Abdul Wachid B.S.
mathorisliterature.blogspot.com
1. Pengantar : Persada Studi Klub, Era Transisi, Perpuisian Yogya 1980-an
Pengertian “di era transisi” sangatlah sosiologis, yakni masa peralihan, pancaroba. Namun, peralihan dari apa ke apa, dan dalam konteks apa? Dalam konteks kebudayaan pengertian “transisi” sangatlah kompleks. Dalam konteks politik, boleh jadi, hal itu dikaitkan dengan pergantian rejim dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan berakhir dengan Pemilu yang di sepanjang sejarah Indonesia paling demokratis yaitu dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4.
“Transisi” dalam konteks kesusastraan dapat dibaca sebagai berikut:
(1) Suatu masa di mana sastra “terus mencoba budaya tanding”, [1] baik melalui pengungkapan yang paling keras yaitu berposisi berhadapan langsung dengan negara, maupun menjelmakan “budaya tanding” itu melalui estetisme, dan semua ini berlangsung sebelum Reformasi Mei 1998. Yang pertama, berakhir dengan pembredelan dan pencekalan; yang kedua, ada campur-tangan kekuasaan terhadap arah kesusastraan, dengan alasan agar tidak mengganggu “stabilitas nasional”, di antaranya mengontrol media-massa sebagai publikasi kesusastraan di bawah Departemen Penerangan;
(2) Sejak tanggal 21 Mei 1998 merupakan momen jatuhnya rejim Soeharto; dan setelahnya yaitu euforia sebab secara lahir-batin terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto, dan karenanya posisi sastra yang semula dimarginalkan menjadi mengalami kenduri keterbukaan. Kemudian, euphoria yang berlebihan itu memunculkan realitas sosial yang kacau akibat “perang saudara” di Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan ternyata kekerasan tak kunjung usai.
Saya bukan sosiolog, juga bukan pengamat politik, dan karenanya mendiskripsikan tahun masa transisi itu akan menjadi terlampau spekulatif.
Problem lain, jika disebut sebagai “sastra Yogya”, maka akan memunculkan makna yang polyinterpretable. Hal itu antara lain dapat dimaknakan sebagai “sastra yang bernuansa ke-Yogya-an”. Sastra yang demikian telah surut ditulis oleh sastrawan dari komunitas Persada Studi Klub (PSK) sekalipun kita masih menjumpainya yang berhasil pada perpuisian Fauzi Absal dan Iman Budi Santosa.
Baiklah, “sastra Yogya” itu kita maknakan sebagai “yang ditulis oleh sastrawan yang bertempat-tinggal di Yogya, yang sebab suatu hal masih punya hubungan dengan Yogya, dan dalam artikel ini pun masih ditawar pemaknaannya yakni yang berhubungan dengan “era transisi” tadi.
Kepenyairan Yogya yang muncul pada dekade 1980-an diuntungkan oleh keberadaan “rejim sastra” PSK itu, yang melahirkan dominasi kesastraan Iman Budi Santosa, kesastraan Linus Suryadi A.G., dan kesastraan Emha Ainun Nadjib.
Jalur kesastraan Iman Budi Santosa menguat dalam perpuisian Fauzi Absal dan Bambang Widiatmoko yakni dengan mentradisikan lirisisme murni yang ketat, serupa disiplinnya diksi-diksi Chairil Anwar yang dikembangkan oleh perpuisian Toto Sudarto Bachtiar, lalu perpuisian Subagio Sastrowardoyo. Jalur tersebut dikembangkan oleh Iman Budi Santosa dengan berhasil. Pada pengembangannya, Iman Budi Santosa memasukkan pikiran hidup Jawa-Mataram di dalam perpuisiannya. Pada aspek kebahasaannya diwarnai oleh perhitungan kata-kata yang njlimet, namun setiap ungkapan lebih diposisikan sebagai wakil dari pikiran sekalipun menyebut latar (set) namun set hanyalah wakil dari pikiran. Fenomena perpuisian yang demikian, saya menyebutnya sebagai “sajak yang menyatakan”. Di samping itu, perpuisiannya diwarnai oleh permainan enjabemen kalimat untuk menggandakan makna. Saya seringkali baru mendapatkan makna puisi Iman Budi Santosa secara utuh setelah saya mendengarkan dia membacakan sajaknya sebab dengan begitu dia melakukan satu pemaknaan saja terhadap sekian kemungkinan pemaknaan akibat dari enjabemen tersebut. Fenomena perpuisian Iman Budi Santosa yang demikian dapat kita jumpai pada buku puisinya Dunia Semata Wayang (1996),[2] dan belakangan juga pada buku puisinya Matahari-matahari Kecil (2004).[3]
Pada perpuisian Linus Suryadi A.G., yang menonjol ialah keketatan diksi itu dia baurkan dengan merevitalisasi parikan dan pantun ke dalam lirisisme puisinya, dengan latar (set) dan simbol dan pikiran yang diambil dari dunia pewayangan dan Nasrani. Membaca irama sajak Linus, seringkali saya teringat kepada irama sajak Sitor Situmorang, sajak “Lagu Gadis Itali”,[4] di samping sajak lain dalam buku Dalam Sajak. Tetapi, pikiran Jawa-Mataram-lah yang menjadi uniknya perpuisian Linus Suryadi A.G., terutama pada prosa-liris Pengakuan Pariyem,[5] dan Tirta Kamandanu [6] sehingga perpuisiannya menjadi khas.
Sebenarnya antara perpuisian Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi A.G., dan iman Budi Santosa, ada kekerabatan estetik sebagai penyair yang hidup dalam tradisi kesastraan PSK, terutama dalam menyikapi kata-kata secara ketat. Permainan irama sajak akibat keketatan itu sebagaimana yang kemudian dominan dalam perpuisian Linus Suryadi A.G. yakni nafas pantun atau parikan, namun hal demikian tidak terjadi pada perpuisian Iman Budi Santosa dan Umbu Landu Paranggi.
Sebuah pengecualian pada perpuisian Emha Ainun Nadjib yang kemudian menggali tema-tema religius Islam, disertai oleh narasi-narasi religiusnya. Hal ini dilakukan setelah Emha melakukan eksperimentasi dari hasil kemuakannya terhadap tradisi lirisisme Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (sajak Emha di awal 1970-an dalam antologi Gendrang Kurusetra masih mirip perpuisian Goenawan Mohamad). Eksperimentasi Emha tersebut mengarah kepada protes sosial, sebagaimana dalam buku puisi M Frustasi, dan sajaknya yang lain pada periode sebelum buku puisi 99 Untuk Tuhanku. [7]
Kepenyairan Yogya yang lahir pada dekade 1980-an diuntungkan oleh eksistensi mereka tersebut yang menjadi patron kepenyairan Yogya pada masa itu. Pada masa itu media-massa (Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Berita Nasional) di setiap rubrik sastranya selalu memunculkan karya sang Patron tadi. Oleh karenanya, sosialisasi puisi penyair seperti Mustofa W. Hayim, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el-Khalieqy, Mathori A.Elwa, Hamdy Salad, Otto Sukatno Cr, Ulfatin Ch., Santosa Warna Atmaja, Adi Wicaksono, dan beberapa penyair dekade itu, menjadi ter-cancel dan sulit. Sekalipun hal demikian dapat dipandang wajar dalam arus informasi, bahwa yang terlanjur mempunyai nilai berita akan terus menjadi head-line. Sementara itu, di Jakarta, terutama di Koran Berita Buana yang diredakturi oleh Abdul Hadi W.M., pada saat itu lebih memberi peluang bagi pemuatan karya penyair muda tadi, di samping sebab Abdul Hadi W.M. sedang mengobarkan trend sufisme (lihat jejaknya dalam buku puisi Forum Puisi Indonesia’87, jilid 1-3). [8] Namun, saat itu sebab standar kepenyairan diukur oleh “panggilan pusat” Jakarta, karenanya kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari pusat Indonesia itu.
Sebab mereka memulai dari Jakarta, maka langsung maupun tidak, isu pemikiran dan gaya ungkap sajak kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari mainstream pusat, seperti halnya penawaran wacana sufisme, wacana histeria akibat tekanan sosial disebabkan pemiskinan ekonomi, juga surealisme kebahasaan sajak yang menjadi strategi akibat represivitas negara. Jadi, kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru menjadi lepas dari tradisi kesastraan PSK. Konklusi demikian sebab eksistensi PSK dapat diposisikan dan dipersepsikan sebagai tradisi estetika dan pemikiran yang khas.
Sekalipun banyak faktor yang mengakibatkan dominannya pemikiran dan gaya perpuisian seseorang atau kelompok diikuti oleh jamannya atau setelahnya, namun dalam sosialisasi sastra Indonesia bahwa peran koran dan majalah amatlah vital. Oleh karenanya, pemuatan karya sastra penyair Yogya yang menguat pada dekade 1980-an di media-massa Jakarta pada saat itu, jelas mewarnai perkembangan perpuisian mereka selanjutnya.
2. “Yang Maha Syahwat”, dan Dekonstrusi Formalisme Agama : (Refleksi atas Perpuisian Mathori A. Elwa)
Di sepanjang 1980-an, militerisme rejim Soeharto melalui tentakelnya mengatasnamakan “stabilitas nasional” atau ancaman hantu komunisme, sampai juga di Yogya, seperti melakukan pencekalan pementasan drama (Rendra di tahun 1975), penahanan terhadap seorang siswa Madarasah Aliyah Negeri sebab membacakan sajak (M. Nasruddin Anshory Ch, di awal 1980-an), dan banyak lagi kasus serupa. Lucien Goldmann benar bahwa karya sastra bukanlah struktur statis, melainkan produk sejarah, strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakatnya. [9] Apalagi dalam masyarakat yang bawah-sadar budayanya belum kering dari budaya lisan seperti Indonesia, di mana romantisme memposisikan seni (sastra) memiliki peran penting lantaran diyakini memiliki daya tafsir terhadap perilaku social, yakni dengan menawarkan keindahan spiritualitas. Keyakinan demikian tidak saja tersimpan dalam memori bawah-sadar budaya masyarakat, melainkan pada diri sastrawan sebagai bagian dari masyarakat lisan.
Karena itu, tatkala hidup dalam masyarakat mengalami pergeseran nilai, dari keyakinan hidup yang bereferensi kepada pertimbangan religiositas, menuju kepada keyakinan baru yang ditumbuhkan oleh negara, misalnya peribadatan adalah perkara individual, atau bahwa kita dapat beribadah setelah problem ekonomi selesai; semua itu dapat dipulangkan kepada keyakinan yang ditumbuhkan oleh negara bahwa “pembangunan ekonomi adalah urgen”. Tentu saja, perlawanan terhadap ideologi demikian, tumbuh di kalangan terdidik-sadar seperti sastrawan. Karenanya, sastrawan merepresentasikan histeria kehidupan yang dinilainya telah kehilangan dimensi kemanusiaannya: “semrawutnya” jalan raya memunculkan histeria. Salah satu penyair yang banyak menuliskan histeria jalan raya itu ialah Mathori A. Elwa dalam buku puisinya, Yang Maha Syahwat, berikut ini. [10]
Jalan Raya Pecah
jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia di mataku
tak ada
hanya mayat yang kujumpai
kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu
kemanusiaan yang terpendam
kemanusiaan yang terkubur di jalan-jalan
jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada suara di hatiku tak ada
hanya desing mobil yang kaulambaikan
tafakur kegaduhan
dzikir keterasingan
jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia
tak ada
hanya binatang saling menelan
kemanusiaan melata
menjilat-jilat
menganga
Sajak Mathori A. Elwa tersebut bukanlah sajaknya yang terbaik, setidaknya kita bisa merasakan denyutnya melakukan presentasi melawan arus hedonisme di tengah budaya masyarakat transisi, antara mempertahankan tradisi, dan menerima modernisme mentah-mentah.
Perlawanannya bukanlah vis-à-vis bahwa ada yang salah dalam strategi berkebudayaan yang dimainkan oleh negara sebagai lembaga yang memberi rasa aman lahir-batin terhadap rakyatnya. Namun, sebab demi menggembosi peran agama dalam tata hidup bernegara, agama telah direduksi paradigma sosialnya, seperti adanya jargon “Islam Yes, Partai Islam No!”.
Sekulerisasi antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu berefek kepada penanggalan “baju agama”, ditinggalkannya ruh agama, seperti merebaknya “Bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan “Sekwilda” (sekitar wilayah dada), yang berkibar di mana-mana tanpa “BH” (ungkapan Faruk HT). Sebagai “Orang Laut” (judul sajak Elwa), yang menatap senjakala kebudayaan serupa itu, ia histeria, sampai pada klaim, ‘/ tak ada lagi manusia di mataku/tak ada/ hanya mayat yang kujumpai/ kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu/’.’
Pada sajak awal Elwa, aku-lirik memang mengalami histeria, dengan bereferensi kepada “ingatan teologis” (terimakasih Adi Wicaksono atas istilah ini) [11] melakukan jarak hitam-putih, seolah “agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku.” Dalam begitu, Elwa melakukan politik-identitas yakni merekonstruksi wajah ke-Diri-an dengan berulangkali mencitrakan siapakah “Mathori A. Elwa” yang sebenarnya, ‘//bercermin lautan bening/ wajah buram dan pangling/ kucukil mata saja/ : membuat dunia baru’ (sajak “Mathori A. Elwa, 1) [12] sebab mengakrabi “dunia-jalan-raya”, ia akan bias, dan karenanya, jalan yang aman ialah pulang kepada “Horizon” agar dapat ‘/kumaknai peta-peta/ : aku memanggil-manggil duniamu//’ (sajak “Horizon”).[13]
Perkembangan pemikiran terhadap perubahan sosial dalam sajak Elwa bukanlah sebagaimana yang dicontohkan itu yang dominan. Elwa sekalipun banyak bertumpu kepada “ingatan teologis”, justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan kaum formalis agama di satu sisi, dan di sisi lain ia mengkritik kaum yang sok medernis yang mengikut saja kepada arus modernisme. Basis teologis Elwa justru diperlukan, dan ia menguasai ihwal itu mulai dari tataran simbolik sampai praksis. Sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan yang dilakukan oleh pemeluk formalis terhadap agama, melalui strategi kebahasaan sajaknya yang parodis, ironis, humor, menjadi dapat dicairkan. Semuanya itu dapat dilakukannya di dalam sajak, secara aman, tanpa menyinggung kaum formalis agama maupun hedonis sebab cara pandang Elwa dilakukannya dengan cara melebur tirai itu. Ia memusatkan kritik terhadap perubahan sosial yang hedonisme, baik perilaku maupun sekadar wacana, sekali lagi di dalam sajaknya berpusat kepada aku-lirik (bisa dibaca : diri penyair). Fenomena inilah yang akhirnya dominan di dalam pemikiran perpuisian Elwa.
Tipikal hal tersebut ia tampilkan di dalam sajak “Yang Maha Syahwat”, yang menjadi judul buku puisinya. Sepanjang kepenyairannya, puisi dipilih dan dikumpulkan di dalam buku ini. Elwa tidak lagi mengambil jarak ontologis, ia justru “masuk” ke dalam dunia yang-maha-syahwat itu, dengan mengidentifikasi sebagai “pengembara abadi”, (setan), yang maha mengagumi dirinya sendiri:[14]
1
aku seorang pengembara atau pertapa
kubiarkan dirimu menentukan jalan sendiri
dan tunggulah suatu saat
bahwa bulan bersinar karena aku
matahari terbenam karena aku
…
14
tangis dan doamu hanyalah musik dangdut
segala langkah dan rencana-rencana
adalah tarian hula-hoop para pelacur
…
19
wahai diriku yang berotak cemerlang
jangan hanya kekerasan
ciptakanlah pengangguran besar-besaran
di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu
semua adalah musuh atau sekutu
20
karena kebaikan yang busuk inilah
dunia menjadi lain dan melesat jauh
semua naik pesawat-yang-akan-datang
atau sekarat sekalian
selebihnya tertinggal sebagai debu
dan gurem-gurem
sementara aku yang mengajari tepuk tangan
akan tetap sebagai psikopat yang maha
syahwat
di menara-menara
lembah-lembah
dan rawa-rawa
manusia
Dengan mengidentifikasi sebagai “yang maha syahwat”, ia berleluasa melakukan otokritik terhadap formalis agama sekaligus menampilkan efek dari berhala modernisme kepada Sysiphus sejati. Personifikasi akan nilai manusia agung sebagai skenario ideal dari Yang Maha Berkehendak, dihancurkannya sebab kehendak itu sendiri ditarik ke dalam “aku”. Di saat itulah arogansi apa saja menjadi sah, termasuk untuk menciptakan, ‘jangan hanya kekerasan/ ciptakanlah pengangguran besar-besaran/ di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu/ semua adalah musuh atau sekutu.’
Hampir di setiap sajak Elwa menciptakan ironi dengan bahasa komunikatif serupa sajak “Yang Maha Syahwat” itu. Ironi sebab ia mencitra-dirikan kepada persona dunia yang secara ideal tidak diterima oleh masyarakatnya, namun dunia serupa itu hidup di sekeliling kita, bahkan melekat kepada kita : ego tahta, harta, juga wanita. Dari situlah justru ada tumbukan makna, karenanya bahasa puisi Elwa sekalipun cukup “terang” jika pembaca terbiasa dengan simbol dari referensi teologis, maka Elwa cuma sebatas mengusik acuan makna baku dari pandangan dunia itu. Bagaimanapun, pembaca yang mengenal referensi baik-buruk akan tidak terima, karenanya memunculkan penawaran wacana, justru di situlah bahasa sajak Elwa menjadi “puisi”.
Adakah yang salah pada “puisi dengan ingatan teologis sebagai wacana, yang ditampilkan melalui citra sosial dan individual manusia yang hidup berdampingan di antara dunia simbol dan keseharian” serupa sajak Elwa?
Perpuisian Elwa menjadi fenomena langka dalam perpuisian Yogya, mungkin juga Indonesia sebab Elwa mengukuhkan barisan pengucapan puisi yang tidak punya pengikut. Saya piker sulit menjadi pengikut Elwa dalam bersajak, sama sulitnya menjadi pengikut perpuisian Kuntowijoyo, atau Sutardji Calzoum Bachri (terutama pada O Amuk Kapak).[15] Hal itu sebab pohon yang ditancapkan dalam perpuisiannya terlampau sulit dipanjat oleh orang lain, tentu jika tidak ingin terpeleset dan jatuh dicap sebagai epigon total. Lain halnya dengan “jalur besar” yang banyak diikuti perpuisian Indonesia, Chairil Anwar dalam lirisisme-ekspresionisme, atau Goenawan Mohamad dalam lirisisme-imajisme, dan balada atau sajak pamplet Rendra (juga Taufiq Ismail), atau fenomena mutakhir ialah surealisme-estetis (Afrizal Malna). Ibarat rumah, masih banyak pintu untuk memasuki perpuisian model jalur itu, lalu keluar dengan “mencuri” sesuatu, dan sebagai ahli kimia kata-kata mencampur ini dan itu menjadi zat lain, lalu berkata, “Ini puisi inavatif lho! Puisi saya!
Tentu saja, tak ada yang kurang dengan penampilan bahasa Elwa yang demikian, “ingatan teologis” itu tergantung kepada bagaimana membahasakan di dalam puisi. Bukankah justru pengalaman religius yang sebenarnya tanbahasa itu menjadi terbahasakan lantaran refleksi analogis? (Ingat, tradisi ritus para sufi dengan bahasa sajak). Hal itu sebab formula bahasa yang membersihkan kompleksnya ide, emosi, bawah-sadar, bukanlah menutup kemungkinan suatu pengalaman menjadi verbal. Banyak pengalaman yang terang, ternyata tetap menjadi suatu yang menggetarkan sukma, dan terus-menerus kita menikmatinya dengan kesan dan makna yang selalu baru, seperti menyatunya suami dengan istri.
Dengan begitu, puisi Elwa berdiri di antara bahasa-yang-menampilkan dan bahasa-yang-menyatakan problem eksistensial dan sosialnya dengan caranya sendiri : bahasa puisi merespon gempita bahasa massa, metafora implisit yang dihiperbolikkan dengan mampertautkan antara dunia makna (yang bereferensi pada “ingatan teologis”) dan dunia keseharian. Memang, ada nafas surealistiknya, tetapi bukan pencitraan dunia bawah-sadar itu sendiri yang dipentingkan Elwa, melainkan hanya sebatas formula. Pikiran aku-lirik masuk kepada realitas maupun pikiran masyarakatnya yang dipersoalkan itu dengan strategi politik-peleburan. Dengan begitu, pikiran yang ditampilkan ke dalam bahasa sajak membuka ruang perdebatan makna. Manusia menemui surga dan nerakanya sendiri tanpa seretan tangan lain, tinggal posisi dan presisinya tatkala nyemplung di dalam arus massa.
3. “Reportase yang Menakutkan” Mustofa W. Hasyim
Puisi Mustofa W. Hasyim (Reportase yang Menakutkan)[16] terasa lain tatkala memposisikan identifikasi aku-lirik maupun aku-publik di dalam sajaknya sekalipun ada psikologis yang sama bila dibandingkan, misalnya, dengan puisi Mathori A. Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997), yaitu psikologisnya orang kalah, psikologisnya rakyat banyak di sepanjang rejim Soeharto, terutama tatkala gerakan mahasiswa selalu berakhir dengan penjara. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi maupun non-religi. Mustofa W. Hayim membangkitkan kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah (memakai pencerita orang-pertama), ataupun balada (memakai pencerita orang-ketiga).
Karena Mustofa W. Hasyim memilih berkisah, konsekuensinya bahasa yang dipilih komunikatif dengan fakta sosial yang terfiksikan, sebagaimana sajak yang amat mewakili perpuisian Mustofa W. Hasyim pada dekade menjelang jatuhnya rejim Soeharto, yang diambil dari buku Reportase yang Menakutkan, berikut ini.[17]
Buruh yang Amat Sabar
Seorang buruh yang sabar selalu tersenyum
meski upahnya selalu dikurangi
tiap bulan. Ia bersyukur
bisa mengisi hari-harinya
dengan kerja.
Suatu hari upahnya menyusut
sampai ke angka nol
ia pun mengangguk pasrah
tanpa niat protes sedikitpun.
“Bulan depan ganti kau
yang membayar aku,”
kata majikannya garang.
“Baik. Insya Allah kubayar,” jawabnya.
Ia pulang dengan langkah segar
tapi istri dan mertuanya marah
“Masak kerja sebulan
tidak mendapat upah,” hardik mereka.
Hari berikutnya ia tetap bekerja
lebih rajin dibanding temannya
ia pun menyukai lembur
menggantikan temannya yang sakit.
Di awal bulan ia tidak mendapat upah
justru ia yang membayar majikannya.
“Bagus. Darimana kaudapat uang ini?”
“Dari berhutang tetangga.”
Sampai rumah kembali
istri, mertua dan anak-anaknya
marah sambil menangis
“Tuhan, kenapa kauturunkan juga
lelaki tolol seperti ini,” keluh istrinya.
Ia tersenyum, tapi kaget
waktu terdengar letusan
dan asap menggumpal
diikuti api yang berkobar.
“Pabrik tempatmu bekerja terbakar,” kata orang-orang.
Ia termenung. Heran campur pedih
“Aku selalu mengampuni majikanku
dan mendoakan agar selamat. Tapi Tuhan
ternyata berkehendak lain,” bisiknya.
Kapitalisme semu memposisikan pemilik modal yang menguasai alat produksi bebas menentukan aturan main proses produksi sebab hak-hak buruh tidak terlindungi oleh Undang-undang secara manusiawi, hal ini terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak hanya hubungan buruh dan pengusaha, juga hubungan guru dan lembaga pendidikannya, dosen dan universitasnya. Sebagai contoh, di Purwokerto di sebuah perguruan tinggi swasta, bahkan ada perjanjian kerja demikian :
“Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Apabila mengundurkan diri sebelum masa kerja berakhir, maka bersedia mengembalikan seluruh jumlah gaji dan honor dosen yang telah diterimakan sejak diangkat sebagai dosen.” [18]
Hal tersebut jelas merampas Hak Asasi Manusia (dalam Deklarasi HAM, pasal 23); dan tidak sesuai dengan rincian jenis pekerjaan yang boleh dikontrakkan (guru/dosen, tidak dalam kategori itu); di samping itu, masa kontrak kerja semestinya maksimal 2 tahun (sesuai dengan Undang-undang Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, 1986); apalagi ditinjau dari perspektif hadis, “Beri upah buruhmu sebelum kering keringatnya.”
Dalam sajak tersebut, Mustofa W. Hasyim mengadakan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan majikan kepada buruh. Tetapi, protes Mustofa juga secara tidak langsung, ia tidak misalkan memprotes bahwa upah minimum regional di Yogya teramat rendah dibanding propinsi lain, atau tiadanya Undang-undang yang memberi perlindungan terhadap hak sosial-politik buruh, atau mandulnya Serikat Pekerja yang selama rejim Orde Baru hanya dijadikan kendaraan politik oleh para elitnya di bawah Golongan Karya (Golkar).
Dengan gaya sajak berkisah sekalipun banyak juga sajak Mustofa yang kemudian lebih pendek-pendek, namun gaya pengisahan itu dominan, dan karena ia berkisah, maka sajaknya tidak hanya menampilkan problem sosial itu dalam solilokui aku-lirik atau persona lain. Persona lain dalam sajaknya dengan menampilkan peristiwa itu, di sana-sini juga menyatakan sikapnya. Sikap yang bagaimana? Persona yang dibangun ialah perlawanan orang kalah, yang sembunyi di balik jubah spiritualisme sebab bagaimanapun masih ada Tuhan yang Maha Adil yang akan mengadili ketidakadilan itu (bait terakhir sajak tersebut mempresentasikan hal itu). Kekuatan semacam itu memang eksis, apalagi tatkala tangan dan mulut dibungkam, sebagaimana kisah yang menjadi pemeo perlawanan di Ethiopia di bawah cengkeraman tuan-tuan tanah Prancis : saat terjadi inspeksi terhadap perkebunan, orang berjajar di pinggir jalan. Si Tuan bule dengan cerutunya lewat. Orang-orang menunduk sembari memegang lututnya. Mereka marah atas kesewenangan itu. Namun, mereka tidak berdaya. Apa yang mereka lakukan? Di antara mereka ada yang sengaja mengentut keras-keras…… Gaya seperti itulah perlawanan Mustofa, dan hal itu sah-sah saja.
Sebagai penyair yang dibesarkan dalam kultur Jawa-Mataram, Mustofa tidak memilih perspektif untuk menjadi ruang dan waktu bagi setting puisinya, ia hanya menempatkan hal itu sebagai latar (set), selebihnya ideologi puisi merefensikan diri kepada religiositas (Islam), semacam : ingatkan dengan tanganmu, mulutmu, jika tak mampu, maka berdoalah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya, dalam menghadapi ketakberdayaan nasib, ia mendekati masalah itu dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu tertawa getir dalam kepahitan : ‘Aku melihat mayat tersayat-sayat/ di sekujur tubuhnya/ menggigil. “Aku telah diperkosa/ dan telah membalas dendam,” katanya/ lalu diam.’ (”Reportase yang Menakutkan”)[19]; ‘Benar. Kambing itu melahirkan bayi/ dan sejak itu kisah cinta Anisah/ tidak pernah dipercakapkan lagi.’ (”Matarantai Cinta yang Ruwet”) [20], dan banyak lagi contoh sikap serupa itu dalam sajak Mustofa, yang membuat kita membacanya “geli” sekaligus getir.
Namun, pasca reformasi sajak Mustofa W. Hasyim menjadi singkat-singkat, pencitraan realitas dan problem sosial yang kerap juga “dinyatakan” menjadi sangat dihematkan sehingga “hanya” memberi sugesti-sugesti. Mustofa W. Hasyim sekalipun menulis sejak dekade 1970-an, namun menurut saya kurang berhasil sebab masih dibayang-bayangi oleh tradisi Persada Studi Klub yakni dengan berorientasi kepada hidup kejawaan, yang tidak sematang pemikiran Linus Suryadi A.G. Kemudian, ia keluar dari mainstream itu, dan berhasil pada buku puisi Reportase yang Menakutkan, juga buku puisi Zaman yang Beracun. [21]
4. “Celana” dalam Surealistisnya Joko Pinurbo
Di dalam buku puisi Celana [22] karya Joko Pinurbo, problem sosial masyarakat transisi disublimasi ke tingkat supralogis pemikiran sajak, maupun imaji, yang ia bangun dari peristiwa keseharian ke dunia simbolik, sebagaimana sajak berikut ini. [23]
Kisah Seorang Nyumin
Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap dan gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
– Sebutkan nama partaimu.
– Saya tak punya partai dan tak butuh partai.
– Lalu apa yang masih ingin kau lakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?
– Diam itu yang saya inginkan.
– Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
Menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak, “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap sesungguhnya.
‘Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar,’ demikian tulis Pinurbo, tetapi ‘Nyumin terus bicara’ sekalipun ‘Suasana serasa senyap sesungguhnya’. Sepertinya paradoks, bagaimana mungkin demonstrasi kata-kata telah bubar, namun demonstran masih dapat bersorak? Tetapi tidak, sebab Pinurbo memanggil suprarealitas itu sebagai jalan mengatasi realitas (sosial)-nya yang gagal dalam menyuarakan kata. Apakah dengan begitu dunia yang dibangun sajak Pinurbo merupakan dunia surealis? Saya sepakat dengan Sapardi Djoko Damono, dunia Pinurbo memang surealis. Ia merekonstruksi realitas sosialnya yang kalah kepada dataran kemenangan secara makna, sebagaimana demonstran di luar sajak yang sesungguhnya telah disenyapkan oleh senjata, namun dalam sajak demo itu terus berlangsung menjadi makna. Pertikaian untuk “memerdekakan kata” sekalipun demokrasi baru dalam wacana saat itu terus berlangsung.
Kata, memang vital bagi upaya “mengatasi” : kebudayaan, dan surga. Tetapi, kata itulah yang menjadikan sebuah rejim jengah, dan perlu selalu waspada, karenanya setiap mereka yang punya kata musti dicurigai, ‘//Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan/ Saudara rampas dan musnahkan : kata-kata suara-suara/ atau apa saja yang Saudara takuti tapi sebenarnya/ tidak saya miliki.’ (Sajak “Malam Pembredelan”).[24] Peristiwa semacam ini menyeruak tatkala di tengah 1980-an gerakan mahasiswa menguatkan formulasinya kepada pemihakan nasib wong cilik, seperti kasus Kedung Ombo atau Nipah, dan rejim Soeharto buru-buru keras mengikisnya. Pinurbo dalam Celana sangat menyadari posisi dan fungsi kata-kata itu di tengah represivitas, kerap ia di tengah tampilan peristiwa yang ia bangun, menyatakan semacam ini : ‘Kata-kata adalah kupu-kupu yang/ berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna,/ adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang/ berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.’
Yang menjadikan puisi Pinurbo punya nuansa bahasa dan pemikiran yang khas di tengah ‘Pasukan disiagakan dan/ diperintahkan untuk memblokadir setiap jalan. Semua mendadak/ panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika/’ (sajak “Patroli”) [25] sehingga memunculkan bangunan sajak pasemon atau lebih menyeruak lagi memunculkan bahasa surealis, menurut pengamatan saya, hal itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
(1) Puisi Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Setidaknya ini dapat dicermati dalam sajak : “Poster Setengah Telanjang”, “Kisah Seorang Nyumin”, “Kisah Senja”, “Bayi dalam Kulkas”, “Malam pembredelan”, “Kisah Semalam”, “Gambar Porno di Tembok kota”, “Boneka dalam Celana”, dan semacamnya.
(2) Dan, karena gaya pengisahan mendominankan visi narator, maka ungkapan-ungkapan liris itu tak terhindarkan dan cenderung disengaja, yang menjadikannya berbeda dengan sajak balada yang cenderung membiarkan peristiwa telanjang sebagaimana puisi Rendra. Kita menjumpai begitu banyak harmoninya persajakan dalam puisi Pinurbo, ungkapan serupa ini misalnya sajak “Kisah Semalam”: [26]
Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kau berikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu,
“Minggat saja kau banjingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.”
…….
(3) Setiap bangunan kata yang membawa makna bersebarangan dengan ideologi negara terhadap realitas, sejak peristiwa Malari, dimaknakan ancaman oleh dan terhadap negara. Karenanya, kata menjadi medan perebutan makna. Kesadaran semacam ini cukup kuat pada pemikiran puisi Pinurbo, dan ia tak ingin mengikut arus umumnya puisi dekade 1980-an yang membangun pecahan-pecahan imaji seperti ‘orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding-dinding beton yang dingin, dada’ (Sajak”Dada”, Abad yang Berlari, 1984, Afrizal Malna).[27]
Pinurbo justru membangun pecahan-pecahan “ideologi rakyat banyak” itu, dengan memfiksikan fakta sehingga sifat kefaktualannya sublim. Realitas (sosial)-nya itu ia tundukkan di dalam puisi menjadi kemenangan makna, keyakinan, dan spiritualisme. Tidak lagi dengan jalan mencitrakan pecahan-pecahan ideologis yang kalah itu sendiri sebagaimana yang dilakukan Afrizal Malna, juga Hamdy Salad, melainkan membiarkan kisah itu kembali hidup di dalam sajak. Tidak juga dengan mengambil jalan ironi sehingga getir sebagaimana puisi Mustofa W. Hasyim, melainkan menyiasati keterpurukan, ketertindasan itu dengan mencari basis lain yakni dunia makna dengan perlambang, yang sebagiannya dapat dicari referensinya kepada ingatan-teologis, sebagiannya kepada humanisme universal. Contoh yang paling asyik, tentang “kata” yang diperebutkan versi maknanya antara negara yang disimbolkan dengan ‘Patroli’ berhadapan dengan ‘demonstran’ yang dalam sajak berikut ini diposisikan sama dengan ‘penyair’. [28]
Patroli
Iringan-iringan panser mondar-mandir di jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-
geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan
diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak
panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair
kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru
diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut komandan,
lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi
bikin aksi di sana. “ “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul
dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,”
katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak
bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan
terdengar letusan, api sedang melalap dan menghanguskan
mayat-mayat korban.
(4) Dengan basis semacam itu, Pinurbo pun berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian namun tak kehilangan kelirisannya. Dengan basis dunia makna melalui perlambang itu, ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, dan di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya, contohnya dalam sajak “Celana (3)”, tatkala seorang lelaki yang telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakannya, asli buatan Amerika, dan memamerkan kepada perempuannya, tak disangka: [29]
…….
Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah kemana.
5. Memasuki “Nikah Ilalang” Dorothea Rosa Herliany
“Memasuki” Dorothea Rosa Herliany dalam buku Nikah Ilalang (1995),[30] saya menemukan ceruk terdalam dari kata “nikah” itu sendiri, yakni nilai yang diidealkan, yang abadi. Hal itu tidak semata kata-kata untuk suatu tarikan agar diakui persona dirinya sebagai perempuan di bawah bayang tradisi yang memaknainya secara inferior. Puisi Rosa oleh sementara kritikus sastra dikatakannya sebagai upaya mengatasi dominasi maskulinitas terhadap femininitas.
Saya meminjam kata “nikah” itu bukan bermaksud melakukan pembacaan terhadap dunia gender sebab hal itu telah dilakukan dengan baik oleh Afrizal Malna sebagai kata penutup buku Rosa. Saya meminjamnya sebagai kata kunci memasuki upaya Rosa “menikahi” realitas (sosial)-nya.
Nikah Perkampungan [31]
dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan
Ilmudaurulang. tanpa perjamuan, selain wabah
dan ilmutatakota. tanpa nyanyian pengiring,
selain ketergusuran hewanhewan jelata.
dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah.
sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti
janji jadi ratapan.
kunikmati jaman yang sekarat minta susu.
pengantin yang takpernah kunikahi, tapi
minta menetekku dengan bahasa ketakutan.
Ini kali kita dengan berat hati melalui begitu saja upaya Rosa mengadakan tawaran struktur dan cara penulisan serta penyusunan kata, misalnya : tiadanya pemakaian hurup besar; penggunaan penulisan bersambung untuk kata ulang (ulatulat); penggabungan dua kata atau lebih (anakkumuntah); belum lagi, pemotongan atau pemenggalan kalimat. Tentu saja, hal itu dapat dibaca sebagai tanda memasuki dunia yang dibangun puisinya.
‘dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,/ tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan/ Ilmudaurulang’, Rosa mengambil jarak ontologis terhadap sudut-pandang perempuan yang secara konvensional memposisikan kelembutan, kemapanan. Dalam sajak tersebut, justru dengan sadar ia mengawini kemiskinan sosial, kemiskinan struktural, dan ia tahu risiko ‘(me)nikahi dunia yang gelisah.’
Dalam dunia serupa itu, nilai-nilai menjadi abai. Rosa menyadari sungguh makna diksi ‘kawin’ dan ‘nikah’, yang dalam banyak sajaknya dibedakan aksentuasi dan maknanya. ‘aku kawini rumahrumah kardus’, kenapa tidak ‘aku nikahi rumahrumah kardus’? Rosa ingin mencitrakan pecahnya nilai di dataran kemiskinan, wabah, dan hewan-hewan jelata. Hal ini mengingatkan saya kepada teks agama bahwa “Kemiskinan itu dekat pada kekufuran” sekalipun saya tak ingin memasukinya dengan ideologi serupa itu sebab akan sangat tidak adil dan dogmatis. Tetapi, Rosa punya ingatan-teologis secara substansi semacam itu, karenanya ia dalam bait II menggunakan kata ‘aku nikahi’ untuk menyebut ungkapan selanjutnya yang bernafaskan rasa keagaman ini ‘sambil kuganti doa jadi harapan’.
Afrizal Malna pernah mengungkap bahwa diksi-diksi keras, maskulin, yang digunakan Rosa sebagai risiko tak tertahankan lantaran dunia-di-luar-rumah telah menjadi klaim laki-laki. [32] Memang, diksi, idiom, simbol, rangkaian ungkapan, dapat dijadikan penanda untuk merekonstruksi suatu persona yang dibangun dunia sastra. Namun, diksi-diksi gagah dan keras dalam puisi Rosa dapat juga dimaknakan sebagai cara memasuki bahasa massa yang memang mengarah ke arah sama, keras.
Tetapi, Rosa bukan mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunkan. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu, dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik. Dengan sadar ia menikahi dunia yang gelisah, berarti ia memilih dari yang banyak itu sebagai objek dan (atau) subjek sudut-pandang, serta pengucapan dunianya, sajaknya.
Kerenanya, sekalipun Rosa juga berbicara soal “Lagu Asing dari Desa” (judul sajaknya), maka ia hanya melukiskan impresi seperti ini: [33]
di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang.
malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah
dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalankertas.
kubakar : jadi tanahair bagi bayangbayang.
sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan
kurus mencabikcabik tanah dan jantungnya sendiri.
sebuah semesta : jutaan rumah tanpapenghuni.
…….
Di dalam bangunan dunia impresi, yang terlukiskan yang pokok saja, karenanya muncul patahan-patahan peristiwa sosial yang telah disublimasi itu, disejajarkan antara yang satu dengan lainnya. Sebagaimana dalam bait terakhir sajak itu juga, dinyatakan, ‘di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang/ yang terpatahpatah. kusihir : menjadi jarijari/ yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat/ tak terbaca.’
Dengan begitu, menjadi tidak ada teriakan kata-kata di dalam puisi Rosa (satu hal yang secara estetis kerap menjadi ukuran keberhasilan kesastraan). Hal tersebut tidak banyak dimiliki oleh penyair semasanya yang cenderung berteriak-teriak atau meneriakkan problem sosial (yang masih telanjang konteks ruang dan waktunya) disebabkan oleh gempuran modernisme, atau represivitas oleh negara. Hal itu sebab Rosa melakukan metamorfosa makna (metamorfosa, kata yang kerap dipakainya dalam sajak), dan bukan metamorfosa kata-kata. Metamorfosa makna (termasuk konteks ruang dan waktunya) sebab ia menyublimasi peristiwa, ide-ide. Sementara itu, kata-kata via diksi-diksi tetap mengambil dari fenomena massa. Karenanya, problem-problem sosial yang secara biografis pernah hadir dalam hidup individual dan sosial Rosa itu mengalami metamorfosa ruang dan waktunya tatkala dihadirkan di dalam sajaknya.
Misalkan saja, sajak “Aku Diam di Halte”, halte ini telah dihilangkan ruang-waktunya sebagai halte-biografis sehingga halte menjelma suatu ruang-waktu tempat di mana dan kapan ‘kuhayati kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’[34] Inilah bahasa sajak yang dipilih Rosa di tengah arus massa yang menuntut ruang pembebasan dari ketertindasan eksistensial, institusional, struktural; yang bahasa tersebut erat kaitannya dengan ekspresi bahasa sipil yang mengkerut di tengah slogan pembangunan. Dan Rosa, sekali lagi, memilih bahasa impresi dalam puisi, yang dapat dimaknakan sebagai anti-tesis dari bahasa kekuasaan yang slogan, yakni dengan menghayati ‘kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’ [35]
6. Puisi vis-a-vis Negara
Secara sederhana boleh disebut bahwa bahasa pada umumnya adalah alat komunikasi bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, dalam proses perkembangan bahasa dapat disebabkan banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat pemakainya, juga secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh negara.
Pada konteks sosialnya itulah bahasa dapat mengalami tekanan-tekanan oleh persoalan yang melingkupinya senyampang dengan tekanan yang dialami oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, situasi sosial digiring kepada pemaknaan baru revolusi versi Soekarno, jargon-jargon politiknya demikian merebak dalam pengucapan sehari-hari : neokolonialisme (Neokolim), Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), ganyang, berangus, gerus, nasionalisme-agama-komunis (Nasakom), dan semacamnya. Yang tentu saja “kata-kata besar” itu bukannya tanpa risiko dampak kengeriannya.
Dengan lingkungan bahasa demikian, bahasa mengalami pembesaran yang tampak menakutkan akibat suntikan ideologi oleh elit politik, dan di sisi lain oleh masyarakat umum juga direspon secara instan sebagai kemegahan; namun di sisi lain lagi oleh masyarakat kritis disadari sebagai hal yang harus ditawar sebab risiko-risikonya.
Suasana hingar-bingar politik 1960-an yang akhirnya memunculkan kekerasan politik itu, pada konteks kebahasaan dalam sastra memberi gambaran bahwa tanggapan oleh pemakai bahasa secara umum itu juga tercermin di dalam sastra. Di satu sisi, kerasnya bahasa yang dipompa oleh suasana sosial politik memunculkan realisme sosial sebagai paradigma, dengan citra estetik kebahasaan sastra maupun citra ideologisnya.
Di segi lain, kekerasan yang tercitra melalui bahasa, juga memunculkan upaya untuk menyublimasi dan mengembalikan bahasa kepada keadaan normalnya, yang memberi ruang pemaknaan masyarakat pemakainya secara sejuk. Hal ini tercermin sebagaimana dilakukan sastrawan yang kemudian kita kenal sebagai kaum manifestan.
Sekalipun di segi lain, hal tersebut juga memunculkan upaya mensintesakan antara bahasa yang terlanjur mengalami pengerasan akibat politik-identitas oleh front ideologi itu, yakni dengan memberi ruh penolakan kepada penjajahan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Upaya ini dilakukan oleh Taufiq Ismail, justru dengan meminjam “tangan bahasa sastra” dari kaum realisme sosial, untuk mengkritisi kekerasan yang dilakukan oleh kaum realisme sosial itu sendiri terhadap bahasa sekaligus pemakainya.
Tarik-menariknya ideologi pada masa itu senyampang dengan upaya negara untuk merangkul tiga komponen ideologi besar, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Memang hal tersebut dapat dibaca sebagai munculnya demokrasi di dalam berkebudayaan, yang memberikan ruang bagi hak berpolitik, hak sipil, dan hak aktualisasi diri, sebagaimana substansi berdemokrasi. Pada kesusastraan pun antara ideologi dan ideologi lain melakukan kompetisi untuk mengukuhkan “bahasa” masing-masing dengan segala pemaknaan sosiologisnya. Keadaan demikian itu, tidak semata disebabkan negara melakukan tekanan terhadap bahasa, yang merupakan dampak langsung dari tekanan negara terhadap masyarakat pemakai bahasa, sekali lagi, tidak.
Politik-identitas ideologi masa 1950-1960-an itu berakhir dengan jatuhnya rejim Orde Lama Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat sehingga memunculkan Soeharto. Hingar-bingar ideologi politik perlahan-lahan digembosi, yakni dengan adanya fusi para partai politik ke dalam tiga nuansa, nasionalisme, agama, dan Golongan Karya (menggantikan Nasakom, hal yang dulu ditentangnya).
Namun, dengan puncaknya yaitu dengan pengasasan-tunggal Pancasila terhadap semua kekuatan politik di Indonesia, karenanya mengakibatkan tekanan yang lebih besar terhadap hak-hak sipil oleh militer. Pada masa inilah, menjelang Pemilu 1978 dan setelahnya, bermunculan “kata-kata besar” yang mirip dengan masa rejim sebelumnya: “pembangunan manusia seutuhnya”, dan semacamnya; sebagai upaya berkompetisi mencari posisi di dalam kekuasaan. Bahasa bernasib sama dengan di masa Orde lama, hanya saja pada masa Orde Lama “membesarnya bahasa” tidak saja terjangkit kepada masyarakat pelaku politik, melainkan bahkan ke sebagian besar masyarakat. Pada masa Orde Baru sebab semua elemen ideologi telah dimandulkan sehingga mengenali bahasa yang membesar itu lebih mudah datangnya yakni dihembuskan oleh lingkaran kekuasaan dan militer. Sementara itu, bahasa di luarnya cenderung mengalami pemungkretan, eufemisasi yang keterlaluan sehingga mengaburkan arti dan tujuan komunikasinya.
Pada kesusastraan, tekanan sosial politik terhadap masyarakat itu berimbas ke dalam ekspresi sastra, yang dalam pemakaian bahasa sebagaian mengalami pentabiran estetisme, bahkan dijadikan ideologi oleh sebagian sastrawan, sekalipun di sisi lain juga penuh dengan tawaran di dalam tiarap. Rute dominannya estetisme sebagai ideologi ini dapat dibaca sebab kesusastraan Indonesia bergantung kepada media massa di dalam sosialisasinya; padahal, media-massa di bawah kendali negara melalui Departemen Penerangan dengan berbagai kecemasan akan pencabutan SIT/SIUPP jika fakta tak diekspose sejalan dengan versi negara. Pada konteks inilah, sastra mengalami penyaringan oleh media-massa yang telah dihegemoni oleh negara. Karenanya, rute sosialisasi yang demikian tidak menampakkan sastra vis-a-vis terhadap negara. Upaya menyiasati seperti pernah dilakukan oleh Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) hanya sebatas gertakan merebut ruang publik, dan karenanya tidak substansial, selebihnya justru mengukuhkan hegemoni yang tanpa disadari kian memerosokkan estetisme.
