,” tutur Nirwan dalam buku kecil yang dibagikan pada acara peluncuran.

Nilai dalam puisi itulah yang menjadi kelebihan karya-karya Nirwan. “Ia memiliki estetika yang luar biasa dengan makna yang mendalam,” ujar Andi Mallarangeng. Dan estetika itu juga dihadirkan dalam panggung yang benar-benar estetis, berhiaskan dua pot bunga rumput setinggi 2 meter dan disiram cahaya minim. Kepala-kepala yang memenuhi auditorium Goethe Haus menyimak rapi setiap penampil yang membacakan puisi Nirwan, di antaranya Maya Hasan, Sitok, dan Linda Christianty.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *