Meneropong Perpuisian Indonesia

(Dengan Kaca Pembesar)

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

?Tidak ada lagi penyair, kecuali yang ikut dalam event ini,? ungkap seorang penyair di tengah sebuah ajang biennale sastra internasional di Indonesia, beberapa tahun silam. Ungkapan yang mengagetkan di tengah ingar-bingar pesta sastra, khususnya puisi. Benarkah, setiap ajang lantas mencetak penyair dan menggagalkan proses kreatif plus karya penyair lainnya yang tidak ikut. Alias penyair yang berada di daerah, alias pinggiran, kemudian tak pantas terdaftar di dalam sejarah itu?

Dulu, ketika penjajah Belanda hendak dan sedang masuk ke Indonesia, diutuslah para tukang gambar untuk membuat peta-peta negeri kolonial mereka. Bisa jadi, para tukang gambar itu ? termasuk karyanya ? kemudian juga menjadi penanda buat sejarah seni rupa modern di Indonesia (baca: yang bukan tradisi). Sepintas, ini mempermudah para pengamat seni rupa untuk menggariskan batas perubahan sejarah seni rupa. Tapi di sisi lain, jelas pula, bahwa peta-peta itu sebenarnya berguna buat ?jalan sutra? ternyaman untuk garis penjelajahan kolonial di negeri ini.

Analogi ini memperlihatkan betapa pentingnya sebuah peta ? yang di masa itu didukung oleh teknologi cetak industri; selain bubuk mesiu dan kompas dalam revolusi industri Eropa buat para penguasa sejarah. Kekuasaan yang direbut, bukan dengan teks lewat isi dan bahasa, tapi ternyata ?hanya dengan? strategi dan manipulasi data.

Bagaimanapun, peta jugalah yang kemudian menjadi kompas untuk membuka kesadaran kepada publik internal juga eksternal ? bisa dibaca sebagai Indonesia dan dunia. Peta para tukang gambar itu jelas jadi model buat aliran seni rupa modern sekaligus kontemporer buat negara pasca-kolonial, tanpa menyadari bahwa mula persoalan adalah niat untuk ekspansi atas politik dan ekonomi.

Jelas, ajang itu bukan sebuah tindakan ekspansi (vulgar) sebagaimana kolonialisme Belanda. Tapi, lihatlah hasilnya, tak hanya publik lokal yang termanipulasi pada sejarah seni rupa modern ? yang menggonjang-ganjingkan tatanan tradisi. Padahal, ada gorga di rumah masyarakat Batak, ada batik Jawa. Di Australia, ada titik-titik hitam dalam seni rupa tradisi Aborigin yang dipaksa masuk dalam kaidah ?pointilisme? barat. Semua seolah hilang ditelan kaidah estetik Barat yang tampak cerdas dan penuh teori itu.

Demokratisasi Estetik
Begitu pun pada perpuisian Indonesia, ?peta? yang berupa statemen, penyodoran nama-nama yang dipilih dengan estetika sepihak, subjektif telah menjadi catatan buat publik Indonesia, juga publik mancanegara; dari pengamat hingga apresiator dunia, kemudian membacanya bahwa sebuah biennale puisi = pengesahan sekumpulan nama penyair.

Biennale hanyalah salah satu contoh, betapa medium dari ajang, hingga media massa bisa jadi sarana untuk pengekalan atas pilihan sebuah komunitas (saja) untuk kemudian dibakukan di ajang dalam dan luar negeri.

Jalan keluar untuk demokratisasi media kesenian ? juga kesusastraan ? lewat media massa hingga majalah komunitas ternyata belumlah cukup. Sebuah kebahagiaan, bahwa di antara event yang diadakan oleh birokrasi kesenian yang notabene dihuni oleh berbagai komunitas besar di Indonesia, masih ada juga komunitas di daerah tumbuh dan terus merayakan perpuisian di Indonesia.

Ajang penyair Melayu yang diadakan oleh Universitas Indonesia, dengan mengundang tampil baca dan membuat antologi para penyair Asia Tenggara beberapa bulan lalu, ?Prakata Puncak Sembilan? (Antologi Puisi Sembilan Penyair Melayu). Pada bulan Mei mendatang, ketukan sejarah perpuisian lainnya juga sedang dibuat. Kali ini di ujung utara Pulau Sumatera, di Medan, yang digelar oleh Dewan Kesenian Medan. Tajuknya cukup heboh: Pesta Penyair Indonesia sempena The 1st Medan International Poetry Gathering (25-28/5).

Namun, atas nama demokratisasi sejarah kesusastraan khususnya perpuisian Indonesia juga, kita tetap harus membuka diri; termasuk dengan penyelenggaraan Festival Seni Surabaya, Festival Seni Yogyakarta. Agar catatan sejarah sastra di Indonesia tak menimbulkan luka, agar estetika perpuisian Indonesia yang tumbuh bak musim jamur itu tak ada yang cedera.

Agar keberadaan puisi mulai dari ?kata harus bebas dari penjajahan pengertian dan beban ide? ala penyair Sutardji Calzoum Bachri, puisi liris nan romantik Sapardi Djoko Damono, hingga puisi bersahaja nan jenaka dari Joko Pinurbo, puisi balada-romantik hingga kritik sosial dari Rendra bahkan Wiji Thukul, tetap tercatat. Juga puisi yang memakai estetika lainnya. Puisi realis, puisi liris, puisi balada, puisi ?gamblang? hingga puisi ?gelap? ? yang sebenarnya tidak gelap bila mau dipahami.

Mengutip ungkapan seorang pengamat sastra lainnya bahwa kaidah puisi yang baik adalah diambil dari metafora yang paralel (contoh pendapatnya itu: kalau bicara pantai maka sebaiknya kata di sekelilingnya adalah camar, karang, perahu layar). Hal itu jelas berbeda dengan penyair ?dadais? Hugo Ball dari Jerman yang justru sengaja ?mengkhianati makna dan kata?, melainkan hanya setia pada bunyi (misalnya baris puisi: jolifanto bambla ? falli bambla/grossiga m?pfa habla horem/?giga goramen/higo bloiko russula huju hollaka hollala/anlogo bung/blago bung/blago bung/bosso fataka… dst.). Ada juga yang bicara isi ? realitas politik dan sosial ? ketimbang permainan kata dan bunyi, mengolah lagi permainan akhir kata seperti gurindam dan seloka.

Manakah yang pantas dipilih dari ketiga estetika itu? Bila semua punya konsep, punya aturan dan struktur, syarat keindahan, maka bentuk puitik ketiganya patut dicatat. Sebab sejarah masa lalu dan masa kini tetap akan berjalan sebagaimana juga sejarah di masa depan. ?Kita? semua, pantas untuk berdialektika. Bersiaplah untuk antitesis berikutnya; termasuk ketika lahir konsep baru lainnya untuk teks (puisi) di Indonesia!

*) Penulis adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *