Eny Rose*
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/
Prolog: (Jiwa tersandung kabut raga tak henti merintih, malam terbelenggu cinta nan ayu. mozaikmozaik rindu menggertak sunyi. Namun, bintang thariq masih bernafas di sela cakrawala, sang mega kelana. Rerintik hujan pun turut mengiang di kahyangan percintaan sembari temani liku anggara nan merunduk sayu bagai sang khafadha setia menjaga adam dan hawa).
Aku sedih. Kadangkala aku juga merasa stress dengan problem-problem yang kuhadapi selama ini. Sesekali aku sempat bertanya pada diriku sendiri. Apakah Allah sungguh benar-benar menyayangiku sehingga selalu memberi cobaan berat seperti ini? Aku harap semua ini dapat menjadikan aku sabar dan dekat dengan-Nya. Namun, kalaupun ini adalah kemarahan-Nya, aku memang pantas mendapatkannya. Karena selama ini mungkin aku memang BANGSAT pada kekasih yang menyayangiku.
* * *
Sejak berusia dua belas tahun, ibu dan bapak cerai, lantaran gaji bapak sebagai pembuat sekaligus penjual sandal dan sepatu relatif kecil. Kadang menerima pesanan dan kadangkala satupun tidak ada pemesan sekaligus pembeli. Bapak bekerja ekstra. Meskipun gajinya pas-pasan, bapak juga salah seorang guru ngaji TPA. Ya, mungkin karena ibu matre, dia tega meninggalkan kami semua.
Ibu meninggalkan kami sejak adikku baru berusia lima tahun. Saat itu adikku masih tinggal di bangku TK. Dan aku masih kelas dua SMP. Sejak kepergian ibu, kehidupan keluargaku sungguh dramatis. Apalagi jika melihat bapak. Bapak menjadi tidak karuan. Kalau boleh dibilang, sejak itu bapak menjadi orang super sibuk. Di samping mengajar TPA, membuat sekaligus menjual sepatu dan sandal, bapak masih juga memasak, mencuci, merawat adik, antar-jemput adik ke sekolah, beres-beres rumah, dan masih banyak lagi yang dikerjakan bapakku saat itu. Tapi, sebagai anak perempuan, aku juga kerap membantunya. Ya, sekedar nyapu lantai sih bisa. Sesudahnya aku terus belajar.
Aku tinggal di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Bukan sekedar nyapu lantai saja, aku juga mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya. Itung-itung meringankan beban bapakku di rumah. Aku juga sedikit-sedikit bisa masak. Aku bisa masak karena belajar dari tetangga sebelahku, namanya budhe Tum. Budhe Tum sudah aku anggap sebagai saudara sejak dulu. Dia kerap membantu aku dan bapakku setiap kali dibutuhkan.
Di tengah problem keluarga yang cukup komplek, bapakku tidak menyurutkan rasa kasih sayangnya kepada aku dan adikku. Bapak sungguh pria yang sabar. Dan yang paling aku kagumi adalah ketakwaannya. Kadang aku sempat terenyuh melihat bapakku saat dia sedang mengerjakan pesanan, ditemani adik yang bermain-main di dekatnya. Bapak kerap meneteskan air mata saat adik bertanya masalah ibu. Apalagi saat adik bercerita tentang ibu teman-teman sebayanya. Tidak hanya itu, permintaan-permintaannya untuk dibelikan mainan bagus juga sempat merepotkan bapak. Bapak kerap pergi sambil menangis saat dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kadangkala bapak hanya menjawabnya dengan lirih dan berat hati. ?Sabar, nak. Allah selalu menyayangi dan mengasihi kita semua. Sabar ya??
Untuk sedikit meringankan beban hidup keluargaku, budhe Tum sempat menasehati bapakku agar segera menikah. Tapi bapak selalu menolaknya. Bapak takut kalau istri barunya tidak menyanyangi aku dan adik. Barangkali bapak juga masih trauma atas pernikahannya dengan ibu. Ia masih takut akan kegagalan dalam berumah tangga.
Pernah suatu ketika ibuku meneleponku di rumah budhe Tum. Dia bermaksud mengajakku dan adikku, Haris untuk tinggal di rumahnya. Katanya sih, ibu sudah hidup enak. Dia hidup serba kecukupan dalam rumah yang mewah. Ibu saat itu sempat memberiku nomor rumah dan juga nomor telepon.
Ibuku tinggal di Yogyakarta. Lantaran aku tidak berminat dengan tawarannya, aku pun eggan pergi ke rumahnya. Aku tidak berminat tinggal bersama ibuku. Semuanya itu lantaran aku tidak sudi tinggal serumah dengan seorang pelacur. Ya, ibu melacurkan diri sejak dia meninggalkan kami. Bahkan menurut sebagian teman-teman bapak yang kerap tugas ke luar kota, ibu malah mendirikan tempat pelacuran di dalam rumahnya itu.
Aku kerap menangis, saat aku merenungkan realitas kehidupan bapak dan ibu. Aku kasihan dengan bapak yang telah lama ikhlas dan sabar mengurusku sendirian. Jika aku ingat ibu, aku merasa benci banget sama dia. Kadangkala aku ingin mendatanginya dan mencaci-makinya biar dia malu atas kebejatannya. Tapi aku selalu ingat nasehat bapak. ?Sabar anakku. Jadi orang itu harus sabar ya!? Mungkin kata-kata itu yang selalu mencegahku untuk berbuat brutal kepada ibuku. Ya, kata-kata itulah yang terus memberkas dalam jiwa dan perasaanku.
Suatu pagi bapak dan adik pergi entah kemana. Pamitnya sih mau membelikan adik mobil-mobilan. Aku sempat melarangnya. Alasanku melarangnya karena beberapa hari ini aku mimpi buruk. Dalam mimpiku ibu datang dengan tawanya yang gak karu-karuan. Saat itu terjadi di depan toko sepatu milik bapakku. Tampaknya ibu menertawakan bapak yang hidup dalam kekurangan. Tapi, bapak tidak memperdulikan himbauanku. Bapak dengan bahagia meninggalkan rumah untuk membelikan mobil-mobilan adikku.
Rasanya baru kali ini aku menemukan senyum kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah bapakku. Bapakku sejak kepergian ibu tidak pernah terlihat sebahagia seperti saat itu. Bapak bahagia karena saat itu dapat membelikan adik mobil-mobilan. Ya, kebahagiaan yang jarang aku temukan pada bapak selepas kepergian ibu.
Pernah sih aku melihat bapak tersenyum. Tapi, ya hanya sekedar senyum-senyum biasa. Dalam senyumnya itu bapak kerap berkata lirih sambil memaknai realitas kehidupan yang dijalaninya. ?Aku hanya bisa ibadah dengan ini, lantaran aku tak punya harta yang bisa aku sedekahkan. Ibadahku hanyalah memberi kasih sayang kepada sesamaku. Begitu juga kepadamu dan adikmu, nak. Ingatlah nak, biarpun kita miskin harta tapi sungguh jangan sampai miskin iman.?
Begitulah nasehat yang sering aku dengar dari bibir bapakku untuk aku dan juga adikku.
Suatu peristiwa naas terjadi menimpa bapak dan adikku. Peristiwa naas itu terjadi ketika bapak mengantarkan pesanan sepatu kepada pelanggan sepulangnya dari toko mainan. Biasanya pemesan mengambilnya sendiri ke toko. Entah mengapa saat itu bapak sendiri yang mengantarkannya. Mungkin sudah cukup lama pesanan itu tidak diambil orangnya. Memang, bapakku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang baik hati terhadap sesamanya. Tapi baru setengah perjalanan, bapak dan adik yang saat itu bersepeda kumbang disapa seseorang. Dan bapak menolehnya. Tiba-iba tanpa sadar ada mobil yang dengan kecepatan tinggi memakannya dari depan. ?Ya, Allah. Sungguh apa yang kaulakukan pada bapak dan adikku? Kau telah mengambilnya dariku! Sungguh tidak pantaskah kami hidup bahagia? Harus hidup dengan siapakah aku, sementara ibu saja bersikap begitu? Itulah ungkapan keluhku saat mendengar kabar bahwa ayah dan adikku meninggal dunia dalam kecelakaan itu.
Tapi berulangkali aku teringat dengan ucapan bapak yang sempat terngiang-ngiang di telingaku. ?Sabar, nak! Jika Allah menciptakan makhluknya, maka sudah pasti Dia selalu menyayangi, menjaga, dan juga memberinya rezeki.?
Setelah tujuh hari dari kematian bapak, budhe Tum mengajakku tinggal bersamanya. Budhe Tum juga menyekolahkanku sampai lulus SMA. Ia merawat dan membiayaiku sekolah dikarenakan sejak dulu dia telah menganggapku sebagai keluarga sendiri. Selain itu, anak-anaknya juga sudah besar dan bekerja. Bahkan ada juga yang telah berkeluarga serta hidup enak.
Dalam kehidupanku yang baru, tiba-tiba ibuku kembali datang padaku. Entah, angin apa yang membawanya hinggap dalam kehidupanku saat itu. Ibu tiba-tiba menelepon aku. Saat itu, aku ceritakan semua kepahitan hidup yang telah terjadi. Setelah kuberitahukan semuanya, ibu menangis dan esok harinya aku langsung dijemputnya dengan mobil mewahnya.
Sebenarnya aku menolak untuk ikut. Tapi ibu memohon-mohon kepada budhe Tum layaknya pengemis jalanan yang meminta sepeser uang kepada seorang majikan. Budhe Tum pun tak bisa berbuat apa-apa lagi lantaran dia tidak punya hak atas diriku. Dia akhirnya merelakan aku pergi bersama ibuku. Walaupun dengan berat hati ia harus melepasku. Dengan berat hati pula aku meninggalkan budhe Tum. Dan aku pun hidup bersama ibuku di rumahnya. Meskipun demikian, budhe Tum masih kerap meneleponku. Dan tidak jarang juga dia menasehatiku.
Sebulan sudah aku berada di rumah ibu. Tapi sekali pun, aku tak boleh keluar rumah. Ibu begitu senang keluar rumah. Dalam kepergiannya itulah ia membelikan segala keperluan yang aku butuhkan. Dan saat dia di rumah, telepon tak henti-hentinya berdering memanggil ibu. Anehnya, saat ibu tak ada, tak ada satu pun telepon untuknya. Aku juga heran. Di rumah itu aku tak pernah melihat satu pun alat kontrasepsi atau sejenisnya, minuman-minuman keras atau barang-barang yang mencurigakan seperti apa yang terlukis dalam benakku selama ini. Dan saat aku tanya kenapa aku tak boleh keluar rumah, dengan tegas ibu menjawab: ia takut kalau aku terpengaruh pergaulan di sekitar yang begitu bebas.
Bullshit!!! Dasar orang-orang semuanya pada brengsek! Ternyata berita yang aku dengar tentang ibuku semuanya cuma fitnah. Mereka bilang ibu pelacur-lah, mendirikan germo-lah, ujung-ujungnya cuma apa?! Nol banget! Aku menyesal sudah mengata-ngatai, mencurigai, bahkan dalam hati pun aku menyumpahinya. ?Ibu, maafkan aku!? Rasanya aku tak pantas jika disebut sebagai putrinya. ?Ya, Allah. Sungguh ampuni aku yang telah lama mendurhakai ibuku!?
Ibu sempat mencarikan aku jodoh dengan seorang pria tampan, gagah, dan pengusaha besar. Dia berusia kira-kira tiga puluhan tahun. Tapi itu hanya sekedar perasaan dan sepintas penglihatanku saja. Aku pun dengan senang hati menerimanya. Aku percaya seratus persen pada ibu. ?Terima kasih, ibu. Terima kasih atas ketulusanmu!?
Suatu malam aku diajak tunanganku kencan. Tapi tiba-tiba hujan menggagalkan rencana kami. Bahkan tunanganku, mas Fadhli, tak dapat pulang. Ia akhirnya terpaksa tidur di sofa di ruangan keluarga dekat kamar ibuku. Sementara aku masih seperti biasa, tidur di kamarku di lantai atas.
Sudah hampir dua bulan aku tinggal bersama ibu. Dan sepertinya aku mulai melupakan kenangan-kenangan bersama bapak, adik, dan budhe Tum. Tapi, aku masih senantiasa mendoakannya. Aku juga tak lupa menelepon budhe Tum. Kadang-kadang ia sendiri yang menelepon aku. Tapi, tiba-tiba saja malam itu aku bermimpi tentang bapak, seperti peristiwa delapan tahun lalu. Ya, waktu itu bapak berkata pada ibu:
?Bu, kalau kamu mau pergi, silahkan! Tapi jangan bawa anak-anak. Karena ibu hanya akan menyakiti mereka.?
Begitulah ujar bapakku kapada ibu waktu itu. Sungguh kata-kata itu kembali menyelinap dalam mimpiku. Kata-kata itu sama persis dan bahkan dalam situasi yang sama. Lantas aku terbangun dengan irama jantung terengah-engah. Melodi pikiran morat-marit. ?Ya, Allah. Ternyata cuma mimpi!? sebutku.
Tak tau kenapa, tiba-tiba pikiranku gak enak banget. Pikiranku selalu diburu kecemasan. Padahal aku juga sudah mendoakan bapak sehabis bangun dari mimpiku. Sebentar kupandangi langit-langit kamarku. Dan sesekali kuarahkan kelopak mataku yang masih sayu ke sudut-sudut ruangan. Pun kudapati jam dinding yang tergantung di sisi kiri tempat tidurku. Ternyata waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Akupun keluar kamar dengan maksud mengambil segelas air minum.