Penawaran-penawaran akibat tekanan terhadap bahasa, dan imbas tekanan terhadap unsur kebudayaan lainnya itu di dalam kesusastraan (baca: puisi) dilakukan dengan munculnya beberapa gejala, yang dapat kita kenali sebagai berikut.
(1) “Sajak-sajak yang menyatakan” pikirannya sebagai respon langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas sosial, dengan gaya dan sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial itu, yang berpusat kepada aku-lirik (juga, aku-publik, kerap mengidentifikasi dalam penokohan jika bentuk sajak berkisah atau balada) berhadapan langsung terhadap negara yang diposisikan sebagai penyebab dari tekanan mental dan jasmani yang dialami masyarakat.
Gaya dan sudut-pandang semacam ini merupakan penerusan dari perpuisian Taufiq Ismail dan Rendra di tahun 1960-an, bahkan sampai sekarang keduanya memposisikan demikian dalam bersastra, vis-a-vis terhadap negara. Dengan sudut-pandang demikian, setiap berkebudayaan masyarakat yang dipandang mengalami problem akibat spiral kekerasan yang muncul sebab salah-urus negara, maka akan dikritisinya, dari perihal pelacuran sampai perihal penggusuran tanah, dan bermacam lainnya. Taufiq Ismail mereferensikan pemikiran kritisnya itu kepada religiositas (Islam), Rendra kepada daya-hidup dan daulat-rakyat, dan Wiji Thukul kepada kaum proletar.
Tetapi, puisi jenis ini tidak banyak ditulis oleh sastrawan di saat menguatnya negara, jikapun ada maka kalah pamor dibanding Rendra dan Taufiq Ismail. Terkecuali Wiji Thukul yang membangun tradisi puitiknya sendiri, dengan memusatkan pengisahan problem sosialnya kepada aku-lirik, yang penokohannya sebagai prototipe buruh. Tetapi lebih dari itu, Thukul menyeruak dan dinilai ancaman sebab keterlibatannya pada organisasi sosial yang berlawanan dengan negara, yakni Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di samping itu, setidaknya juga dalam puisi Sosiawan Leak, keduanya dari Solo. Barangkali secara sosiologis perlu dilakukan penelitian, mengapa beberapa penyair dari Solo dalam ekspresi seninya banyak yang mengambil gaya dan sudut-pandang demikian, setidaknya Rendra dan Slamet Sukirnanto yang berasal dari Solo, juga demikian. Hal ini mengingatkan kita, di Yogya di saat bergulirnya reformasi gelombang demonstrasi tidak berefek kepada kekacauan yang parah, tetapi Solo justru menjadi “lautan api”.
Jenis puisi serupa sekalipun dengan varian “puisi balsem” juga ditulis oleh KH.A. Mustofa Bisri, dengan sudut-pandang budaya santri, yang mengkritisi kekuasaan.
Tentu saja, sebab berhadapan langsung dengan negara, maka karya sastra jenis ini selalu mengalami penolakan mediamassa yang keberadaannya di bawah kontrol negara. Contohnya, sajak Rendra [36] yang mempersoalkan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat ini, mempresentasikan jenis “sajak yang menyatakan”:
Rakyat adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan
(2) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem sosial, sembari melalui bahasa puisi “menyatakan” ide atau sikapnya atas problem itu, tanpa merumuskan persoalan sosialnya sebab alasan estetika, di segi lain sebab sengaja tiarap dari berhadapan langsung terhadap negara. Hampir semua penyair yang menonjol di Yogya, memilih jalur ini, tentu dengan varian dan kekhasan masing-masing.
Mathori A. Elwa (dalam buku puisi Yang Maha Syahwat) bertumpu pada “ingatan teologis”, dan justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan formalis religi, dan di sisi lain menyemprot kaum yang sok medernis yang mengikut saja arus modernisme. Basis teologis serupa itu justru perlu sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan religi oleh formalis, dalam sajak Mathori A. Elwa melalui strategi kebahasaan yang parodis, ironis, seringkali juga humor, menjadi dapat dicairkan.
Reportase yang Menakutkan, buku puisi Mustofa W. Hasyim ini memposisikan “aku” kepada psikologis yang sama dengan puisi Mathori A. Elwa, yakni psikologisnya orang kalah. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi. Ia membangkitkan kisah-kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan cara menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya dalam menghadapi ketakberdayaan nasib ia mendekati masalah dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu menertawai diri sendiri dalam kepahitan.
Buku puisi Celana karya Joko Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa sebagaimana yang dilakukan Mustofa W. Hasyim. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Dengan basis itu, Pinurbo berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian, namun tidak kehilangan kelirisannya. Ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya.
Tetapi, Nikah Ilalang buku puisi Dorothea Rosa Herliany tidak mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunnya. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik.
Perpuisian yang mengambil posisi estetik dan “ideologi” serupa itu di Yogya, selain penyair tersebut tentu yang perlu diperhatikan adalah Ibuku Laut Berkobar (1998) buku puisi Abidah el-Khalieqy [37], perempuan penyair yang telah menonjol sejak pertengahan 1980-an, di mana masa tekanan politik terhadap sastra masih berlangsung; juga, di dalam puisi Santosa Warna Atmadja. Sementara itu, hal sama juga dapat dicermati pada perpuisian penyair yang menyeruak pada dekade 1990-an tatkala kian kerasnya kooptasi negara seperti pada puisi Raudal Tanjung Banua. Tidak kalah asyik dari puisi Raudal, adalah puisi Asa Jatmiko dalam Pertarungan Hidup Mati (2000) sekalipun tak semua sajak di dalamnya dapat dikatakan berhasil. [38]
(3) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem realitas sosialnya, hanya menampilkan, jikapun mencoba menyatakan ide-ide tentangnya, maka realitas sosialnya itu ditariknya ke tingkat pengalaman (yang amat) individual. Bahasa sajak dalam konteks ini tinggal memvisualisasikan realitas sosialnya.
Fenomena itu tampak sekalipun tidak menonjol pada puisi Ulfatin Ch., dengan ekspresi bahasa yang amat liris. Fenomena sosial itu ditariknya sebagai setting bagi representasi biografisnya (lihat, buku puisi Konser Sunyi; dan Selembar Daun Jati, 1999). [39] Hiruk-pikuk perubahan sosial dalam sajak Ulfatin Ch. tidak mempengaruhi aku-lirik sebagai bagian dari komunitas sosialnya, ia membiarkan dunia luar itu hanya sebatas sebagai panorama:
…….
Dan ketika aku kembali di musim lain
kudapatkan hutan itu telah ramai
menjadi kota
dan di antara daratan yang dibelah sungai
telah terbangun jembatan
aku tak tak lupa rumahku, tapi di mana
(”Di Musim Lain, Aku kembali”, Konser Sunyi, 1993) [40]
Yang menarik dari fenomena bahasa dalam sajak akibat metamorfosa bahasa dari bahasa massa yang mengalami eufemisasi akibat mengkeret-nya realitas yang dicerminkannya, ialah munculnya pencitraan yang bersifat surealisme, untuk mencitrakan realitas ke tingkat yang paling abstrak, semacam “melawan dengan cara lari”. Jika pada puisi Joko Pinurbo, realitas sosial itu masih dapat kita kenali peristiwanya, ia hanya melakukan penawaran di tingkat perlambang tatkala gagal di tingkat realitas keseharian, secara maknawi kegagalan itu dimenangkan pada tingkat makna sehingga itulah cara menghibur diri. Tetapi, pada perpuisian Hamdy Salad, gagalnya akibat benturan di tingkat realitas empiris itu, hanya divisualisasikan lagi ke dalam dunia puisi, tak pelak lagi maka puisi Hamdy sehiruk-pikuk, secemas, seberdarah gambaran realitas sosialnya, yang tercekik tetapi diam, yang beku tetapi histeris. Gila!
Perpuisian Hamdy Salad memilih jalur yang lebih jauh mengekspresikan keterjajahan bahasa dan masyarakat pemakainya, dengan mengeksplorasi pengucapan lirisismenya kepada bawah-sadar kemanusiaan, di mana atas-sadarnya tercerabut oleh kekuatan besar yang menghegemoni terhadapnya. Perpuisian Hamdy Salad mencitrakan pecahnya masyarakat dari paguyuban religiositasnya, sebagai gambarannya, ia gencar sekali merekonstruksi keterpecahan itu, antara dunia keseharian yang chaos, dipertautkan dengan dunia yang diidealkan dalam gambaran imaji, karenanya pecahan gambaran kemanusiaan itu hadir terus-menerus dalam sajaknya. Di antaranya, beberapa sajaknya yang dimuat Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000. Sajak berikut sangat mewakili bagaimana Hamdy Salad mengalihkan realitas sosialnya ke dalam sajak, ia seperti ‘mengarak silsilah’ pencitraan, tanpa ingin menyatakan tanggapan, apalagi merumuskan persoalan.
Perkabungan di Laut Timor [41]
Burung-burung berkalung hampa
melipat bendera di laut Timor
anyir ombak berkejaran sepanjang musim
merangkai buih dalam perkabungan
ikan-ikan menggelembungkan rasa perih
mendorong bangkai ke tepi pantai
lambang sengketa dan pertikaian
Kapal-kapal berlayar dalam gelap
menebar dusta para perampok
badai dan topan saling bertandang
ke empat penjuru, darah langit membeku
mengurung duka di relung cakrawala
orang-orang putih bertubuh kaku
menabuh genderang di pelabuhan waktu
membangun barak dan kemah persekutuan
memperanakkan tahta dunia sebagai hantu
Segunduk pulau telah tenggelam
diremuk gelombang angin samudra
kain kafan berterbangan di udara fana
meninggalkan masa lampau dan kematian
dalam perang. Matahari mengambang!
rajah negeri terbakar amunisi
mengarak silsilah ke tebing perbatasan
7. Penutup
Pertanyaan yang kemudian kerap muncul dalam batin saya, bukan lantaran alasan pilihan estetika, melainkan ingin melihatnya secara sosiologis, mengapa perpuisian di Yogyakarta tidak pernah memposisikan vis-a-vis terhadap negara?
Pertanyaan tersebut bukan berarti bahwa bentuk seni dan sudut-pandang yang demikian sebagai hal yang lebih baik, tidak. Sebaliknya, juga bukan berarti jelek sebab pada kenyataannya banyak karya sastra besar yang dengan kemampuan kesastraannya memposisikan vis-a-vis terhadap kekuasaan. Pada hakikatnya, dengan mengutip Faruk [42] yang mirip dengan pendapat Kuntowijoyo [43] tentang demokrasi kebudayaan bahwa ekspresi dan sudut-pandang kebudayaan (juga kesusastraan) senantiasa partikuler, dan karenanya khas, dan karenanya pula, misalnya selalu memandang pembunuhan adalah pembunuhan, tanpa memandang alasan yang melatarinya, apakah itu demi kesucian negara atau tetek-bengek lain. Tetap saja, pembunuhan adalah membunuh sebab hal itu merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan universal, hal yang menjadi substansi keagungan karya sastra.
Jika demikian, berhadapan langsung atau tidaknya terhadap tekanan kekuasaan atas kemanusiaan, bukan itu yang paling penting dalam mengambil sudut-pandang dan bentuk seni, melainkan sejauh mana substansi sastra mampu mengembalikan kehidupan manusia kepada kemerdekaan dari jajahan kultural dan kekuasaan, yakni dengan jalan mengembalikannya kepada Diri-nya sendiri. Dengan begitu, kesusastraan akan selalu dekat dan menjadi bagian terpenting tatkala manusia membangun citra kemanusiaannya.
2000, revisi
[1] “Budaya tanding” merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib untuk mengimbangi kooptasi dan dominasi yang dilakukan oleh negara. Lihat dalam, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[2] Iman Budi Santosa, Dunia Semata Wayang (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1996).
[3] Ibid., Matahari-matahari Kecil (Jakarta:Grasindo, 2004).
[4] Sitor Situmorang, “Lagu Gadis Itali”, Dalam Sajak, dalam Bunga di Atas Batu (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 62.
[5] Linus Suryadi A.G., Pengakuan Pariyem (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[6] Ibid., Tirta Kamandanu (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1997).
[7] Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku (Bandung: Penerbit Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, 1983).
[8] Dewan Kesenian Jakarta, Forum Puisi Indonesia 1987 ( Jakarta: DKJ, 1987).
[9] Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogkarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 1999), hal. 12.
[10] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 1997), hal. 107.
[11] Adi Wicaksono, “Puisi, Surga, dan Kota, dalam Histeria Kritik Sastra (Yogyakarta: Bentang, 1996), hal. 76.
[12] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat, hal. 11.
[13] Ibid., hal. 63.
[14] Ibid., hal. 135-141.
[15] Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[16] Mustofa W. Hasyim, Reportase yang Menakutkan (Yogyakarta: Bentang, 1992).
[17] Ibid., sajak “Buruh yang Amat Sabar”, hal. 13.
[18] Teks tersebut merupakan Surat Perjanjian Kontrak Kerja sebagai Dosen Tetap di sebuah Perguruan Tinggi di Purwokerto. Sengaja nama Perguruan Tinggi tersebut tidak disebutkan dengan eksplisit demi etika jurnalistik.
[19] Mustofa W. Hasyim, sajak “Reportase yang Menakutkan”, dan Reportase…, hal. 7.
[20] Ibid., hal.9.
[21] Mustofa W. Hasyim, Zaman yang Beracun (Yogyakarta: Manuskrip, TT.).
[22] Joko Pinurbo, Celana (Magelang: Indonesia Terra, 1999).
[23] Ibid., sajak “Kisah Seorang Nyumin”, hal.4.
[24] Ibid., sajak “Malam Pembredelan”, hal. 8.
[25] Ibid., sajak “Patroli”, hal. 64.
[26] Ibid., sajak “Kisah Semalam”, hal. 10.
[27] Afrizal Malna, Sajak”Dada”, dalam Abad yang Berlari (Jakarta:TP, 1984).
[28] Joko Pinurbo, sajak “Patroli”, hal. 64.
[29] Ibid., hal. 30.
[30] Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 1995).
[31] Ibid., sajak “Nikah Perkampungan”.
[32] Afrizal Malna, “Kata Penutup” dalam Nikah Ilalang, Ibid.
[33] Dorothea Rosa Herliany, sajak “Lagu Asing dari Desa”, Ibid.
[34] Ibid., sajak “Aku Diam di Halte”.
[35] Ibid.
[36] Rendra, sajak “Rakyat adalah Sumber Kedaulatan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku, Ed. Abdul Wachid B.S. et.al. (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4.
[37] Abidah el-Khalieqy, Ibuku Laut Berkobar (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
[38] Asa Jatmiko, Pertarungan Hidup Mati (Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana, 2000).
[39] Ulfatin Ch., Selembar Daun Jati (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
[40] Ulfatin Ch., sajak ”Di Musim Lain, Aku kembali”, dalam Konser Sunyi (Surakarta: Taman Budaya Surakarta, 1993).
[41] Hamdy Salad, sajak “Perkabungan di Laut Timor”, Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000.
[42] Faruk, “Kejahatan Terbesar adalah Kebaikan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. ii-ix.
[43] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung : Mizan, 1997), hal. 149.
*) Alumnus S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dosen STAIN Purwokerto.
Sangat menarik ….tetapi sayang naskahnya terlalu panjang sehingga cepat lelah membacanya.