N. Syamsuddin CH. Haesy
jurnalnasional.com
FILM yang diangkat dengan setting agama, termasuk pesantren, sering bikin heboh. Terakhir, film bertajuk Perempuan Berkalung Sorban, arahan sutradara Hanung Bramantyo. Film ini bercerita ihwal Anissa, seorang putri kiai salafiah, seorang istri, dan sekaligus ibu. Karakternya kuat: cerdas, cantik, dan punya houd.
Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif. Pesantren yang lebih menegaskan kesejatian dan kebenaran ilmu berdasarkan Quran dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang. Sesuatu yang memang semestinya. Anissa, yang cerdas mengembara dalam pikirannya sendiri. Ia sampai kepada kesimpulan personal: apa yang diajarkan di pesantren orang-tuanya itu, cenderung tak memberi koridor luas bagi ekuitas dan ekualitas kaum perempuan.
Nissa mulai protes, meski protesnya sering ditanggapi sebagai angin lalu saja. Hanya Khudori, pamannya dari ibu, yang selalu menerima kritik-kritik itu. Lantas menghiburnya, dan memberikan dimensi lain tentang hidup. Hal itu, membuat Anissa bersimpati, dan kemudian jatuh hati. Tapi, cinta itu tak berbalas. Lantaran Khudori beranggapan, Anissa masih merupakan kemenakannya sendiri.
Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Khudori mendapatkan momentum, saat harus belajar ke Kairo – Mesir. Akan halnya Anissa, berusaha melanjutkan kuliah di Jogya, tapi dihambat oleh Kiai Hanan, ayahnya sendiri. Alasan Kiai Hanan: bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orangtua. Anissa merengek dan protes. Dalam situasi begitu, dia malah dinikahkan dengan Syamsuddin, anak Kiai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur.
Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu tetap berlangsung. Maka, jadilah dia istri yang meradang, lantaran kenyataan Syam menikah lagi dengan Kalsum. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh, sampai dia jumpa kembali dengan Khudori, pamannya, yang masih sama saling mencintai.
Begitulah seterusnya. Cerita film ini berlangsung biasa-biasa saja, karena memang penggarapannya juga biasa-biasa saja. Tidak terlampau menonjol dari aspek cerita, pengadeganan, dan lainnya. Ya, biasalah: film yang dibuat oleh kreator yang dalam banyak hal kurang memahami kultur pesantren di Jawa.
Tak Perlu Diturunkan
SAYA termasuk yang agak heran dengan kehebohan yang menyertai film ini. Tidak hanya karena ada persoalan substansial yang disajikan film ini. Tapi, juga karena film ini terbilang film standar, yang memasukkan “pemikiran luar pagar” ke dalam realitas kultural dunia pesantren Jawa. Dunia pendidikan tradisional – yang kemudian menjadi seolah-olah citra model pendidikan Islam – dengan pola relasi korelasi sosial yang sangat terikat oleh traditional authority relationship.
Perempuan Berkalung Sorban, tiba-tiba berkalung kontroversi, karena banyak pihak yang bereaksi secara emosional, dengan cara pandang sangat linear tentang dunia pesantren, yang sesungguhnya lebih sangat Java oriented, katimbang Islamic oriented. Ketika dimensi universalitas Islam, tereduksi begitu saja oleh berbagai frame pemikiran yang kultural dan filosofis, dan kemudian berkecipak dengan permukaan syariah yang ditafsirkan secara artifisial.
Islam tak hanya berurusan dengan satu sisi kehidupan. Islam terbangun oleh berbagai aspek asasi berkaitan dengan akidah, syariah, dan akhlak, yang kesemuanya menjelma sebagai muamalah. Dimensi universal yang berinteraksi dan bahkan bertransformasi dengan budaya. Itulah sebabnya, Islam senantiasa bersifat kontemporer. Selalu mesti dilihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Bila kita menyaksikan film ini dari sudut pandang seperti itu, kita tak akan lagi terjebak dalam kontroversi yang “begitu-begitu” saja. Kontroversi seperti yang pernah dialami oleh film Al Kautsar, arahan Chairul Umam. Juga Di Bawah Lindungan Ka’bah (Para Perintis Kemerdekaan) arahan Asrul Sani di masa lalu. Apalagi, ketika kontoversi itu dijadikan alat untuk memperoleh simpati politik.
Benar apa yang dikatakan Deddy Mizwar, bila karya film menimbulkan kontroversi dari penontonnya, pasti ada sesuatu yang kurang lengkap. Sineas yang menggarapnya, bisa menjadikan kontroversi itu sebagai pelajaran untuk lebih berkarya dan berdimensi dalam melakukan proses eksekusi kreatifnya. Tapi, menarik film itu dari peredaran, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi, ketika film yang ditayangkan di bioskop, sebelumnya sudah melalui proses sensor di Lembaga Sensor Film. Di dalam lembaga itu, terdapat unsur ulama, yang semestinya sangat jeli saat melakukan review.
Dalam konteks ini, saya anjurkan, sejumlah seniman dan budayawan muslim, ambil inisiatif untuk bermusyawarah dan bermuzakarah. Lantas buatlah panduan kreatif yang justru akan memperkaya nilai-nilai Islam dalam kehidupan modern. Termasuk mengalirkan dimensi akidah, syariah, dan akhlak islamiyah dalam keseluruhan perilaku hidup para sineasnya. Tak perlu menurunkan film ini dari bioskop. Kembangkan dialog yang memperkaya dimensi kreatif produksi film relijius. Lalu, jadikan perbedaan itu sebagai rahmat.
***