Zen Rachmat Sugito *
jawapos.com
Majapahit, imperium yang mewariskan Negarakrtagama dan Sutasoma, sudah lama lewat, tapi ia tak pernah benar-benar minggat. Lewat Muhammad Yamin, (tilas) Majapahit hadir kembali dengan jalan sedikit memutar, tapi justru tepat pada fase genting persiapan kelahiran jabang bayi republik ini.
Saat sedang merenung-renung di tengah sidang BPUPKI, Yamin mengucapkan satu parafrase yang diambil dari Kakawin Sutasoma, yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri, semacam gumaman lirih: ”Bhineka tunggal ika…” Tak disangka, seorang dari Bali dengan penampilan bak pandita yang duduk di sebelahnya menyahut, ”Tan hana dharma mangrwa.”
Saya tidak tahu persis siapa orang yang menyahut gumaman Yamin (ada yang bilang I Gusti Bagus Sugriwa, cendekiawan serbabisa dari Bali). Tapi, cukup jelas, fragmen kecil itu menjadi bagian tak terpisahkan dari digunakannya frase ”Bhineka tunggal ika” sebagai sesanti atau semboyan republik ini.
Frase ”Bhineka tunggal ika” sendiri diunduh dari bait kelima metrum ke-139 Kakawin Sutasoma karya Rakawi Prapanca yang bunyinya: …Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Kurang lebih ia menjelaskan bahwa antara (agama) Buddha dan Syiwa itu berbeda tapi tetap satu karena memang tidak ada darma yang mendua.
***
Sayangnya, hanya sebatas itu tilas intelektual Majapahit direproduksi dan dikonversi menjadi bentuk-bentuk baru yang relevan. Selebihnya, yang diadopsi dan ditonjol-unggulkan dari Majapahit hanyalah kemampuan duet Gajah Mada-Hayam Wuruk dalam meluaskan teritori kekuasaan Majapahit, itu pun -seperti yang akan kita lihat sebentar lagi– dalam cara yang sepotong-potong alias ”cari enaknya saja”.
Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) -terutama dalam soal luas dan batas wilayah– tak bisa tidak memang direproduksi dari luas wilayah Majapahit sebagaimana Gajah Mada memancangkannya dalam Sumpah Amukti Palapa.
Soekarno –terutama Muhammad Yamin– adalah pribadi yang paling gigih mengejawantahkan luas wilayah Majapahit dalam bentuk baru NKRI. Yamin melakukannya dengan menyitir metrum-metrum tertentu dalam Negarakrtagama (terutama syair 13-15) untuk memperkuat argumentasinya. Soekarno –yang sebelumnya berseberangan paham dengan Yamin dalam soal hak warga Negara–kali ini segendang-sepenarian dengan Yamin. Hanya Hatta yang secara tegas menolak adopsi wilayah kekuasaan Majapahit versi Prapanca, terutama menolak dimasukkannya Papua.
Sayangnya, cara Majapahit mengelola teritori kekuasaannya yang luas dipandang sebagai kelemahan, bukan sebagai peluang. Majapahit mengelola wilayah kekuasaannya yang jauh dengan cara-cara yang mirip dengan otonomi di zaman sekarang, di mana penguasa-penguasa setempat diberi keleluasaan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Yamin atau Soekarno menolak cara pengelolaan macam ini (itulah sebabnya gagasan federalisme Hatta ditolak secara dini). Selanjutnya, kita bisa melihat, bagaimana sentralisme dipraktikkan secara eksesif. Majapahit diadopsi wilayah kekuasaannya, tapi tidak cara pengelolaannya.
Majapahit melakukan semuanya dengan armada militer yang berporoskan kekuatan maritim yang tangguh. Dari pedalaman Mojokerto, kapal-kapal perang Majapahit –yang salah satunya dipimpin Nala– berlayar ke nusa-nusa yang jauh, melakukan misi penaklukan atau misi dagang juga diplomasi. Soekarno sedikit banyak paham soal ini, itulah sebabnya Angkatan Laut RI cukup tangguh pada masa kekuasaannya. Tapi Soeharto menghancurkan fondasi kekuatan maritim yang diwariskan Soekarno dengan menganak-emaskan Angkatan Darat dan seraya pada saat yang sama mengabaikan (kekuatan di) laut(an). Soeharto menganakemaskan Kopassus yang kelak dikirim ke Timor Timur dalam Operasi Seroja –yang kata antropolog Daniel Dhakidae mirip pasukan jalady mantri-nya Majapahit.
