“Janur Kuning” Membingkai “Djakarta 1966”

Pak Harto Dalam Film Nasional

Yoyo Dasriyo
pikiran-rakyat.com

WAJAH film nasional terkesan belum “dihalalkan” untuk melukiskan kisah seorang presiden seutuhnya. Belum pernah lahir film biografi alm. Pak Harto, atau mantan Presiden RI lainnya. Romantika kehidupan alm. Ir. H. Soekarno, mantan Presiden RI pertama pun, belum mulus untuk dikemas ke dalam film.

Tahun 1982, lakon “Di Pintumu Aku Mengetuk” yang siap diproduksi dengan sutradara alm. Drs. H. Asrul Sani, menghilang tanpa kepastian. Tak jelas kendalanya, rencana produksi film yang menominasikan alm. Eddy Soed untuk tokoh Bung Karno itu, berlalu begitu saja.

Kalangan orang film menyebut, saat itu kondisi iklim politik di negeri ini belum memungkinkan kisah Bung Karno difilmkan! Bahkan judul film “Di Bawah Lindungan Kabah” (1978) saja, harus kompromi dengan situasi hingga berganti judul “Para Perintis Kemerdekaan”. Film apik dan menarik dari Asrul Sani yang membintangkan Mutiara Sani, Cok Simbara, Camelia Malik, serta Arman Effendy itu, nyaris kehilangan daya jualnya atas kepopuleran novel Hamka.

Itu contoh kenyataan, yang “memasung” penggambaran tokoh Soekarno maupun Soeharto dalam media film. Keduanya belum pernah beranjak dari penceritaan berkultur kesejarahan, atau kaitan peristiwa nasional.

Kalaupun pernah lahir film “Nyoman dan Presiden” karya Judy Soebroto, sinetron “Tegar” ataupun “Kepak Sayap Burung Garuda” (Vick Hidayat), yang menampilkan tokoh Soeharto sebagai Presiden RI, hanya merangkai gambar dari momen tertentu. Bukan shooting langsung! Bukan pula film berkapasitas biografi presiden. Kenang kembali film “Peristiwa Tjikini” dalam kondisi “tempo doeloe!” Heboh yang memopulerkan filmnya, karena dukungan rekaman dari peristiwa ledakan granat, yang mengancam keselamatan Bung Karno di Cikini.

Apa pun kenyataannya, tidak akan mengubah kesaksian perfilman Indonesia, tentang potret putaran sejarah masa lampau.

Sungguh kejutan yang membanggakan, saat Era Reformasi melahirkan sinetron “Cinta Fatma” (Agustus 2007)! Terlebih, karena berkisah cinta segitiga Bung Karno di antara Ibu Fatmawaty dan Ibu Inggit Garnasih di tengah perjuangan kemerdekaan RI.

Sayang, lakon sinetron yang menampilkan Donny Damara sebagai Bung Karno muda itu kurang pendalaman. Figur Donny pun masih merentang jarak pemisah dengan sosok Proklamator RI. Tak terdukung pula dengan kemantapan vokal sang tokoh, yang dikenal amat spesifik! Sosok Bung Karno, dimungkinkan bisa tertolong, andai tidak “memaksakan” pemeran yang terlanjur dikenal jadi bintang sinetron.

Betapa pun, kemasan lakon semacam “Cinta Fatma”, sekian lama banyak didamba penonton film dan televisi. Terlepas dari kekurangannya, tapi setting lokasi klasik yang menawan, sangat membantu daya pikat sinetronnya. Selama riwayat Orde Baru, gambaran kepemimpinan alm. H.M. Soeharto pun pernah mewarnai wajah-wajah film nasional. Berlatar ragam peristiwa penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air, lalu sejumlah film nasional hadir dengan lakon kilas balik perjuangan Pak Harto. Karena keberangkatan sang tokoh dari dunia kemiliteran, film-filmnya pun berwajah potret perjuangan pasukan TNI bersama rakyat.

Figur sentral

Kenyataan lama membuktikan. Banyak film kenangan revolusi untuk kemerdekaan Indonesia, berdaya tarik spesifik dalam wajah perfilman nasional. Sukses komersial, terutama dicapai dalam kemasan lakon fiktif tanpa beban politis. Simak kembali film-film seperti “Pedjoang” (1960), “Anak-anak Revolusi” (1964) karya (alm) H. Usmar Ismail, “Sehelai Merah Putih” atau “Perawan Di Sektor Selatan” (1971) garapan alm. Alam Rengga Surawidjaya. Sebut pula film “Lebak Membara” berikut “Pasukan Berani Mati” dari Imam Tantowi, serta “Budak Nafsu” karya alm. Drs. Syumandjaya. Selebihnya, lahir film perjuangan yang mengemas peristiwa kesejarahan, tanpa penonjolan pelaku sejarahnya.

Dua film di antaranya, bertitel “Mereka Kembali” (1972) karya alm. Nawi Ismail, dan “Bandung Lautan Api” (1975) dari Alam Surawidjaya. Bisa dicermati, sukses filmnya berbeda dengan “Toha Pahlawan Bandung Selatan” kemasan alm. H. Usmar Ismail, yang menjual heroisme Mochammad Toha (alm. Ismed M. Noor) sebagai figur sentral pelaku sejarah.

Lain pula dengan tokoh Soeharto dalam film, yang dinilai bermuatan kepentingan pemerintahannya. Film “Janur Kuning” (1980) karya alm. Alam Rengga Surawidjaya, mengawali romantika perjuangan dan kepemimpinan Letkol Soeharto, dalam “Serangan Oemoem” (1 Maret 1949). Itu sebabnya, Alam Surawidjaya yang identik sebagai sutradara spesialis film epos, lebih fokus menokohkan Pak Harto dalam peperangan.

Jauh sebelum itu, alm. Usmar Ismail pun pernah melukiskan peristiwa Serangan Umum secara umum, dalam film “Enam Djam di Djogja”. Lahir pula film berjudul “Serangan Oemoem”, yang dikemas tanpa muatan politis. Bahkan, kedua filmnya tergelar, semasa tokoh “Soeharto” masih aktif sebagai perwira TNI AD.

Di luar perhitungan banyak orang, jika kemudian sang tokoh berjaya sebagai Presiden RI sepanjang Orde Baru. Film yang bertokoh sentral Letkol Soeharto itu, menguntungkan kehadiran Kaharudin Syah sebagai pemerannya.

Terlepas dari faktor kemiripan, Kaharudin Syah berdaya komersial atas gelar Aktor Terbaik di FFI (Festival Film Indonesia) 1978-Ujungpandang, dari film “Letnan Harahap” karya Sophan Sophiaan.

Tiga film lainnya yang menokohkan Pak Harto, tercatat “Pengkhianatan G-30-S/PKI” dan “Djakarta 1966” dari alm. Arifien C. Noer, bersambut film “Gema Kampus 66” karya Nico Pelamonia. Sebelumnya, Arifien pun sukses mengemas film “Serangan Fajar”, yang juga memotret peristiwa tempur di Yogyakarta. Dengan kaidah sinematografi berdaya pujian, film “Serangan Fajar” berjaya sebagai Film Terbaik FFI 1982 Jakarta.

Sukses komersial tinggi, dicapai “Pengkhianatan G-30-S/PKI”. Piala Antemas di FFI 1985 Bandung, jadi bukti pengakuan filmnya sebagai film terlaris sepanjang tahun 1984. Film itu melukiskan kepemimpinan Pak Harto lebih mendalam, pada kapasitasnya sebagai Pangkostrad. Sebuah kesaksian sejarah saat pemulihan keamanan nasional, selepas guncangan badai politik PKI. Itu film tentang duka para jenderal TNI AD yang diculik, dan jadi korban keganasan massa pendukung PKI.

Penokohan Pak Harto yang memimpin penggalian jenazah para jenderal di sumur tua Lubang Buaya, membasahkan tangis luka bangsa, dalam cekaman tragedi berdarah yang amat memilukan.

Luka sejarah yang menjemput keruntuhan pemerintahan Orde Lama. Film “Tragedi” mengenaskan di Lubang Buaya, bukan sekadar membingkai gambaran kepemimpinan Mayjen TNI Soeharto. Lebih dari itu, film yang pernah wajib tayang tiap tanggal 30 September di semua stasiun televisi, berdaya kepentingan nasional untuk mewaspadai gerakan PKI dan antek-anteknya.

Telanjur kenal

Media film yang menokohkan Amoroso Katamsi untuk figur Pak Harto, mengingatkan segenap lapisan warga Indonesia agar mewaspadai ancaman bahaya komunis. Memang, filmnya berdaya tontonan dan tuntunan! Dalam film “Djakarta 1966”, dan “Gema Kampus 66”, diungkapkan tentang kejuangan aksi mahasiswa dengan dukungan ABRI, saat pengamanan proses peralihan Orde Lama ke Orde Baru! Amoroso Katamsi–pemeran Mayjen TNI Soeharto– di film sebelumnya, lalu naik pangkat, tampil berperan sebagai Jenderal TNI Soeharto di film “Djakarta 1966” dan “Gema Kampus 66”. Sebagai tokoh pelaku sejarah, figur Pak Harto pun terbingkai dalam kemasan sinetron “Panglima Sudirman” karya Nurhadie Irawan.

Itu semua, kesaksian film nasional dan sinetron berwajah sejarah, tentang nilai kejuangan alm. Pak Harto, yang terpatri sepanjang kenangan bangsa di negeri ini. Betapa pun, figur Pak Harto di layar putih menjadi hidup dengan keberadaan sosok dan acting Amoroso Katamsi. Kecermatan sutradara alm. Arifien C. Noer dalam memotret detail acting keseharian sang tokoh, pantas diacungi jempol! Amoroso Katamsi terasa lebih pas dibandingkan dengan Kaharudin Syah. Terlebih, saat Amoroso berkostum militer dan berkacamata gelap, menguatkan kemiripannya dengan sosok dan karakteristik mantan Presiden RI itu. semasa Pak Harto berkapasitas perwira TNI AD.

Ketepatan casting Amoroso Katamsi sebagai Pak Harto, memang cermin kejelian dan keteguhan sutradara sekelas Arifien C. Noer. Sang sutradara tidak tergoda menapaki langkah alm. Alam Rengga Surawidjaya, untuk kembali menokohkan Kaharudin Syah dalam figur Pak Harto, seperti diperaninya di film “Janur Kuning”. Kedekatan figur Amoroso dengan Pak Harto, memang lebih dimungkinkan terdukung sosoknya, yang belum banyak dikenal sebagai pelakon film. Manakala tergelar adegan tragedi memilukan di Lubang Buaya, semua penonton filmnya seolah melihat keaslian figur Pak Harto. Bukan lagi tengah menonton acting Amoroso Katamsi!

Arifien pun berhasil menghadirkan alm. Dr. Umar Khayam sebagai Bung Karno di film itu, serta Syubah Asya pelakon D.N. Aidit, gembong PKI. Andai saja tokoh Pak Harto di film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” maupun “Djakarta 1966” dimainkan aktor film kenamaan, mungkin sama nasibnya dengan figur Umar Wirahadikusumah yang diperankan alm. Doddy Sukma. Orang telanjur kenal dengan Doddy Sukma, hingga tokoh Pak Umar terasa ngambang. Berbeda dengan sukses aktor alm. H. Ratno Timoer, saat berperan Pangeran Diponegoro di film “Pahlawan Goa Selarong” garapan Liliek Sujio. Atau ketika Christine Hakim memvisualkan karakteristik “Tjoet Nyak Dien” karya Eros Djarot.

Kedua tokoh sejarah nasional itu, hanya dipersaingkan dengan imajinasi penontonnya. Apa pun hasilnya, perfilman nasional dan sinetron turut bersaksi tentang sejarah perjuangan Pak Harto. Peristiwa serangan umum di Yogyakarta, maupun jasa kepemimpinannya menumpas PKI, sudah mewarnai film nasional.

Akan hadirkah film dengan keutuhan biografi figur Presiden RI? Keberadaan acara “Republik Mimpi”, seolah menawarkan kemudahan untuk pemeran tokoh nasional. Paket parodi politik di Metro TV itu, memilik sosok Pak Suharta, yang amat memiripi Pak Harto dalam kesenjaan usianya.

Kalau tokoh Bung Karno di film “Djakarta 1966” memikat, dengan olah vokal alm. Abdi Wiyono. Tokoh Pak Harto bersosok Pak Suharta, sangat mungkin hidup dengan dukungan suara Butet Kertaredjasa, sang Presiden Republik BBM. Keberadaan figur Gus Pur sebagai Gus Dur, dan sederet kemiripan tokoh yang pernah jadi payung negeri ini, memang “aset berharga” dalam dunia seni peran. Terbuka kemungkinan, suatu saat mereka dibutuhkan.
***

*) Penulis, wartawan senior, pemerhati film nasional & sinetron, tinggal di Garut.

Leave a Reply

Bahasa ยป