Judul Buku: Makassar di Panyingkul!, Pilihan Kabar Orang Biasa
Editor: Lily Yulianti Farid dan Farid Ma’ruf Ibrahim
Pengantar: Nirwan Ahmad Arsuka
Halaman: 366 + xvii
Ukuran: 15 x 21 cm
Penerbit: Panyingkul!, Juli 2007
Peresensi: Mustamin Almandary
sinarharapan.co.id
Pada tanggal 10 Desember 2003, ribuan rakyat Irak melakukan unjuk rasa di kota Baghdad untuk mengutuk serangan bom yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab yang justru lebih banyak menewaskan rakyat sipil Irak. Sayangnya, unjuk rasa yang cukup besar dan penting itu luput dari perhatian media-media besar.
Untung saja, beberapa blogger lokal tidak melewatkan momen tersebut, mereka bahkan mengikuti persiapan-persiapan unjuk rasa itu dari beberapa hari sebelumnya. Adalah Ziyad, melalui blognya Healing Iraq, yang memberikan laporan lebih lengkap.
Dia cukup kaget ketika banyak pembacanya mengatakan bahwa untuk mengetahui situasi terkini di Irak, mereka membaca blog Ziyad terlebih dahulu, bahkan sebelum membaca CNN, BBC, dan lain-lain.
Laporan yang dibuat oleh Ziyad adalah salah satu contoh dari sekian banyak keterlibatan masyarakat biasa di dalam aktivitas jurnalisme. Sebelumnya, kita mengetahui bahwa masyarakat berada vis-vis dengan media. Masyarakat adalah konsumen dan media adalah produsen.
Dalam istilah Dan Gillmor, penulis buku We The Media: Grassroot Journalism by the People, For the People, citizen journalism telah membuat perubahan radikal di mana untuk pertama kalinya di dalam sejarah modern, “pengguna (media) memiliki fungsi ganda pada saat yang sama: menjadi konsumen sekaligus produsen.”
Belakangan, seiring dengan perkembangan internet, citizen journalism juga semakin menemukan bentuknya. Sebagai contoh, OhMyNews yang diperkenalkan pertama kali pada tanggal 22 Februari 2000 oleh Oh Yeon-ho di Korea Selatan, kini dikenal sebagai prototipe paling bagus dari citizen journalism yang online.
Eksperimen tentang citizen journalism inilah yang menginspirasi beberapa orang untuk membangun sebuah komunitas yang kemudian diberi nama Panyingkul!. Di dalam bahasa Sulawesi Selatan, termasuk Sulawesi Barat sekarang, panyingkul secara harfiah berarti perempatan, pertemuan dua atau lebih titik, atau penanda persilangan segala arah.
Dalam tafsiran teleologis dan sosiologis, panyingkul bisa dimaknai sebagai keterbukaan positif, sikap pluralis dan inklusif, serta komitmen pada kemajemukan yang khas. Dengan didukung oleh dua orang editor, seorang web designer, seorang media advisor, dan delapan citizen reporter pertama, sebuah media citizen journalism online yang mengambil Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan, sebagai titik episentrumnya, diluncurkan pada tanggal 1 Juli 2006. Inilah kelahiran www.panyingkul.com.
Semua tulisan yang ada di dalam buku Makassar di Panyingkul merupakan pilihan dari tulisan yang pernah dimuat di Panyingkul selama satu tahun perjalanannya. Panyingkul lebih memfokuskan diri pada “sisi lain” berita yang tidak dijamah, atau mungkin kurang menarik, oleh media profesional.
Dengan menyebut diri sebagai “jurnalisme orang biasa,” Panyingkul benar-benar membidik ke-biasa-an orang-orang biasa dengan episentrum Makassar. Lihatlah misalnya tulisan berjudul Es Putar, Lek Tou Sa dan Bundu Patte? (hal. 202) yang ditulis oleh Sammy Lee, seorang keturunan Cina yang walaupun sekarang tinggal di Sidney namun mengaku sebagai orang Makassar asli.
Saat ini, hampir tidak bisa lagi ditemukan cerita biasa mengenai kehidupan masyarakat Makassar di tahun 1940-an. Namun dengan cara yang bersahaja, Sammy Lee bisa menceritakannya kembali. Contoh lain bisa dilihat pada tulisan “Ambon Kart” Hingga “Balanda Itang” (hal. 124) yang ditulis oleh Luna Vidya. Ibu dari empat anak berdarah Ambon yang jika menyebut “pulang” maka yang dimaksudkannya adalah Makassar ini, mampu menelusuri “ruang dalam” orang Ambon yang sekarang sudah berbaur dengan masyarakat lain di Makassar.
Tentu saja terlalu muluk untuk mengharapkan “profesionalisme” jurnalistik di dalam isi buku ini. Kesan amatir sebagaimana yang diakui Nirwan Ahmad Arsuka, seorang budayawan yang memberi pengantar buku ini, terasa sangat kental. Akan tetapi, dengan bantuan editor yang juga menjadi pengawal Panyingkul, buku ini bisa memberikan daya tarik tersendiri. Buku ini menjadi sumber yang bisa mewartakan Makassar dan orang-orang yang terikat secara psikologis dengannya, dimanapun orang-orang itu berada.
Eka Budianta membagi penulis menjadi lima kelompok: penulis iseng, “pujangga kraton” yang menunggu pesanan, “sastrawan proyek” yang menulis karena proyek, penulis profesional yang mewakili kelompok penggiat jurnalisme sebagai profesi, dan “pengarang nurani” (Eka, 2005).
Mengikuti pengelompokan ini, penulis-penulis di dalam buku Makassar di Panyingkul bisa dikelompokkan penulis kelima. Mereka menulis dengan jiwa yang merdeka untuk memenuhi panggilan nurani, lepas dari tuntutan deadline, iming-iming hadiah, pujian; mereka menulis karena membutuhkannya.
Inilah yang membedakannya dengan tulisan serupa yang dimuat di media pada umumnya. Dan ini pula yang harus dipertahankan oleh citizen reporter Panyingkul! Mereka hendaklah mempertahankan ke-biasa-an mereka.
Keterlibatan orang biasa dan kemerdekaan mereka untuk membagi kabar, menjadi harapan baru di dalam ekosistem media. Justru, irisan antara orang biasa dan pewarta akan menyempurnakan kabar yang hendak disampaikan. Inilah yang ditekankan oleh Dan Gillmor.
Ia memperjelas bahwa pelaku-pelaku teknologi akan lebih memahami seluk beluk Silicon Valley misalnya, jika dibandingkan kita yang hanya melakoni jurnalisme an sich.
Panyingkul harus menuju ke arah itu. Harapan untuk menjadikan Panyingkul! sebagai salah satu ikon Makassar di masa depan tentu bisa dicapai hanya dengan kerja keras; mutlak melakukan pengembangan, pengasahan dan pendarasan. Dan selanjutnya, buku dari kabar orang-orang biasa yang diperuntukkan untuk orang-orang yang biasa pula, sebagaimana Makassar di Panyingkul ini, akan menemukan bentuknya yang lebih matang.
***
*) Penulis adalah peresensi buku yang berdomisili di Balikpapan, dapat dihubungi melalui email mustamin.almandary@gmail.com.