Aku berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling. Aku takut suara langkah kakiku terdengar dan membangunkan ibu, pembantu, dan juga mas Fadhli. Tapi baru dapat setengah tangga langkahku terhenti.
?Apa yang terjadi di mataku? Ya, Allah. Apa ini?? kataku dalam hati.
Hatiku tersentak dan tercabik-cabik saat melihat kejadian itu. Kudapati ibu dan mas Fadhli berciuman di sofa. Lantas mereka berdua masuk ke kamar ibu.
?Apa yang mereka lakukan, ya Allah?? begitu sebutku.
Ibu memang masih muda. Kira-kira tiga puluh lima sampai tiga puluh delapan tahun. Ia juga suka berdandan. Bahkan jika disandingkan denganku, aku sudah pasti kalah cantik denganya. Maklum, aku jarang sekali berdandan. Boleh dikatakan tidak pernah sama sekali. Tidak hanya itu, mungkin saja karena aku yang selalu diselimuti derita dan airmata serta kesusahan hidup yang membuatku kalah cantik dengannya. Ya, mungkin karena kecantikan ibu melebihi kecantikanku sehingga malam itu mas Fadhil tergoda dengannya. Tapi aku sungguh tak menyangka, kalau ibu tega menyakiti putrinya sendiri.
Kuteruskan saja langkah kakiku yang beriring kehancuran hati yang begitu pilu. Aku berdiri tepat di depan kamar ibu. Kuteteskan pula linangan air mata kesedihan dan juga hati yang terbanting atas peristiwa malam itu. Lirih kudengarkan suara ibu.
?Sayang, sudah lama kita tidak??
Suara itu kemudian hilang, berganti canda-gurau mereka. Sungguh aku tak tahan lagi. Akhirnya terselip dalam anganku untuk segera membuka pintu kamar itu. Aku benar-benar muak dengan mereka.
?Ups!!! Tidak. Aku mesti mikir ribuan kali untuk membuka pintu kamar itu. Ya, bagaimana jika aku benar-bemar membukanya?! Apa aku tidak malu melihat mereka??
Saat pikiranku terhempas gelombang tanya seperti itu, tiba-tiba tubuhku lemas. Aku terduduk di bawah pintu. Pikiranku pun kosong. Aku hanya diam terpaku.
Beberapa waktu kemudian, mas Fadhli membuka pintu. Dia langsung duduk sembari memegang kedua pundakku. Dia pun diam sambil menatap kedua mataku yang basah dengan linangan air mata. Entah dia kaget, merasa bersalah, malu?! Atau bahkan dia malah menertawakanku?! Entahlah?!
?Wahai anakku, sabarlah! Ingatlah Tuhanmu! Kembalilah kepada-Nya karena kemarin dan hari ini kau telah lupa.?
Tiba-tiba suara itu terbesit di telingaku. Suara itu berasal dari arah tangga. Ya, aku ingat suara itu. Itu suara bapakku. Akupun menolehkan kepalaku dan kutemukan bapak duduk tersenyum di sana.
Aku tersentak. Aku melepas genggaman tangan mas Fadhli yang merekat erat di pundakku. Aku berlari menghampiri bapak. Tapi baru setengah langkah, bayangan itu hilang. Aku kembali roboh. Sedang ibu dengan sehelai selimut penutup tubuh, datang menghampiriku.
?May, anakku, maafkan ibu! Fadhil memang pelangganku. Dan aku merindukannya. Maafkan ibu, nak!? begitu tutur keluhnya padaku.
?Bu, kalau aku marah pada kalian, berarti aku sama jahatnya dengan kalian. Aku tak mau menjadi pemisah sepasang kekasih. Ibu tidak salah. Hanya saja akulah yang bodoh. Yang terlalu percaya kepada kalian berdua,? lirih ucapku.
Ya, setelah semuanya kupikir-pikir, ternyata aku lupa pada-Nya. Mengapa aku waktu itu langsung bersedia menerimanya? Aku memang bodoh dan lalai akan diri-Mu, ya Allah. Mengapa aku tak beristikharah dulu, sebelum memutuskan segala sesuatu? Ya Allah, ampunilah aku! Ampuni segala kekhilafanku!
Setelah seribu sesal bersemayam dalam diriku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke budhe Tum. Kurasa dialah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Sungguh, kasih sayangnya melebihi kasih sayang ibu kandungku.
Lamongan, 2007
*) Pelajar MA. Matholi?ul Anwar, Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan.