Monolog Hujan

Fina Sato
http://pr.qiandra.net.id/

Percakapan Awal: Surat Tanpa Alamat

Pintu-pintu tahun bersibak seperti pintu-pintu bahasa, menuju entah. Semalam kau bertutur kepadaku: esok, kita musti menemukan isyarat-isyarat, mengurai lanskap, merancang rencana di halaman ganda. Esok, kita mesti menemukan, sekali lagi (1).

Lelaki itu kembali mengirim pesan yang sama. Ditulis olehnya di atas kertas lusuh dengan tinta hitam, tanpa tanggal, tanpa salam. Amplop yang hampir menguning karena disimpan terlalu lama di dalam almari pakaiannya. Namun, lelaki itu tampak tidak peduli dengan keadaan surat yang kisruh itu. Sebuah pesan?juga beberapa pesan lainnya telah ia tulis jauh hari sebelumnya, yang tidak mungkin sampai di tangan Paz. Perangko kilat itu pun telah dijilatnya jauh hari lalu ditempelkannya dengan sangat hati-hati. Hingga akhirnya pada hari ini, lelaki itu melangkahkan kakinya dengan gegas ke sebuah kantor pos.

Gedung kantor pos tua yang rimpuh. Kantor pos yang lengang. Lelaki itu hanya bisa terpana melihat sekeliling ruangan kantor pos yang lengang dan menggaung. Sekarang orang-orang lebih senang berkirim kabar dengan telepon, pesan-pesan singkat pada telepon genggam, atau surat elektronik. Konon, kala senja tenggelam dalam keheningan, hampir setiap hari lelaki itu sering berkirim kabar dengan kawan-kawannya yang berada di luar kota melalui pesan-pesan singkat melalui telepon genggamnya. Tetapi kali ini tidak. Saat ini kabar itu dikirimnya melalui pos, dengan surat tanpa alamat. Surat tanpa alamat. Akankah sampai? Sungguh, ia tak tahu lagi alamat Paz. Paz sudah lama hilang. Dia gelisah. Lelaki itu tak dapat melanjutkan hidupnya tanpa merindu Paz. Tanpa melayarkan kata-kata?walaupun hanya beberapa larik saja?kepada Paz. Ya! Hanya kepada Paz semata. Namun lelaki itu percaya, surat-surat itu akan sampai di tangan Paz walaupun tidak ada alamat tujuan.

Di ruangan kantor pos, langkah kaki lelaki itu menggema. Menapaki jejak-jejak kenangan yang lekang, tanpa usia. Ada sebongkah ingatan; lama sekali lelaki itu melayani rasa bersalahnya yang besar pada kehidupan. Tanpa asal-usul, tanpa duga, tanpa prasangka, yang lambat laun merambat pada jisimnya yang semakin ringkuh. Pada memoar perjalanan yang dahulu telah diselaminya, bersama Paz.

Kemudian diserahkannya surat itu, seperti menyerahkan duka dari luka yang tidak dapat disembuhkan. Dulu, petugas kantor pos menolak semua surat yang akan dikirimkan lelaki itu. Alasannya sangat jelas: surat tanpa alamat. Namun, lelaki itu tetap bersikeras menolak mengambil surat-surat itu kembali. Lelaki itu selalu memaksa untuk mengirimkannya, karena dia percaya Paz akan menerimanya. Lelaki itu kembali memaksa. Akhirnya, petugas kantor pos menyimpannya, mungkin suatu hari lelaki itu akan kembali ke kantor pos itu dan memberitahukan sebuah alamat atau kelak petugas kantor pos itu mengetahui alamat tujuannya: Paz. Ya, secarik alamat bagi ribuan kata yang kesepian dan sendiri pada kertas-kertas lusuh dan mungkin kelak pesan-pesan itu akan bersauh.
**

Percakapan Malam: Sebuah Pertemuan

Mungkin puisi hanya menyisakan mendung dan luka, keluh saya pada lelaki itu.

“Seperti wangi yang menyisakan debar dalam pahitnya perjalanan,” ucapnya. Walaupun langit sehabis hujan, masih ada bintang yang sedikit terang di langit. Seandainya saya dapat menatap apa yang tengah kau tatap saat ini, mungkin saya tidak akan mengeluh.

“Aku melihat pintu lantai atas masih terbuka. Tutuplah. Nanti ada angin jahat….”

Ah, apakah setiap peristiwa terjadi dengan kebetulan belaka? Atau hanya keterdugaan semata? Pintu di lantai atas memang masih terbuka, tapi tidak menjemput angin, melainkan sedang menjemput hujan yang kini datang. Di kotamu mungkin kau telah merasakannya. Hening bukan?

“Kalau begitu biarkan saja pintu itu berbisik, yang tulus murni di hati manusia tak lapuk dibasuh hujan. Mungkin kita seperti ikan yang bercakap-cakap di kedalaman,” akhirnya kau sadar. Maaf, selama ini saya harus terus bersembunyi darimu. Bersembunyi di belakang kata-kata yang membuatmu terus bertanya tentang saya, tanpa henti. Tentang asal-usul saya yang membuatmu gundah. Mungkin tak labutlah saya lakukan itu. Ingin saya tanyakan tentang Paz kepadamu, tapi saya enggan. Kabar kalian yang tidak takut untuk saling bertemu, bahkan sesekali saling merindu, dan berbagi puisi, itu kata Paz.

Angin memberimu kisah rantau dan biarkanlah riak air menjadi udara yang mengantarkan kata-kata yang tak terdengar. Kita hanya manusia yang tak pernah menjelma ikan, lalu menyelam lebih dalam.

“Ya mungkin begitu. Sekarang berpejamlah di kedalaman cemas risauku, hari sedang berkisar… Selamat tidur,” saya tahu kelelahanmu. Larungkan cemas risaumu pada sisa-sisa mimpi yang tak jadi. Genaplah pagi menjadi layaran kudus… Ya selamat tidur. Esok masih menagih janji. Jaga dirimu. Tabik.

Segera saya matikan telepon genggam saya, lalu terlelap menatap gelap. Entah kapan lagi lelaki itu akan berkirim pesan kepada saya, karena kedatangannya tidak bisa saya duga. Mungkin hanya kegelisahan yang akan menghantarkan rahasia sunyi di hati. Pesan-pesan tak terucap, namun kita saling tahu, saling bertemu di udara yang tak dapat kita genggam.
**

Percakapan Pagi: Sebuah Kekalahan
Hujan 00:29

Aku rindu kau. Kirimkan aku puisi. Malam ini aku mau mabuk sampai pagi.

Pagi ini saya harus menemui pesan-pesan itu kembali. Pesan-pesan yang tidak pernah berhenti di telepon genggam saya. Setiap hari hujan tak pernah mereda. Saya tidak tega menghentikannya. Kini, hidupnya dipenuhi kemarahan, ketakutan, dan kesepian. Dia lelah menjadi pihak yang kalah: keinginannya mengalahkan takdir. Tapi dia tidak mau lagi berkorban. Sudah cukupkah apa yang telah dikorbankannya? Entahlah. Saya semakin tidak mengerti, kadang terpaksa coba mengerti. Namun pada akhirnya, saya hanya bisa mengiriminya beberapa penggal puisi dari kawan yang tak dikenal atau sahabat yang tertambat di seberang. Saya pikir, puisi dapat menjadi penawar galaunya selama ini, di antara hari-harinya yang menyedihkan. Iya, hanya itu yang dapat saya lakukan untuknya. Mengiriminya puisi. Hanya beberapa penggalan saja.

Di persimpangan sejarah, kita bersulang senyum sambil mempercakapkan kelahiran demi kelahiran, benda di etalase mimpimu, jurang-jurang atau gang-gang gemerlap yang dingangakan kecemasan metropolitan (2).
**

Hujan 00:00

Beri aku puisi, agar bisa hidup lagi.

Tidak biasanya kau berkirim pesan seawal ini. Malam ini saya sedang lelah. Tidak ada kata-kata di ujung mulut saya. Sejak tadi sore, hujan tidak pernah berhenti. Saya kedinginan. Maafkan saya, malam ini tidak ada penggalan puisi dalam pesan singkat pada telepon genggammu. Jangan memaksa saya dan mengertilah. Hujan malam ini tak membawa bingkisan mimpi untuk saya. Di sini hujan tidak pernah mati, melainkan mengetuk setiap pintu dan jendela dengan atap-atap sirap. Membunuh kehangatan dan kelam mimpi para penghuni rumah, juga puisi malam ini yang harus saya simpan baik-baik di almari serapi mungkin.
**

Percakapan Bias: Saya dan Paz

“Paz, bagaimana kabarmu?” seperti biasa, Paz hanya bermain dengan kata-kata pada puisi-puisinya yang belum jadi. Tak ada jawaban. Saya kira Paz tahu, menanyakan kabarnya hanya basa-basi saya saja, yang tiba-tiba (terpaksa) menyapa. Saya pun diam, seperti hendak mempersilakan waktu untuk berhenti sesaat, kemudian lewat di antara kami dan menyihir kami dengan denyut-denyut angin yang sedari tadi menerbangkan helai rambut yang menutupi wajah Paz. Kedua mata Paz enggan menyapa saya. Mata yang diam dan kaku. Mata yang semu.

“Bagaimana kabar Jose? Saya dengar kau pernah berkirim kabar dengannya? Masihkah?” lantang saya menanyakan hal itu kepada Paz. Sungguh, awalnya saya tak punya niat bertanya hal itu kepadamu, Paz. Saya tahu. Kenapa saya harus memberi pisau lagi kepadamu, setelah dia melukaimu. Entahlah Paz. Ada yang menampar mulut ini tanpa saya perintah. Ada yang tak bisa saya cegah dalam diri saya ini. Maaf dan mengertilah.

Tiba-tiba Paz berhenti bermain. Tertegun sesaat. Adakah yang melintas di sana? Adakah serpihan yang disisakannya untukku? Di dalam relung kenangan yang sempat usang itu? Ah, Paz rupanya masih mengingat. Mengingat jejak-jejak lekang itu dalam dirimu, Paz. Syukurlah jika Paz merasa aku ada di sana bersamanya. Namun, diam Paz hanya sesaat dan dia kembali bermain.

Paz, apa yang harus aku lakukan terhadapmu? Aku pun lelah.

“Lama sekali saya tidak memberinya kabar,” ucap saya, dengan harapan Paz segera memberitahu saya ke mana bisa menghubungi kembali lelaki itu. Ingin saya bercerita kepada Paz tentang hujan yang tak pernah mereda, mencucuri malam saya dengan pesan-pesan asing. Teka-teki asing. Pesan-pesan yang membuat saya tidak bisa tidur terlelap setiap malam. Malam yang berubah menjadi sekam dan membuat hidup saya menjadi semakin mencekam. Tapi Paz, seperti biasa, saya enggan.

Saya ingin sekali tahu, Paz.

Paz semakin asik bermain dan bertingkah seolah saya tidak ada di sana. Kami diam. Sebenarnya saya yang diam, karena Paz masih bermain. Namun, Paz diam dengan beribu-ribu ragu dalam perjalanan masa lalu. Saya menduga, Paz sepertinya tidak ingin jika saya memberi kabar kepada lelaki itu. Kepada lelaki yang membuat daun-daun gugur di musim semi saya. Lelaki yang mengalirkan arus kenangan dan kerinduan dalam kelok alir hidup saya.

Paz menyembunyikan sesuatu dari saya tentang lelaki itu dan sungguh, saya tak peduli apa yang disembunyikannya. Itu bukan urusan saya. Itu urusan Paz dengan lelaki itu, dan saya yakin tak ada hubungannya dengan hidup saya selama ini. Saya hanya ingin memberi kabar saja. Tentang sebuah kisah, Paz.

“Paz, bicaralah,” ucap saya sedikit memaksa. Paz tahu saya kesal, tapi dia tetap diam saja. Sedikit pun tak berkutik.

“Aku di Mixcoac. Surat-surat membusuk dalam kotak-kotak pos (3). Secangkir kopi pahit dan sepotong dosa, itu sudah cukup. Hujan hanya singgah sebentar,” Paz yang tersedu. Saya kaget mendengarnya. Apa yang telah dilakukan hujan pada lelaki itu?

“Katakan Paz?!” saya memaksa. Namun Paz hanya berceloteh hal-hal yang tidak saya mengerti. Paz menceracau tentang entah, tentang hal-hal yang sama sekali tidak saya ketahui. Paz seperti kehilangan kendali dirinya, lalu tiba-tiba menangis memeluk saya. Air matanya membasahi bahu saya. Saya hanya diam. Kesedihan tiba-tiba menyergap hati dan ingatan saya. Paz terus tersedu. Sungguh, saya tidak bisa memaksanya lagi untuk bercerita lebih banyak tentang lelaki itu. Lelaki yang menemani mimpi-mimpi saya. Akhirnya, saya hanya bisa memeluk erat Paz dan meredakan sedu-sedannya lalu berharap, kapankah hujan akan reda di pelupuk matamu, Paz?
**

Percakapan Akhir: Monolog Hujan

Ya, hujan itu pindah ke luar jendela kamarku. Sekarang aku kedinginan. Aku tak ingat siapa diriku. Aku hilang pada sebuah insiden di malam hujan. Kenapa aku ditinggal? Di sini hujan. Aku tak yakin kau tengah merindukannya, apalagi mencintainya. Malam nanti hujan akan turun di sana. Tunggulah di balik jendela, sambil rangkaikan mimpimu untuknya.

Hujan deras di luar rumah. Rinainya menggenang seperti danau. Aku sedang mencari angsa di sana. Masih hujan, tapi apakah kau percaya atau tidak, aku mendapat angsa di tengah danau rinai hujan. Aku menari bersamanya. Mungkin besok aku sudah sampai di jalan-jalan yang dulu pernah dilewatinya dan juga tempat-tempat yang memungkinkan bagi dia dikuburkan.

Aku hanyut dalam sengkarut ingatan. Rasa-rasanya dia ada di sini, tapi di mana? Hujan adalah kenangan hidup dan awal kehidupan. Di mana lumpur menggenang adalah tumpukan sejarah yang mengingatkan kita pada masa silam. Pada sebuah pertemuan yang membahagiakan dan perpisahan yang menyedihkan. Kenangan pada kisah kota tua. Kata-kata yang merampas peradaban yang ada di sana. Petani yang mencangkul genangan lumpur dan berharap dia mendapatkan secercah harapan dari sejarah yang buram.

Mari, tulis sejarah baru dari rinai-rinai hujan sore ini. Jadikan manuskrip tua dengan bau yang khas dari perpustakaan lama. Adalah doa yang memayungi kata-kata dari hujan makna. Hujan adalah kenangan pada masa-masa lapar dan miskin yang mengutuki kehidupan kita. Lembar-lembar yang termaktub di dalam lumpur.
**

Sebuah Epilog

Lelaki itu terlampau mencintai laut. Mencintai gelombang pasang, deru ombak, ringkik karang, tangis tanjung, dan bulir pasir yang menemani kelam mimpi dan gelisah hidupnya. Melindungi dirinya dengan kisah-kisah yang ditulis dalam kertas lusuh dan amplop tanpa alamat. Lelaki itu sendiri menyelami setiap luka dan duka yang disayatnya untuk saya: perempuan yang mencintai laut dan hujan. Namun, luka itu menjadi bersahaja dan menjelma menjadi kerinduan dalam kenangan perjalanan.

Saya hanya perempuan yang tersesat dalam danau. Di sini terlalu dingin. Saya hanya dapat mencintai hujan, sedangkan laut yang kaucintai, menjadi serpih rindu dari permainan puzzle yang setiap petang saya mainkan. Mencintai adalah melepaskan kehendak diri. Bagi saya, kau hanya menjadi teka-teki asing yang tak dapat menepati janji.***

(1) Penggalan puisi “1 Januari” karya Octavia Paz.
(2) Penggalan puisi “Duka yang Dikirim Waktu” karya Nanoq Da Kansas.
(3) Penggalan puisi “Kembali” karya Octavia Paz.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *