korantempo.com
MANGGIS
teringat lagi aku pada masa kecil menebak buah manggis harap-cemas mempetaruhkan sekeping logam untuk berjajan
demikian kita belajar pengundian: manggis tak sebulat buah takdir dijatuhkan tuhan pada ubun-ubunmu
tapi benarkah kalah-menang cuma sebuah pertanyaan ulang diulurkan penuh tantangan: “berapa keping isinya, kawan”?
ah, kita masih saling melirik penuh kecemasan, sembari mencoba bersandar pada keberuntungan; upaya memecah buah kegetiran!
buah manggis, buah nasib manis gurih tapi seringkali tak terteka dalam gairah taruhan
serupa misteri, ia bersembunyi dalam gelap kulitnya bersama tuhan
maka kadang-kadang kita pun memanjat pepohonan, berusaha mencuri untung dari balik lebat daun-daun kehidupan
bukankah dalam kekalahan pun, kau masih bisa mencicipi daging buah tebakan? : jika buntung nasibmu kehilangan logam, kelak kita bertaruh lagi dengan tuhan!
Belinyu-Yogyakarta, 2008
PERIUK : ibu
di tanah rantau, kurindukan wangi nasimu, tanak dalam legam periuk tua, sesekali hangus kerak juga
hitam jelaganya isyaratkan setia dan tabah perempuan, seperti waktu: tahan dipanaskan tungku
alangkah gurih nasimu (ai, nasibmu!) di dapur becek yang senantiasa memanggil laparku
laparku, ibu: gembur cinta dalam periuk tua, hitam jelaga yang menyerukan hangat rumah hingga rantauku pun menjelma percik bara!
demikian kau menjaga api dari padam, menjaga air dari kering agar hidup terus mengepul ditanak: menyejarah legam periuk; silsilah beranak-pinak
walau terkadang pahit seperti kerak
Yogyakarta, 2008