Pelabuhan

Yetti A. KA
riaupos.com

Merah langit jatuh di pelabuhan,
di pelukan! Dia tidak kembali.
Kenapa, Tami.
***

Nial meremas dadanya. Meluluhkan semua perasaan yang membiru. Sementara lelaki itu, Tami, barangkali tengah berlari. Berlari. Meninggalkan pelabuhan sejauh-jauhnya. Atau sudah menumpang kapal ke Bandar Lampung siang tadi. Bandar Lampung. Kota itu satu-satunya yang diinginkan Tami selain kampung halamannya sendiri, jika terpaksa juga pulang ke Sumatera. Berkali-kali Tami pernah mengatakan, ada yang ia sukai dari kota itu; duduk di kafe hingga dini hari sambil menghitung ribuan pijar cahaya di kota bawah. Di kota bawah itu, ia pernah suka seorang gadis Melayu, adik seorang kawan. Manis dan kemayu.

Itu dulu, sebelum ia bertemu Nial dalam suatu perkenalan singkat di tengah kota Jakarta. Bagi keluarga besarnya, sejauh manapun ia pergi merantau, menikah dengan orang dari kampung sendiri, dianggap pilihan paling serasi. Paling diinginkan orang tua-tua. Untuk itu, kecil kemungkinan lelaki itu terus ke Padangpanjang tanpa membawa Nial dan anak-anak. Ini akan menyinggung harga diri satu kaum dan persoalannya akan jadi panjang kecuali Tami pandai mengarang cerita. Itupun hanya untuk sementara, tidak mungkin bertahan selamanya.

Aduh, Tami. Nial menggigit lidah yang mulai basi. Pengkhianatan macam apa ini? Sungguh mengerikan, seorang lelaki tega meninggalkan setengah kehidupannya di pelabuhan, di antara orang-orang tak dikenal. Perempuan kurus itu hampir menjerit, melepaskan suara serak yang tertahan berjam-jam di kerongkongan. Kepalanya mendadak pusing. Pertahanannya mengendur dan matanya yang mulai lamur seolah menangkap sosok lelaki itu terus berlari ke kejauhan, tubuhnya dibalut kemeja putih tipis yang, ah tadi malam Nial masih sempat memasang beberapa kancing baru di sana, basah kuyup sebelum angin mendadak menerbangkannya ke belantara gelap. Tentu mereka tidak bertemu lagi. Mereka saling sendiri. Saling melupakan. Kemudian di antara mereka terbentang kesunyian yang dalam. Serupa lubang yang tidak dapat mereka lompati. Barangkali untuk bertahun-tahun atau selama-lamanya.
***

Pikiran perempuan tiga puluhan itu masih juga mengambang. Ia belum bisa menentukan ke arah mana melangkah selanjutnya. Kakinya terlalu berat. Apalagi jika harus pula memikul beban atas dua bocah perempuan yang kini ia tinggalkan di sebuah rumah makan Padang, tidak jauh dari pelabuhan. Ia mulai takut.

Sanggupkah ia bertopang pada dua kakinya, kering dan mulai gemetar? Sementara malam akan segera mengejarnya, dan ia tidak kuat untuk sekadar membalikkan badan atau berkata, “selamat tinggal pelabuhan” kemudian menuju rumah kontrakan di gang sempit sebelum orang lain mendahuluinya.

Dia ingat, ibu Nunik, pemilik rumah itu berkata padanya, “Kalau tidak betah di Padang, cepat-cepatlah kembali ke sini sebelum aku melepas rumah itu pada pengontrak lain.” Ibu Nunik memeluk Rat dan Karin, “Rat sama Karin suka kan tinggal di Jakarta?”

Serempak dua bocah itu mengangguk. Ibu Nunik memang tidak punya anak karena itu ia menganggap Rat dan Karin seperti darahnya sendiri. Rat dan Karin juga betah lama-lama bersama ibu Nunik.

“Bu Nun baik sekali,” begitu celoteh Rat seringkali, apalagi kalau sudah membawa pulang sepotong kue dari rumah besar milik ibu Nunik.

