Gelombang Puisi Hasan Aspahani

Abdul Kadir Ibrahim
batampos.co.id

Membaca puisi-puisi Hasan Aspahani seperti kita tengah membaca lekuk-lekuk, turun-naik, cekung, beralun-alun lautan yang bergelombang hebat. Terbayang dan dirasakan gelombang dahsyat tengah menuju pantai-gigi pasir pantai atau gelombang kecil di tepi pantai dan semakin ke tengah lautan yang semakin membumbung. Gelombang puisi Hasan Aspahani membuat kita menjadi “mantra”.

Sebagaimana lazimnya, berlaku selama terkembangnya zaman- lautan ketika angin sepoi-sepoi, maka gelombangnya biasa-biasa saja. Bahkan ketika musim teduh, lautan selalu dikatakan oleh orang tua-tua Melayu seperti air dalam talam, tenang, berdelau, terhampar maha luas dan menakjubkan! Namun, ketika angin bertiup kencang dan semakin kencang, maka gelombang di lautan pun semakin tinggi= yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya, Natuna, gelombang “besar”, laut mengamuk.

Ketika gelombang lautan mengamuk, maka tampaklah pucuknya menyambar-nyambar, memecah buih dan memutih, yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya Natuna, disebut pula bekat. Sehigga dikenal istilah gelombang laut besar dan bekat bak ketupang- sebagai menggambarkan lautan yang tengah mengamuk akibat topan-badai yang luar biasa.

Pun ketika kita menyaksikan, mengikuti, menyimak dan menikmati puisi-puisi Hasan Aspahani, niscayalah sangat merasakan semakin meningginya gelombang yang saya maksudkan itu. Tambah lagi kalau kita sudah menyaksikan dia membaca puisi-puisinya. Dia membaca dari tekanan suara yang sedang-sedang saja pada awal pembacaan, kemudian semakin meninggi-semakin meninggi dan akhirnya terasa sangat menyentak membuat kita terhenyak dan seketika meraba perih hati-nurani atas apa-apa yang tiada patut sudah terlanjur kita buat atau alami. Maka jangan heran, ketika Hasan Aspahani sedang membaca puisi lalu seorang penyair besar sekelas Rida K. Liamsi pun sempat menitikkan airmata dan itu pula yang saya saksikan di “Batam Kota Tengkorak Hitam”.

Dalam perjalanannya sebagai penyair- yang menurut perkiraan saya, Hasan Aspahani jikapun menjadi penyair, tetapi saya sangat yakin dia tidak akan sebesar sekarang, seandainya ia menetap (berpenghidupan) di tanah kelahirannya atau berada di kota lain sekalipun. Dia muncul dan kemudian menjadi penyair yang dikenal di tanah Indonesia dan beberapa negara mana-mana dunia, tersebablah adanya oleh karena ia tinggal, menentap (berpencaharian) di Kota Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya. Tanah Melayu Kepulauan Riau (sebelumnya termasuk Riau daratan yang kini Riau) telah menjadi roh, inti-teras bagi kepengarangannya. Tanah ini telah menempa, mencemeti, menyemangati, dan membekali dia dalam membernaskan akal-pikirannya sehingga fasih memakai dan memaknai kata-kata.

Dari tanah ini (Kepulauan Riau) ada, hidup, tumbuh dan berkembang tradisi bahasa-sastra Melayu berupa cerita rakyat, syair, pantun, sapah-serapah (maksunya bukan “sumpah-serapah” atau kata yang benar “sumpah-seranah”, melainkan sejenis mantra tetapi kalimatnya pendek, singkat dan padat. Misalnya, hai ikan! Air pasang bawa ke insang/ air surut bawa ke perut/ sintak ragut/ biar putus daripada rabut/ puah!), mantra, gurindam, dan sebagainya. Di samping bahasa-sastra lisan tersebut, di kawasan ini ada sastrawan besar antara lain Raja Ali Haji, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Aisyah Sulaiman Riau, Hasan Junus, Rida K. Liamsi dan BM. Syamsuddin.

Generasi selepas itu sebagai generasi baru, antara lain ada “Budak Natuna” kata Taufik Ikram Jamil dalam makalahnya sewaktu Dialog Selatan II di Pekanbaru (1995) Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir dan Ramon Damora. Tak kalah penting, kawasan ini menyimpan “kekuatan gaib” yang luar biasa bagi lahirnya pengarang dengan karya-karya besar. Agaknya, karena dibangun dan ditopang bentangan lautan yang luas dan oleh banyaknya pulau yang kata Duad Kadir dalam satu di antara lagunya, “Segantang Lada”.

Di samping itu pula, di tanah ini pernah tumbuh, berkembang dan jaya Kerajaan Melayu (Kerajaan Bintan, Johor-Riau-Pahang-Lingga yang kemudian bernama Riau saja) dalam kurun waktu berabad-abad. Kerajaan Melayu dengan kebudayaan dan perabadannya yang sangam itu, niscayalah telah menjadi “hal penting” muncul dan besarnya nama-nama pengarang dari kawasan ini. Hal lain, di kawasan ini ketika Indonesia merdeka sebelum otonomi daerah berlaku boleh dikatakan “entah di mana kemerdekaan” itu. Dan, ketika otonomi daerah berlaku, ternyata hati-nurani, akal-pikiran pengarang tetap terusik oleh pedih-pilu kebodohan, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan, baik di darat maupun di laut yang entah sampai bila pula tak lagi “berdarah” di tengah kehidupan masyarakat.

Tanah ini, adalah tanah yang bertuah bagi pemuliaan kata-kata (bahasa) dan budi (maknanya adalah jasa tetapi tidak mengharapkan balas jasa dan berbuat baik dengan ikhlash). Sebagaimana petuah Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya “jika hendak melihat orang berbangsa/ lihatlah kepada budi dan bahasa”. Raja Ali Haji telah dengan sungguh-sungguh memarwahkan bahasa. Untuk itu atas usulan Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan kepada Guberur Riau, lalu kepada pemerintah pusat Presiden Republik Indonesia pun mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada November 2004: “sebagai pemurni bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia”.

Pada Agustus 2008 lalu, Presiden Penyair Indonesia kepenyairannya bermula dari Tanjungpinang mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia. Lalu, masih segar dalam ingatan kita, pada 28 Oktober 2008, Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan yang belakangan juga dikenal sebagai penyair dengan “gayanya” sendiri kabarnya satu-satunya kepala daerah yang mendapat menghargaan dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI atas jasanya melakukan pembinaan bahasa dan sastra di daerah. Juga menjadi pemakalah dan baca puisi serta berpantun dalam Kongres IX Bahasa Indonesia.

Anugerah pahlawan nasional yang diterima Raja Ali Haji atas jasanya dalam bidang bahasa dan sastra pada masa lalu yang makna-nilainya tetap mengkini, Sutardji Calzoum Bachri yang menerima anugerah atas “luar biasa” puisi-puisinya bagi perpuisian Indonesia modern bahkan memberi andil terhadap puisi-puisi dunia, serta Hj. Suryatati A. Manan pada masa kini menerima penghargaan secara nasional juga atas jasa dalam hal yang hampir sama, tidak dapat kita katakan sebagai sebuah kebetulan. Ketiga penghargaan secara nasional terhadap tiga tokoh tersebut, menjadi “penanda” yang jelas sudah, bahwa daerah ini memang mempunyai “marwah” dan “martabat” dalam bidang bahasa dan sastra.

Di bila-bila masa mendatang, tidaklah sebagai hal mengada-ada apabila Hasan Aspahani atau yang lainnya juga masuk dalam leretan yang mendapatkan penghargaan bukan hadiah sebagai pemenang dalam suatu sayembara secara nasional itu. Namun pada sisi lain, adalah kita tercuguk seperti kadam, ketika ada orang muncul mengkhotbahkan dirinya atau temannya sebagai penyair tapi entah di mana ia adanya pernah menulis puisi apa berupa koran, majalah, apatah lagi berupa buku atau agaknya di papan batu dengan alat tulis anak batu seperti zaman saya sekolah semasa SD dulu di kampung jauh, Natuna tak taulah.

Lainnya, tatkala rambut di kepala sudah beruban baru cerita nak menerbitkan buku kumpulan puisi, pun ada. Mengaku pula sebagai “datuk” penyair pun ada, meskipun sepengetahuan ramai orang yang bersangkutan tak dikenal dan tak pernah pun menulis apa-apa dalam bentuk lembaran apalagi di koran atau majalah. Agaknya di jendela serambi dapur ianya menulis. Seteruk itukah dunia sastra, Hasan?! Begelige, Wai!

Lain halnya dengan Hasan Aspahani karya-karyanya tak sulit diperoleh, dapat ditengok di koran-koran atau majalah lokal maupun nasional. Beberapa buku kumpulan puisinya secara sendirian atau beramai-ramai (bersama) penyair lainnya, juga ada. Puisinya, juga sudah dibincangkan ramai orang, baik dari kalangan sastrawan, kritikus sastra maupun lainnya. Agakanya, adanya penyair berkat “lampu aladin” semacam itu “lantaklah”. Bolehjadi, itu bahagian dari demokrasi juga dan “cara baru” untuk bertahan hidup?!

Di tanah Melayu, hakikat kata-kata sesungguhnya pantang diucapkan serampangan dan apalagi tidak memberi manfaat, tiada faedah, mendatangkan dosa. Kata-kata bagi orang Melayu amatlah pada inti-terasnya untuk memuliakan Tuhan, manusia dan kehidupan. Kata-kata dihadirkan dari mulut, antara hidup dan maut, tidak sekedar untuk mengucapkan atau menyampaikan sesuatu, melainkan ada kebaikan dan penuh pertanggungjawaban, baik kepada dirinya sendiri, orang lain bahkan kepada Allah SWT. Tersebab itulah, Raja Ali Haji mengatakannya “lihat kepada budi dan bahasa”. Kata-kata haruslah baik, indah dan terpuji. Bagi orang Melayu terasa amatlah perih di hati bila ada orang tengah membaca katanya membaca puisi kata-kata yang dipakainya terang benderang menyebut apa-apa alat vital manusia atau semacam dengan itu. Misalnya, kata “selangkangan”, “perawan”, “vagina”, “pelacur”, “bersetubuh”, “mani”, dan sebagainya. Jika ia paham, sadar, tahu diri bahwa ianya orang Melayu atau hidup-tinggal-menentap (berpengidupan/bermata pencaharian) dan berkarya (mengarang) di tanah Melayu, kata-kata semacam itu malu ia pergunakan. Niscayalah ia akan berupaya sedapat-dapatnya memakai kata-kata kias, simbol, metafora atau lainnya sesuai hakikat bahasa bagi orang Melayu sebagaimana kita seneraikan di atas.

Puisi-puisi Hasan Aspahani sungguh bertabur, berlompatan, dan bertepek simbol, metafora (perlambangan). Kata-kata yang didipakai sebagai rangkaian kata-kata menjadi kalimat sepanjang puisinya benar-benar pilihan, bernas, bermartabat dan memuliakan manusia, alam-lingkungan dan Tuhan. Ini artinya, dia telah berhasil menjadi penyair (pengarang) bukan sekedar berjejak dan bertapak kaki di tanah Melayu Kepualauan Riau, melainkan “mengakar ke bumi dan menggapai ke langit” meminjam “istilah” judul buku Taufiq Ismail tanah (dunia) Melayu di masa lalu, kini dan mendatang.

Kita akan merasakan betapa Hasan Aspahani seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada kita untuk rehat sebentarpun dan sebaliknya terus berlari, berpacu semakin kencang, semakin “menggila” agar mengikuti serangkaian kata-kata puisinya, baik setiap puisi maupun seluruh puisi dalam sebuah kumpulan buku puisinya. Makanya, di awal seneraian ini saya katakan, puisi Hasan Aspahani ibarat gelombang atau dengan kata lain puisi-puisinya benar-benar menjadi gelombang puisi. Merekam jitu masa lalu, mendedah bernas masa kini dan brilian ide bagi masa depan manusia dan kemanusiaan terhadap alam jua Tuhan. Penyair ini telah menjadikan kata-kata tidak seperti buih di pertemuan sungai dengan lautan, tetapi menjadikannya “mutiara” di tengah kata-kata “sakti” para pujangga.

Hasan Aspahani, menampilkan puisi saya tidak mengutif satu baris pun puisinya, karena sudah ada dalam buku kumpulan puisinya, antara lain Orgasmaya, (Sagang, 2008), yang kita masing-masing dapat membacanya yang kata-katanya bak merangkum pantun, petuah-petuah, syair, dongeng, gurindam, dan bahkan mantra. Tersebab itulah menjadikan puisinya kaya rasa, bernas nilai, sarat cita-cita, mulia pesan. Tersebab itulah, puisinya terasa tak puas-puas untuk dibaca, dinikmati dan niscayalah bila-bila masa tetap “mengkini” meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri (2004) aktual dan orisinal.

Hasan Aspahani, kalau diturutkan tulisan ini tak hendak usai. Kekayaan inetelektual dikau dalam meletakkan kata-kata pada singgasana meminjam istilah Kazzaini KS (2000) baik puisi maupun bentuk tulisan lainnya membuat orang lain hanya bisa temberang dan berkata-kata di balik jendela tua yang segera pengempapnya sampai tak berkutik. Entah berapa macam bunga untuk dapat melambangkan kata-kata yang kau “sabdakan” bagi dunia perpuisian Indonesia mutakhir dunia itu telah dicapai elok nian!

Tapi, sudahlah. Tahniah! Ehhm. Saya jadi teringat ketika kita baca puisi di Batam beberapa tahun lalu, penyair A. Aris Abeba sebelum baca puisi sempat “berkhotbah”. Katanya, jadilah penyair yang tidak terkena sindiran Tuhan, bahwa penyair yang hanya menulis syair atau puisi-puisi dengan kata-kata penuh kemuliaan tetapi tidak mengamalkan kemuliaan, atau kata-kata puisinya penuh kata-kata kotor, tidak senonoh, maka termasuklah dalam kelompoknya syaithan. Dalam kaitan ini, jangan pula awak sampai menjadi “penjual kata-kata”, nanti digelar “Nabi Palsu” dan penjaralah alamatnya. Nauzubillaahi min zaalik.

Oh, ya, kata sahabat kita di “seberang yang jauh” sayangnya sahabat itu tidak berkenan mengatakan nama daerah/kota sebenarnya daripada “seberang yang jauh” itu ternyata di kawasannya ada yang mengaku penyair, dan sudah berusia di atas 40 tahun bahkan hampir 60 tahun, tetapi kesukaannya mencaci-maki orang. Orang lain tak boleh “berpucuk” hebat, tersebab merasa ia sajalah “pemilik sahnya” hebat itu sepanjang masa. Kelakuannya sungguh susah mau disandingkan dengan Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji. Perangainya seperti budak-budak degil yang tengah berebut pisang rebus.

Mendengar pernyataan pedihnya itu, saya hendak membantah keras, tetapi dia katakan, ada baiknya kita pinjam istilah Ebit G Ade: “tanyakan kepada rumput yang bergoyang” saja. Atau kita tanyakan kepada Dewa Mendu- Selambe sajalah! Tak kesah… Saya pun menelan ludah, mengurut dada, sabar! Sidang pembaca, cukuplah seadanya seneraian ini. Mohon maaf atas segala kesilafan dan kesalahan. Wassalam.
***

Tanjungpinang, Zulkaidah 1429/ November 2008.

Leave a Reply

Bahasa »