http://sastrakarta.multiply.com/
Sendiri di Malioboro
Malioboro di waktu malam
menyeretku berkenalan
dengan materi dengan kepalsuan
Sementara teman-teman di sampingku tertidur
keenakan ? mengunyah permen karet dari pedagang
kaki lima, yang menawarkan bersama senjata
Lampu-lampu jalan kutatap menimbulkan tanya
tanya dan selaksa tanya
Namun kapan kutemukan jawaban
di tengah-tengah orang yang takluk pada benda
Kulanjutkan pertanyaanku, pada lampu ukir, kantor
pos besar, monument Serangan Umum, gedung Bank Indonesia
:Sejarah bagai keset menyambut di muka pintu
Selanjutnya di dalam ruangan, pesta pora mencincang saku
Yogyakarta, 1992
Langgam dari Temanggung
-untuk Nur Hidayat
Dingin dan keramaian
membaur di cemara-cemara kota
Dan kita yang bertiga
semestinya bertukar nyanyian
Lihatlah penjual martabak itu
masih setiap membanting-banting gandum
Di sela-sela orang berduyun
Kusempat menggores sajak baru
Saat besok lampu-lampu kota kutinggalkan
biarlah nyanyian itu selalu tersimpan di hati
sampai rambut kita beruban
Temanggung, 1994
Setia
(Kadang-kadang hari harus dilalui dengan hampa
kadang-kadang waktu melontarkan kekosongan)
????.
Maraknya bunga di belantara
seperti juga tetesan embun di kaca jendela
tak harus diucapkan
Gurun dan oase masih saling setia
Sukoharjo, 1995
Menaksir Waktu
Pagi adalah lapang dada
yang mesti diterima dengan sederhana
dan tanah yang basah
mengawali hari menuju payah
bagai anak-anak menyimak dewasa
tak luput dari petuah
Apakah waktu?
seperti yang kita angankan pada jarum jam
seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan
Tawangmangu, 1996
Keluarga Gerilya
-untuk Witaman
Kita kembali berkumpul di sini
sebuah ruang sederhana
diapit bank menjulang tinggi
kemudian di akan itu
supermarket angkuh dan fana
menindih saku
Kita masih kerasan di sini
Bukan apa-apa; ini tanah kita
Semata, yang waktu hujan
Menentramkan angan-angan
Ketika terik, matahari menuntun
Kita berpekik: “Tuhan, kami
Tak punya apa-apa
Semua di sini seperti gerilya”
Waktu demi waktu
Tak dapat dieja
Sagan-Yogyakarta, 1996