Maka, tergelarlah titik balik, persis seperti yang diwedarkan Rama Cluring, kamitua dalam epos Arus Balik-nya Pramoedya: ”Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. …Ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya… termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan.”
***
Johan Huizinga, ketika menguraikan Abad Pertengahan dan Renaissance di Eropa, dengan baik menggambarkan bagaimana warisan peradaban Yunani dan Romawi Kuno digali tiada habis sekaligus dikonversi terus-menerus dalam teks-teks baru oleh para teolog, cendekiawan dan seniman. Peradaban besar, masih merujuk Huizinga, pastilah mewariskan pikiran cemerlang yang bisa terus direproduksi dan dikonversi menjadi pikiran-pikiran baru.
Yamin memang unggul dalam perkara ini. Pada umur 26 tahun, ia sudah menulis dan mementaskan lakon Arok-Dedes, umur 30 tahun mementaskan lakon Krtajaya, umur 31 tahun mementaskan lakon Sandyakala ning Majapahit. Yamin pula yang menyusun biografi Gajah Mada dan Tata Negara Majapahit. Dengan keluasan pengetahuannya tentang kesustraan Jawa Kuno dan ikon-ikon yang terpacak di banyak candi dan arca, ia susun buku 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih.
Dalam soal mengkaji ulang warisan peradaban-peradaban kuno Nusantara (bahkan Pasifik) untuk kemudian mereproduksinya dalam bentuk baru yang bisa digunakan untuk kepentingan pada zamannya, Yamin nyaris tak ada tandingan. Semangatnya dalam melakukan studi –hingga level tertentu– bisa dibandingkan dengan para cendekiawan di pantai-pantai Italia pada abad 12-13 saat menyiapkan fondasi kebangkitan Eropa melalui pengkajian ulang warisan intelektual peradaban Yunani-Romawi.
Yamin tentu tak sendiri, tapi apa yang dilakukannya tak pernah menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang mengejawantah menjadi sebuah arus besar yang bergelombang dalam kurun yang panjang. Yamin dan orang-orang yang menjadi lawan tanding Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjurkan untuk berpaling ke Barat dalam polemik kebudayaan pada tahun 1930-an (macam Ki Hajar Dewantoro, Sanoesi Pane atau Soetatmo) tak pernah berhasil mengerek gerbong Renaissance layaknya bangsa Eropa melakukannya terhadap warisan kebudayaan dan peradaban Yunani-Romawi pada akhir Abad Pertengahan. Inisiatif Ki Hajar dalam mengonversi konsep paguron yang berakar panjang dalam tradisi kita ke dalam sistem pendidikan modern yang disusunnya adalah inisiatif berharga yang sayangnya langka.
Minat dan semangat mereka dalam mempelajari warisan kebudayaan dan peradaban tua di Nusantara tergerus oleh syahwat politik yang merasa puas dengan mengadopsi pilar-pilar kekuasaan di masa silam untuk kepentingan menggerakkan instrumen nasionalisme. Reproduksi dan konversi pilar-pilar kekuasaan Majapahit secara eksesif dalam bentuk NKRI yang sentralistik tak diimbangi dengan reproduksi dan konversi warisan intelektual Majapahit yang menjadi ruh peradaban Majapahit ke dalam bentuk baru yang bisa memecahkan persoalan yang dihadapi zaman kita.
”Bhineka tunggal ika” kita junjung layaknya mantra, tapi semangat zaman yang melahirkan sesanti itu –di mana agama Buddha dan Syiwa berdampingan damai laksana buku-buku teologi yang berjejer mesra di rak buku– gagal kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari. SARA menjadi isu yang mengerikan, etnis Tionghoa mengalami diskriminasi yang pahit, para penganut agama-kepercayaan di luar yang resmi dikejar-kejar dan tempat ibadahnya dihancurkan.
Baru belakangan saja upaya serius untuk memelajari dan mengkaji naskah-naskah lama dari khasanah Nusantara mulai banyak dibicarakan. Ini bukan hanya berlaku pada Majapahit yang ada di Jawa, tapi juga pada semua warisan kebudayaan dan peradaban lain di Nusantara, seperti Sureq la Galligo. Pentas La Galigo di Singapura dan New York hasil olah-kreasi Robert Wilson diliput besar-besaran, sesuatu yang membuat kita bangga, tapi pada saat yang sama menyedihkan karena tiba-tiba kita sadar: kemarin ke mana saja?
Kita gagal mempelajari Assikalaibineng, misalnya lagi, apalagi memopulerkannya agar bisa sejajar dengan Kamasutra. Tak pernah kita mampu mereproduksi naskah-naskah pengobatan dalam banyak bahasa lokal kuno untuk dikonversi menjadi sebuah tradisi pengobatan yang kuat dan mengakar dalam urat nadi kesadaran dan pengetahuan kita sendiri. Perdagangan gelap naskah-naskah Melayu dari Pulau Panyengat adalah ilustrasi riil yang –hingga level tertentu– bisa dibandingkan efeknya dengan berubahnya orientasi maritim ke daratan bagi sebuah negeri yang dua-pertiga wilayahnya adalah lautan.
Jika Kakawin Negarakertagama atau Bharatayudha atau Sutasoma atau Siwaratrikalpa atau Centhini dikenal oleh bangsa-bangsa lain, ini bukan karena inisiatif bangsa kita, tapi berkat jerih payah sarjana-sarjana asing, dari mulai Brandes, Krom, Casparis, Zoetmulder, hingga Inindiak dan banyak lagi nama lain. Sosok seperti Poerbatjaraka, Slamet Muljana atau Koentara Wiryamartana -yang mewarisi asketisme dan ketekunan para rakawi dan meneruskan rintisan para sarjana asing di atas– makin susah dicari di zaman sekarang.
Mereka seperti Ibnu Rusyd atau Maimonides bagi peradaban Eropa. Para cendekiawan Eropa di ujung Abad Pertengahan –berkat Perang Salib yang mempertemukan dua peradaban– menyadari bahwa warisan intelektual nenek moyang mereka justru direproduksi dan dikonversi secara jenial oleh para sarjana muslim. Dari situlah, dari terjemahan dan kajian sarjana-sarjana muslim, mereka menggelar arus-balik kebudayaan, merintis Renaissance, dan memulai era baru kejayaan peradaban Eropa.
Atau, jangan-jangan, semua warisan kebudayaan dan peradaban lama di Nusantara memang tak cukup cemerlang untuk direproduksi dan dikonversi dalam bentuk baru (debat Ibn Rushd dan al-Ghazali tentang metode filsafat Aristoteles terjadi 2 abad sebelum Sutasoma dan Negarakrtagama ditulis), sampai-sampai dua Sutan kita (Takdir atau Sjahrir) sangat sinis pada orang-orang yang mempelajari dan mengagung-agungkan warisan masa silam sebagai ”praktik mengelap peti tua”.
Dua Sutan itu mungkin mengalami dilema seperti yang dialami Minke saat ditangai gurunya ihwal apa sumbangan bangsanya bagi peradaban manusia. Dengan tajam dan memukau, seperti menggemakan kembali suara Takdir dan Sjahrir, Pram melalui mulut Minke menulis: ”Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, boleh jadi seluruh dewa dalam kotak wayang ki dalang akan hilang semangat hanya untuk menjawab.”
Saya berani bertaruh Takdir dan Sjahrir akan ikut protes jika mendengar Trowulan dihancurkan dengan ruda-paksa yang menyedihkan, sebab bukan itu yang mereka maksudkan dengan ”belajar dan berpaling ke Barat”. Lebih-lebih, mereka juga sedih, karena saat kita meninggalkan warisan lama kebudayaan dan peradaban Nusantara (seperti yang sedikit banyak mereka kampanyekan), saat yang sama kita juga tak tuntas belajar pada Barat yang mampu secara jenial mereproduksi dan mengkonversi warisan tua Yunani-Romawi. Pada Barat kita tak becus belajar, pada warisan lama kebudayaan dan peradaban sendiri kita berlaku serampangan dan asal comot yang enak-enaknya saja.
Trowulan yang rusak adalah cermin di mana samar wajah kita yang bopeng terlihat lamat-lamat di sana.
***
*) Sejarawan muda, tinggal di Jogja.