Pamela Allen *
kompas.com
Tradisi Baru pada awalnya diterapkan oleh Putu Wijaya pada kesenian, dalam novel Putri diterapkan pada adat Bali.
Menjelang akhir jilid pertama Putri, novel epik Putu Wijaya terbitan Grafiti (2004), tokoh Cheryl, seorang Amerika, minta Wikan, orang Bali, memijat kakinya, tetapi “jangan terlalu keras”. Wikan menjawab, “Kalau tidak keras, tidak akan ada efeknya.”
Jawaban Cheryl, “Aku tidak membutuhkan efeknya, aku memerlukan sensasinya” (Putri, jilid 1, selanjutnya disebut sebagai P1, hlm 481) bisa dijadikan sebagai metafora untuk kritik dalam novel tentang bagaimana adat di Bali dipraktikkan: sesuatu yang dilaksanakan dan dialami semata-mata untuk sensasi sesaat saja, tanpa menghiraukan alasan-alasan yang mendasari ritual-ritualnya.
Roman yang berjilid dua ini -dalam sampul belakang disebut sebagai sebuah pertanyaan panjang tentang tradisi- adalah gambaran Bali kontemporer yang diceritakan lewat riwayat hidup kedua tokoh protagonis. Putri, gadis desa yang sederhana dari Tabanan, menjadi sarjana yang pertama di desanya.
Tokoh protagonis kedua adalah bangsawan I Ngurah Agung Wikan yang, karena tekadnya lari dari puri dengan segala keberadaannya yang serba ketat, mengakibatkan murka dari pihak puri dan yang juga menjadikannya seperti layaknya seorang pahlawan. Tokoh-tokoh ini digambarkan sebagai orang Bali yang “terkontaminasi” (P1, 329, 507), suatu istilah yang pernah dipakai oleh Putu Wijaya untuk menggambarkan diri sendiri, katakanlah dalam Ubud Readers and Writers Festival 2004.
Dengan panjang yang mencakup lebih dari 1.100 halaman, karya ini bersifat kaleidoskopis dengan alur cerita yang berliku dan bermacam tokoh, antara lain: teman sekolah Wikan yang lama, Abu (seorang tukang sate Muslim yang sederhana); I Wayan Sudra, seorang balean kasim; pedagang China Sin Hwa; Gde Silur, dekan universitas yang mementingkan diri sendiri; wartawan misterius yang bernama Oka; dan Cheryl, pacar bule Wikan.
Menyatukan alur cerita dan semua tokohnya adalah usaha yang ingin dicapai oleh perusahaan raksasa Mahakarya untuk mengambil-alih Bali. Selain tipu daya, dalih, dan rasa bahwa “ada udang di balik batu” yang semuanya merupakan ciri khas novel-novel Putu Wijaya (dan juga mengundang adanya perbandingan dengan tari topeng Bali), alur ceritanya dibumbui dengan intrik politik melalui komentar tentang dampak reformasi dan otonomi daerah, cerita-cerita tentang gerakan separatis yang bernama Bali Mandiri, dan dengan menyinggung hantu-hantu G30S yang sampai detik ini masih bersembunyi di Bali (dan di tempat lain di Indonesia).
Walaupun demikian, alur ceritanya yang terkadang bersifat dibuat-buat dan bersifat ala kadarnya tak menghidupkan cerita. Malahan, cerita dibawa oleh eksplorasi secara khayal doktrin Putu Wijaya yang bernama “tradisi baru”, yang tujuannya menyegarkan kembali cara orang Bali memandang dan menerapkan adatnya.
Tradisi baru, yang pada awalnya diterapkan oleh Putu Wijaya pada kesenian, dalam Putri diterapkan pada adat Bali. Seperti dijelaskan dalam esainya yang ia tulis tahun 1994, tradisi baru terdiri dari dua aspek: pembebasan dari nilai-nilai yang lama dan penciptaan sebuah peta baru dalam kesenian. Peta baru itu “dapat dipakai sebagai referensi untuk menilai kesenian Indonesia”. Dalam novel Putri yang dinilai dengan peta baru ialah adat Bali.
Dalam novel Putri, Tradisi Baru merupakan judul disertasi Putri. Namun, dalam sindiran ironis terhadap bagaimana adat Bali dimanfaatkan dan diciptakan kembali oleh orang luar, teman Putri bernama Nelly, seorang pemudi duniawi dari Denpasar (dan anak Pak Palakarma, kepala perusahaan Mahakarya), mengambil tradisi baru sebagai konsepnya sendiri, dan menerbitkan sebuah buku yang sebetulnya ditulis oleh Putri, atas namanya sendiri. Sesudah itu Nelly-lah yang dipuji secara luas karena pengetahuan dan wawasannya. Salah satu unsur pokok dalam tradisi baru, seperti dijelaskan oleh Putri/Nelly, ialah “berpikir kritis dalam proporsi yang wajar” (P1, 214).
Berdasarkan konsep Bali desa-kala-patra (ruang-waktu- identitas), tradisi baru menegaskan bahwa satu-satunya cara memelihara tradisi adalah dengan menantangnya, yang tidak berarti menyerangnya, malahan memberikan hidup (warna) baru supaya kita “menjadi tradisional dengan cara yang lebih arif” (P1, 215). Tradisi Baru merupakan “usaha untuk melihat kembali segala sesuatu yang selama ini sudah diterima begitu saja” (P1, 230).
Menurut Tradisi Baru, yang perlu diingat ialah bahwa yang bobrok bukan tradisi itu sendiri, melainkan cara pandang orang terhadap tradisi (P1, 504). Tujuannya menjadikan tradisi sesuatu yang membebaskan, bukan sesuatu yang mengancam (P1, 307) dan tantangannya adalah mengilhami adat dengan pengertian, sesuatu yang jarang terjadi karena adat dibiarkan “tumbuh dengan kekuasaan mutlak, dan yang seyogianya berada di luar jangkauan pengertian” (P1, 351).
Suatu contoh gejala ini ialah tradisi gotong royong, yang menurut pandangan Putri telah disalahtafsirkan sehingga “setiap orang yang kelihatan maju, memiliki kewajiban otomatis meringankan beban orang lain. Pertolongan menjadi hak yang bisa dituntut orang lain tanpa melihat kenyataan bahwa sukses itu sebetulnya juga memerlukan dukungan supaya tidak ambruk” (Putri, jilid 2, selanjutnya disebut P2, 27).
Saat Putri putus asa karena dia memilih pemakaman sederhana (upacara nista) untuk bapaknya, melawan keinginan orang desa (yang setelah itu menolak membantunya dengan upacara), Abu menjelaskan bahwa ketaatan yang kuat pada adat bisa mengubah kebaikan hati dan toleransi menjadi kekakuan dan kekejaman (P2, 66). Alasan Putri memilih upacara yang sederhana, walaupun dia mampu mengadakan yang lebih besar, ialah menekankan bahwa “besar kecilnya upakara tidak ada hubungannya dengan sah tidaknya upakara… yang penting adalah maknanya” (P2, 68).
Sulit sekali mengategorikan karya Putu Wijaya. Dalam tulisan lain, saya pernah menganalisis persamaan antara sandiwara Putu Dag-Dig-Dug, Aduh, dan Anu dengan Theatre of the Absurd (dalam Contemporary Indonesian Theatre: Three Plays by Putu Wijaya, disertasi saya) dan juga unsur-unsur pascamodernis dalam prosanya (dalam Membaca dan Membaca Lagi: (Re)Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995).
Walaupun memang ada tulisannya yang mengambil Indonesia sebagai latarnya, pada umumnya cerita Putu dengan mudah bisa dipisahkan hubungannya dengan konteks; latarnya, menurut kutipan Putu sendiri, “bertolak dari yang kebetulan ada” (P2, 595), dan temanya merupakan analisis keeksentrikan dan absurditas keadaan manusia.
Jarang sekali Bali menjadi fokus cerita Putu Wijaya, yang pernah berkomentar bahwa tradisi Bali-nya hanya tampak dalam tulisannya sampai pada taraf bahwasanya karya-karyanya seperti sebuah lukisan Bali: “Di situ tidak ada perspektif… Kanvas penuh sesak. Semuanya penting.” Namun, dalam Putri, Bali secara terang-terangan menjadi latarnya sekaligus tema dan tokoh utama.
Bagi saya, ini merupakan perubahan fokus yang penting bagi Putu Wijaya, yang pernah menyebut diri orang Bali yang “terkontaminasi” atau disk error, yang rupanya telah menemukan kembali akar-akar budayanya dalam karyanya yang terakhir, dengan menggunakan Bali sebagai panggung untuk mempertunjukkan komitmennya kepada tradisi baru.
Dalam novel ini (yang menjangkau tahun-tahun awal reformasi, sesudah Soeharto jatuh, sampai akhir tahun 2001, sesudah serangan teroris pada World Trade Center di New York), Bali digambarkan sebagai sebuah pulau yang sedang dicekik oleh adat, curiga terhadap pendatang, ambivalen terhadap turis Barat, dan mudah terpengaruh oleh intrik korporasi mahabesar seperti Mahakarya, yang menjanjikan masa depan yang gemilang.
Otonomi daerah pada satu pihak telah memberi peluang kepada orang Bali untuk merayakan upacara dan ritual adat dan di lain pihak menimbulkan kecenderungan menjadi picik, suatu sifat yang tidak sesuai dengan keterbukaan yang selama ini menjadi ciri tradisi Bali (P1, 254).
Bahwa Bali berpotensi menghasilkan rakyat yang cendekia dan sadar terlihat dalam pengalaman Wikan. Setelah belajar beberapa tahun di Amerika, dia kembali ke Bali dan menemukan dalam sosok Abu seorang “guru besar yang tidak memakai titel, tetapi yang bisa memberikan kearifan hidup yang tak mungkin didapatkan dari kampus mana pun” (P1, 299).
Dalam novel ini tradisi Bali ditunjukkan dalam adat-istiadat dan ritual yang lama di Puri Puncak, di mana “(s)egala upacara yang besar dan kecil setiap hari mengalir seperti air leding, tidak putus-putusnya, membuat kehidupan pribadi sama sekali tidak berarti. Semuanya untuk kesempurnaan upacara. Dan semua upacara itu punya aturan-aturan njelimet yang sangat otoriter… membuat hidup seperti dalam penjara” (P1, 288-289).
Walaupun dari semula Putri berkata bahwa dia mau menjadi guru saja, keluarganya dan temannya tahu bahwa cita-citanya sebenarnya lebih agung. Lagi pula, peristiwa dan keadaan tanpa henti mencegahnya mencapai keinginannya yang sederhana itu. Pada hakikatnya cita-citanya adalah “mencari jalan buat mereka yang tak setuju dengan yang hal-hal yang dijadikan tradisi dan disesuaikan dengan adat, tetapi tidak melalui permusuhan” (P1, 282).
Salah satu cara mencapai tujuan ini adalah dengan mengakui kenyataan bahwa “tak benar semuanya mutlak” (P1, 305). Sekali lagi ini merupakan bagian penting dalam kredo Putu Wijaya sendiri, yang menyangkut apa yang disebutnya “akrobatik”, ketika dia mencoba “membalikkan kekalahan itu menjadi kemenangan” dan “melakukan reinterpretasi terhadap segalanya setiap saat sebagaimana yang diajarkan oleh “desa-kala-patra” dalam kebijakan lokal tradisi saya di Bali” (Wijaya 2004, 215).
Usaha Putri melaksanakan Tradisi Baru dibentuk oleh beberapa perjumpaan yang tak disengaja serta yang mungkin dapat disebut Socratic dialogue dengan sejumlah tokoh yang penting di dalam novel, yang secara bergantian mendorong, menantang, mempermudah, dan menghambat kemajuannya.
Contohnya, wartawan Oka -yang terlebih dulu mengakui bakat Putri dan yang memastikan bahwa Putri tidak mendapat pekerjaan enak sebagai dosen seperti yang diinginkannya- muncul pada saat kritis untuk menghadapkan Putri pada kenyataan yang tidak menyenangkan. Misalnya, Oka menuduh Putri takut mengambil risiko dan rela mengorbankan diri pada adat dan keluarganya (P1, 387).
Pengalamannya tiga bulan tinggal di komunitas Ittoen di Jepang (serupa dengan pengalaman Putu Wijaya sendiri) tidak hanya mengajarkan pada Putri tentang bagaimana “mengekang diri” (P2, 429), tetapi juga bahwa tinggal dan bekerja dalam sebuah komunitas tidak berarti keberadaan individu itu menghilang begitu saja (P2, 448). Lagi pula, seolah-olah kita sebagai pembaca menyaksikan pengarang membentuk watak Putri, waktu pengarang menyelipkan diri ke dalam cerita melalui kutipan dari Tradisi Baru, doktrin yang rupanya diajarkan oleh si pengarang Putu Wijaya kepada si protagonis Putri.
I Ngurah Wikan, yang berkata bahwa “menjadi orang Bali terasa terlalu sulit” (P1, 288) mencoba mengingkari adat dengan meninggalkan Puri ketika kembali dari Amerika, dia merasa menjadi “benda asing” (P1, 288), dan yang fanatismenya terhadap adat dia anggap merupakan kurangnya pengertian bahwa ‘dunia sudah berubah'” (P1, 371).
Wikan tidak hanya menolak kekangan adat; dia juga menyatakan perang terhadap segala sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang lupa daratan: “judi, alkohol… kemerdekaan, demokrasi, reformasi… ideologi bahkan agama” (P1, 370). Namun, selain bersifat “asyik dengan dirinya” (P2, 5), Wikan impoten, suatu metafora yang bisa dibaca dalam berbagai cara: ketidakmungkinannya untuk benar-benar bisa meninggalkan puri (karena, menurut sesepuh dari Puri, “[h]ak bisa dilepaskan, tetapi kewajiban mustahil. Kewajiban adalah utang seumur hidup yang tak akan pernah lunas” {P2, 353}); kegagalannya menutup jurang antara Timur dan Barat melalui perkawinannya dengan Cheryl; ambivalensinya terhadap Bali, yang tercermin dalam kegalauannya atas rasa cintanya pada Putri. Dalam kata-katanya sendiri, impotensinya membuat dia merasa bahwa dia telah kehilangan jati dirinya sendiri (P2, 3).
Reevaluasi “ke-Bali-an” dalam novel ini sering kali berfokus pada hubungan problematik antara Bali dan dunia Barat, khususnya mengenai industri turisme yang begitu penting untuk ekonomi pulau itu. Untuk saya, trope yang agak klis- yang dipakai untuk menggambarkan isu ini tak begitu efektif. Sebagai contoh, misalnya, hubungan asmara (yang pasti jadi) yang penuh kesukaran antara orang Bali yang bingung dan cemas (I Ngurah Agung Wikan) dan perempuan Barat yang menduniawi dan seksi (Cheryl).
Meski demikian, isu yang disoroti melalui berbagai macam sub-plot itu penting karena mencerminkan dialog yang sudah lama berlangsung di Bali, dan yang sudah disentuh secara terbuka dalam karya penulis Bali yang lain.
Sementara itu, penulis seperti Gde Aryantha Soetama memberikan sekilas gambaran tentang bagaimana dampak modernitas secara umum dan turisme secara khusus pada kehidupan individual orang Bali, dalam Putri fokusnya kanvas yang jauh lebih besar: Bali seutuhnya, khususnya hasrat yang menggebu mengembalikan wibawa kepada orang Bali, yang “tidak ingin lagi hanya menjadi ikan-ikan hias di dalam akuarium pajangan.
Mereka juga ingin menjadi pelaku sejarah, seperti penduduk dunia yang lain” (P1, 254). Menurut Putri, “Bali sudah waktunya berhenti menjadi tontonan dunia” (P1, 351).
Yang lebih penting lagi adalah usaha menginterpretasikan dan menghidupkan kembali adat Bali, diceritakan secara mayoritas melalui pandangan tokoh perempuan protagonisnya, Putri, yang mengingatkan bapaknya Mangku Puseh bahwa “(w)anita bukan hanya tukang masak dan tukang cuci saja” dan yang tidak rela melihat kaum perempuan diinjak-injak atau dimanfaatkan karena kenaifannya (P2, 41).
Selain Oka Rusmini, hampir tak ada penulis prosa Bali lain yang mengistimewakan suara perempuan serta menyingkapi dalam karyanya dampak adat Bali pada kehidupan wanita Bali kontemporer. Putri mengingatkan kita bahwa “(p)erempuan, dalam kehidupan pernikahan di Bali pada umumnya, adalah anak hilang yang menjadi hak laki-laki dan keluarganya” (P1, 352).
Walaupun karakterisasi Putri dalam novel kadang-kadang bernada “memuja kaum wanita” (lain dengan Wikan yang manja dan terobsesi dengan diri sendiri, misalnya, Putri selalu bermurah hati, sepi ing pamrih, sabar, manis dan setia), bakat intelektualnya, kemampuannya mempertanyakan dan mengelakkan bagian adat yang dianggapnya busuk, keterampilannya dalam bisnis dan cara dia mentransformasikan adat nyentana -di mana wanita boleh melamar lelaki- menjadi tindakan kekuatan daripada kelemahan, semuanya mengisyaratkan adanya pemulihan wibawa perempuan.
Novel Putri juga bisa dibaca sebagai “pertanyaan panjang” tentang kekuasaan. Wikan menantang pelaksanaan adat di Bali antara lain karena adat sudah menjadi alat kekuasaan sehingga orang takut melanggarnya tetapi, dalam pada itu, tidak tahu mengapa mereka melakukan berbagai upacara (P1, 487).
Menurut dia, “(a)dat seringkali diciptakan oleh manusia untuk menegakkan kekuasaan” (P1, 488). Akibatnya, orang Bali dibenarkan menghukum pendatang -serta menguatkan statusnya sebagai orang luar- kalau mereka melanggar adat sebuah desa tertentu.
Dalam jilid kedua, gagasan Bali merdeka banyak dibicarakan, dilambangkan dalam Bali Mandiri, sekali lagi dengan fokus pada status pendatang dalam konsep tersebut. Abu, misalnya, dituduh melawan Bali Mandiri karena dia bukan orang Bali (P2, 131).
Mungkin tidak mengherankan bahwa pemimpin Bali Mandiri juga sangat terlibat dalam korporasi Mahakarya. Sebelum dibunuh, Palakarma menempatkan diri sebagai bakal pemimpin Bali merdeka, yang menguatkan ide bahwa kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi berjalan seiring.
Walaupun dapat dikatakan bahwa otonomi daerah sedikit banyak sudah menghasilkan otonomi dan kemerdekaan di Bali, seperti juga di tempat-tempat lain di Indonesia, dikesankan dalam novel Putri bahwa otonomi daerah juga sudah mengembangkan sovinisme dan eksklusivitas yang tidak sehat, serta memperkuat kedudukan penguasa -semacam “feodalisme baru” (P2, 265).
Dalam novel ini Putu Wijaya mengemukakan “pertanyaan panjang” tentang apa artinya menjadi orang Bali, bagaimana kebalian dapat ditransformasikan oleh Tradisi Baru dan bagaimana desa-kala-patra bisa diubah dari “kata-kata pasti” menjadi pengertian bahwa “kebenaran tidak satu” (P2, 592).
*) Pengajar di School of Asian Languages and Studies, Universitas Tasmania.