Apa yang dapat ia katakan pada ibu Nunik jika ia harus juga kembali ke kontrakan itu sebab kemungkinan terbesar hanya di sana ia punya tempat- selain uang kontrak lebih murah, ibu Nunik sudah terlanjur lekat di hatinya dan anak-anak. Tidakkah kepergian mereka terlalu cepat dan itu sedikit ganjil meski tentu saja ia dapat bayangkan betapa senangnya ibu Nunik bertemu lagi dengan Rat dan Karin yang mungkin pula membuat perasaan ibu Nunik meluap-luap hingga lupa bertanya apa-apa. Tapi mana bisa Nial menahan letupan emosi jika sudah berhadapan dengan ibu Nunik. Ia sudah pasti menangis, seperti biasa tiap kali ia didera masalah. Hanya ibu Nunik tempat ia menyatakan kesedihan dan kemalangan-kemalangan selama ini. Tentu saja karena ibu Nunik bukan siapa-siapa dirinya selain hubungan baik antara pemilik dan pengontrak rumah, dan karena itu ia bebas terbuka. Tanpa beban apa-apa.

Sesuatu yang tidak bisa ia lakukan pada saudara atau orang seasal. Sebab berhadapan dengan mereka, betapa ia harus pandai-pandai menyembunyikan banyak hal. Lebih-lebih mengenai perangai Tami. Kalau tidak, sudahlah tentu keburukan itu akan menyebar ke mana-mana, berupa gosip yang biasa dibawa pulang oleh perantau dari Jakarta ke kampung halaman.

Kembali pada ibu Nunik, Nial mulai menduga-duga pernyataan apa yang akan ia dengar dari perempuan seumuran ibunya itu saat ia membuka pembicaraan dengan mengatakan terus terang kalau ia dan anak-anak ditinggalkan di pelabuhan.

“Sejak dulu aku tidak percaya pada suamimu. Sama sekali tidak, Nial. Aku sering katakan padamu, mata seseorang itu dapat berbicara, dan kau seharusnya dapat melihatnya.”

Ibu Nunik barangkali benar. Setiap kali mata Tami menatap Nial, tatapan itu lebih banyak menghunjam, memotong-motong tubuhnya. Dari sana seharusnya ia tahu ada yang tidak beres antara mereka. Sejak awal. Bukankah Tami tidak pernah sungguh-sungguh ingin melupakan sejumlah perempuan dalam hidupnya dan itu ia katakan pada Nial melalui celetukan kecil di atas ranjang. Begitu disengaja dan terlalu sering. Seakan-akan ingin menunjukkan pada Nial betapa ia sesuatu yang sangat kecil dan tidak berguna dalam hidup Tami dibandingkan perempuan lain yang entah siapa saja.

Hubungan kalian kelewat cepat meredup, menjadi tua dan tanpa gairah, ibu Nunik pernah bicara begitu ketika Nial menceritakan perilaku Tami yang mulai sering tidak pulang, berhari-hari, membuat Nial dan anak-anak terpaksa gigit jari di depan televisi tua, menonton berita tentang kenaikan harga beras yang lebih mengerikan dari monster. Kau tidak perlu merasa bersalah, lanjut ibu Nunik. Ini bukan soal siapa salah siapa benar. Kalian hanya tidak sepadan. Kau lembut dan rentan, sedangkan dia liar dan memegang teguh kebebasan. Di mana kira-kira kalian bisa bertemu? Berharaplah pada waktu yang mungkin akan berpihak dan memberi sedikit kesempatan.

Tapi kini, justru waktu tengah menghukum Nial di pelabuhan. Membungkusnya dalam penderitaan paling panjang dan membingungkan. Sampai kapan ia akan berdiri di sana, merasa sepi di tengah kesibukan yang luar biasa., dan tentunya masih juga berharap-harap Tami muncul di depannya, membawa empat tiket yang akan membawa mereka ke seberang lautan. Ke tanah Sumatera.

“Tami!” bibir Nial sangat gemetar. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan rindu atau marah yang sedemikian sakit.
***

Kau busuk, bisik Nial tanpa riak. Hampa. Ringan. Teringat kembali di kepalanya, bermalam-malam Tami membicarakan kekalahan, rasa letih dan jenuh. Tidak ada harapan untuk kita di Jakarta, serak suara Tami.

“Pulang. Kita pulang. Cuma itu pilihan terbaik sekarang ini,” putus Tami menyerah.

Nial diam saja. Sejak menikah ia sudah membulatkan hidupnya bersama Tami. Ke manapun lelaki itu pergi, ia mesti ikut bersamanya.

Mereka sibuk sekali hingga tengah malam. Membereskan dan mengemas barang. Menghitung hutang di warung yang mesti dibayar. Membujuk Rat dan Karin agar melepas kota Jakarta termasuk gemerlap lampu-lampu di gedung tinggi pada malam hari yang sangat mereka sukai, dan yang paling penting melupakan rencana untuk berada dalam pesta perayaan ulang tahun ibu Nunik ke lima puluh yang dipastikan berlimpah makanan kesukaan mereka, bulan depan.

Pagi-pagi mereka segera menyelesaikan urusan satu persatu sebab mereka akan segera berangkat menuju pelabuhan. Tami ingin mereka menyeberang dulu ke Bakauhuni, setelah itu mereka akan mencari bus murah ke Padang. Dengan ini mereka bisa sedikit berhemat. Setidaknya saat tiba di kampung, mereka masih punya uang di tangan.

Mereka berangkat penuh suka cita. Wajah mereka dibuat selembut mungkin, menunjukkan pada tetangga bahwa kepulangan kali ini bukan semata-mata karena kekalahan tapi ini persoalan harapan baru. Jakarta terlalu penuh, membuat seseorang bahkan mulai kehilangan ruang untuk sekadar bermimpi.

Sebelum tengah hari, mereka sampai di pelabuhan. Tami meminta Nial dan anak-anak menunggunya di sebuah rumah makan salah satu kenalan lamanya, sementara ia mencari karcis. Berjam-jam Nial menunggu. Tami belum kembali. Bahkan hingga sore Tami tidak kembali. Perasaan Nial berdesir. Ia mulai merasakan gelagat tidak biasa.

Lalu Tami benar-benar tidak kembali. Ia menghilang seperti daun yang diterbangkan angin ke tengah lautan. Tanpa kabar apa-apa. Tanpa pesan singkat.
Di sanalah titik paling dramatis dari sandiwara yang mereka perankan. Begitu runcing dan menancap tepat di sasaran. Di dada Nial dan anak-anak.
***

Setelah itu Nial tahu sampai kapanpun ia akan dibebani rasa penasaran, kenapa ia dan anak-anak harus ditinggalkan di pelabuhan. Bukankah Tami bisa saja pergi dari rumah, tidak usah mengabari apa-apa sampai Nial menyadari kalau lelaki itu telah memilih pergi darinya. Setidaknya itu lebih biasa dan sering terjadi dalam kehidupan banyak perempuan. Tidak seperti dirinya yang merasa dijebak dan itu akan terus menghantuinya sepanjang hidup. Membuat ia terpaksa menekuk bibirnya kuat-kuat tiap kali anak-anak menatapnya penuh tanya.

Nial melepas ikatan, membiarkan rambutnya berkibar serupa layar kapal melawan badai. Ia tarik jejaring waktu yang melilit di tubuhnya dan ia lempar jauh-jauh. Aku ingin lepas, katanya. Hanya saja ia merasa makin terjerat dalam tali-temali, dengung kapal, udara berminyak dan riuh suara pedagang jalanan berwajah hitam.

Hingga seluruhnya pun menguap.

Seperti selesai tapi menyisakan nganga luka.
***

Rumah Palung Laut, 2008.

*) Yetti A. K, lahir di Bengkulu, bergiat di Komunitas Daun, Padang. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Numi (Logung Pustaka Jogjakarta, 2005).

Leave a Reply

Bahasa ยป